Kemalasan, Selalu Burukkah?
Secara umum, kemalasan lebih berkonotasi negatif dan banyak tulisan yang hanya membahas mengenai cara mencegah atau mengatasinya. Namun, dalam kasus di bawah ini kita bisa mendapatkan sudut pandang yang berbeda.
Secara umum, kemalasan lebih berkonotasi negatif dan banyak tulisan yang hanya membahas mengenai cara mencegah atau mengatasinya. Namun, dalam kasus di bawah ini kita bisa mendapatkan sudut pandang yang berbeda.
Bapak S di Semarang, bercerita seperti berikut:
Kami punya dua anak perempuan, mahasiswi yang harus belajar di rumah karena masa pandemi. Saya baru benar-benar memperhatikan perbedaan sikap dan cara mereka belajar dalam situasi yang penuh stres ini. Anak yang pertama sangat serius, ada banyak tugas akademis yang harus diselesaikannya. Sepanjang hari ia terus duduk di depan komputernya, tampak tegang, makan cepat-cepat, lalu kembali lagi belajar sampai larut malam di kamarnya. Setelah lewat dua bulan, ia mulai banyak keluhan soal rasa bosan, kewalahan, sakit perut, dan sebagainya.
Sementara adiknya, yang duduk di semester IV, terlihat lebih santai. Dia memang tetap mengerjakan tugas-tugasnya yang tak kalah banyak, tapi masih bisa jalan-jalan pagi seminggu tiga kali, bahkan tidur-tiduran di siang hari. Tampaknya si bungsu ini lebih malas, tapi kok malah tidak ada masalah dalam menyelesaikan tugas akademisnya, dan tenang saja sampai sekarang. Pertanyaan saya, mengapa itu bisa terjadi? Mungkin mereka bisa diberi informasi yang sesuai. Terima kasih.
Merespons pertanyaan Bapak S ini, menurut saya setiap individu memiliki caranya sendiri yang berbeda. Pandemi Covid-19 telah membuat orang terkejut, bingung, dan khawatir dengan ketidakpastian kapan akan berakhir. Sebagian orang dalam menghadapi stressor yang mendadak dan akut memang menyalurkannya ke bentuk tindakan mempertahankan hidup dengan kecepatan penuh.
Itu sebabnya, mereka menghabiskan waktu dengan terus-menerus berfokus pada tugasnya, seperti yang dilakukan sang putri sulung. Namun, adalah sesuatu yang normal jika setelah periode stres berkepanjangan, mereka merasa terlalu terkuras untuk bisa terus bekerja. Muncullah rasa kewalahan dan keluhan lainnya.
Kondisi ini oleh Natalie Dattilo, PhD (2020), seorang psikolog di Brigham and Women’s Hospital di Boston, Amerika Serikat, dijelaskan sebagai berikut: ”Sistem saraf Anda telah sepenuhnya dibebani oleh perubahan hidup yang tiba-tiba dan dramatis dalam bentuk bertahan hidup. Setelah periode hiperaktivitas yang panjang, sistem saraf pasti akan mencari keseimbangan, suatu proses yang dikenal dalam biologi sebagai homeostasis. Di situlah terjadi benturan, ketika Anda mungkin menemukan energi diri tiba-tiba turun drastis. Semua hiperaktivitas itu akan secara alami berkembang menjadi kebalikannya, menjadi kurang aktif, kurang fokus, bergerak dan berpikir lebih lambat. Sekarang ancaman awal telah dimitigasi/dipindahkan dalam beberapa cara, sistem Anda hanya mencoba memperlambat untuk mengalibrasi ulang dirinya sendiri dengan mengembalikan keseimbangan dan istirahat.”
Jadi, untuk mengatasinya disarankan untuk menurunkan harapan, merencanakan untuk memperlambat segalanya, memberi izin diri untuk beristirahat, meluangkan waktu untuk memproses ulang berbagai hal, dan meyakini bahwa kondisi ini adalah sementara (Ashley Abramson, 2020).
Produktivitas
Produktivitas adalah menyelesaikan tugas secara benar dengan waktu sesedikit mungkin. Chris Bailey (2020) mengatakan untuk sebagian besar hari, tujuan kita adalah tetap fokus sehingga kita dapat terus menyelesaikan sesuatu dari daftar tugas kita. Ini berjalan baik ketika kita berada di tempat kerja karena membantu mengembangkan pola pikir produktivitas dan mencapai lebih banyak.
Namun, selama pandemi, pola pikir produktivitas di rumah mengubah kehidupan pribadi kita menjadi suatu daftar yang terus berjalan dan berubah. Pola pikir produktivitas bisa menjadi hal yang buruk karena otak kita terhubung secara selektif untuk berfokus pada hal-hal yang kita temukan sebagai sesuatu yang baru dan mengancam. Hal ini menjelaskan mengapa kita cenderung memeriksa berita (atau media sosial) setiap 10 menit atau memikirkan pesan mengkhawatirkan yang sudah kita terima tiga minggu lalu.
Mengenai reaksi putri bungsu, kemalasan yang terjadi berfungsi positif. Chris Bailey (2018) menjelaskan bahwa kemalasan yang tepat adalah ketika kita memilih untuk tidak melakukan apa pun. Dalam dunia yang selalu ada gangguan, kita malah menghabiskan waktu luang kita dengan gangguan-gangguan baru, seperti memeriksa e-mail, Whatsapp, membaca berita, berselancar di Facebook, dan berbagai kegiatan yang justru sering membuat kita semakin lelah.
Pada saat tertentu, perhatian kita bisa terfokus atau tidak fokus. Saat terfokus, itulah yang memungkinkan kita menyelesaikan pekerjaan, melakukan percakapan yang bermakna, dan membuat hidup kita bergerak maju. Namun ternyata, penelitian menunjukkan bahwa tidak fokus itu memiliki kekuatan yang sama meskipun dengan cara yang berbeda.
Sementara fokus membuat kita lebih produktif, tidak fokus membuat kita lebih kreatif. Kita didorong untuk mendengarkan tubuh dan bergerak sesuai dengan kecepatan kita sendiri.
Pikiran berkelana
Menurut Bailey (2018), sebuah studi pada 2011 menemukan bahwa ketika perhatian kita beristirahat (yaitu selama ada kemalasan), isi pikiran kita mengembara untuk memasukkan hal mengenai masa depan (48 persen dari waktu), masa kini (28 persen), dan masa lalu (12 persen). Sisanya tidak masuk ke mana pun.
Ini penting karena dalam prosesnya, kita dapat benar-benar menjadi lebih kreatif dan lebih baik dalam penyelesaian masalah. Dengan kata lain, pikiran yang mengembara memungkinkan kita melakukan tiga hal penting:
1. Merencanakan masa depan. Kita memikirkan masa depan 14 kali lebih sering ketika perhatian kita tengah bebas berkeliaran, dibandingkan ketika kita terus fokus pada satu hal. Jadi, tanpa menyadarinya, kita tengah merefleksikan tujuan jangka panjang dan menetapkan niat.
2. Memunculkan ide-ide baru. Cobalah untuk mengingat kapan terakhir kali Anda menemukan suatu ide atau solusi kreatif. Kemungkinan itu tidak terjadi ketika Anda berlomba untuk mengejar suatu tenggat waktu. Sebagai gantinya, mungkin sambil mandi berlama-lama, Anda mendapatkan solusinya.
3. Meluangkan waktu untuk mengisi ulang. Ketika otak kita dalam keadaan istirahat, kita sebenarnya menyimpan energi mental dan fisik kita sehingga dapat memakainya untuk hal-hal yang benar. Di satu sisi, juga berinvestasi untuk kesehatan mental kita. Itulah yang terjadi pada putri kedua. Ketika sedang bermalasan, ketidakfokusannya justru mendatangkan kreativitas dan efisiensi untuk melanjutkan tugasnya.
Hampir tidak ada yang menguras produktivitas kita lebih dari suatu pikiran cemas. Saat ini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan kemalasan dan ketenangan yang menyertainya. Jadi, berhentilah terlalu sibuk dan biarkan otak Anda tidak melakukan apa-apa. Berhenti terobsesi dengan berita.
Biarkan pikiran Anda untuk memberi tahu apa yang dibutuhkannya. Setelah jangka waktu tertentu, Anda akan menemukan bahwa otak Anda telah melambat, lalu dengarkan musik kesayangan atau mandi air hangat, meskipun ini hanya salah satu hal paling produktif yang Anda lakukan hari ini.
Salam rileks.