Sosiologi Tubuh Era Normal Baru
New normal adalah cara berada dalam kesadaran akan adanya “musuh bersama yang tak terlihat”. Keluarga, sekolah dan lembaga-lembaga agama berperan penting dalam proses pembiasaan hidup sehat dan berdamai dengan Korona.
”Di samping pikiran dan perasaan, terdapat Sang Penuntun yang lebih agung, yaitu diri. Ia adalah tubuhmu” – Friedrich Nietzsche
Pandemik Covid 19 tidak saja mengubah wajah dunia secara drastis, tetapi juga mengharuskan miliaran penduduk bumi bersama-sama menciptakan cara berada baru (new normal). Belum ada kepastian kapan para ahli akan menemukan vaksin antivirus korona.
Akan tetapi, kehidupan akan terus berlanjut di tengah gentayang korona yang dapat membunuh siapa pun dan kapan saja. Tidak perlu waktu lama untuk melipatgandakan korban karena yang diperlukan virus ini hanya tubuh yang kehilangan jarak dan batas sosial (physical/social distance).
Pergerakan dan gestur individu di ruang sosial menentukan tren statistik ancaman Korona. Mengejutkan bahwa data korban Covid-19 negara-negara maju, seperti Amerika, Italia, dan Inggris bisa meningkat secara eksponensial dalam waktu sangat singkat. Sementara tren sebaliknya diperlihatkan negara-negara berkembang, seperti Vietnam. Oleh karena itu, menjadi masuk akal sebab untuk mencari penjelasan atas fenomena ini di luar argumen teknologi kesehatan.
Pergerakan dan gestur individu di ruang sosial menentukan tren statistik ancaman korona.
Tubuh di ruang sosial
Perhatian tentang tubuh menarik minat para ilmuwan sosial, terutama di era ketika tubuh tidak lagi sekadar mesin kapitalis dalam pandangan eksploitasi Marx. Sejak lama, tubuh dipahami sebagai diri yang menampak, otoritas yang bergerak di ruang sosial. Anthony Synnott adalah sosiolog yang memberi perhatian pada karakter sosial tubuh (body social). Ia berbicara tentang cara orang mendiami tubuh dan bagaimana orang menggunakan tubuh dalam hubungan pribadi dan sosial.
Selain kemajuan dan hal-hal baik, keberadaan dan aktivitas tubuh juga berkenaan dengan kemunduran, bahaya dan ancaman terhadap diri dan masyarakat luas. Demi keteraturan, kebaikan dan keselamatan, sosiolog Talcott Parsons menekankan pentingnya norma dan nilai dalam hubungan saling pengaruh antara individu dan masyarakat. Pandangan ini membantu kita memahami tegangan antara kebebasan ekspresi tubuh di ruang sosial dan kontrol atas tubuh oleh struktur-struktur kekuasaan.
Hak atas tubuh demi tujuan dan kepentingan apa pun perlu ditempatkan dalam ranah penaklukan tubuh oleh kekuasaan dan hukum, lebih penting lagi oleh nilai dan norma yang disepakati bersama. Dalam budaya penaklukan seperti ini, tubuh menjadi penuntun keselamatan dan kesejahteraan diri dan orang banyak. Kata Nietzsche, ”Di samping pikiran dan perasaan, terdapat Sang Penuntun yang lebih agung, yaitu diri. Ia adalah tubuhmu.”
Di tengah pandemik Covid-19, penaklukan tubuh pada kebijakan negara atau otoritas kesehatan juga pada norma dan nilai-nilai merupakan etika sosial yang sangat penting. Keselamatan diri dan komunitas di tengah gentayang pembunuh tak terlihat ini sungguh menuntut disiplin tubuh. Patuh pada arahan, kebijakan dan norma adalah tertib yang tidak saja menghargai tubuh, tetapi juga etika dan kesopanan yang dapat menyelamatkan diri dan bangsa.
Di tengah pandemik Covid-19, penaklukan tubuh pada kebijakan negara atau otoritas kesehatan juga pada norma dan nilai-nilai merupakan etika sosial yang sangat penting.
Inilah mengapa Vietnam menjadi salah satu negara dunia ketiga yang mencatat angka nol pada statistik korban korona. Vietnam menjadi rujukan dari bekerjanya kontrol kekuasaan dan produk hukum atas tubuh, terlepas dari faktor kekuasaan otoritarian-komunis di baliknya.
Apa yang terjadi di Amerika, negara yang mengagungkan kebebasan individu adalah kebalikannya. Selain faktor usia dan kepadatan populasi di sejumlah kota, ketidakpatuhan pada kekuasaan dan hukum memberi andil pada kurva terjal data korban yang kini mencapai ratusan ribu jiwa.
BBC News menyebut social-distancing failures (kegagalan menjaga jarak) sebagai kesalahan besar Amerika dalam penanganan wabah Korona. Warga Kota New York misalnya, berdesak-desakan dalam gerbong subway pada saat wabah merebak, sementara para mahasiswa memadati pantai Florida saat liburan musim semi lalu.
”Aku tidak akan membiarkan korona menghentikanku untuk berpesta,” kata seorang pengunjung pantai Florida. Fatalnya, institusi agama pun melakukan kesalahan serupa. ”Kami memegang hak-hak agama kami dan kami akan tetap berkumpul, tidak peduli apa kata orang,” demikian Pendeta Tony Spell, pemimpin sebuah Gereja di Lousiana.
Pandemik Covid-19 mengirim pesan sosiologis bahwa disiplin tubuh di ruang publik masih menjadi halangan serius bagi etika sosial, termasuk di tengah bencana. Ada tantangan dua arah di sini. Dari satu pihak, kebebasan individu yang tak terkontrol di tengah wabah yang memakai tubuh sebagai media penyebaran, tidak saja memperpanjang masa pandemik, tetapi juga memperpanjang daftar korban tewas.
Dari lain pihak, struktur-struktur otoriter represif, terbukti berperan dominan dan efektif dalam tugas penertiban tubuh. Dunia memerlukan tatanan baru. Apa yang disebut new nomal sebenarnya adalah tatanan kehidupan baru dimana semua orang secara proaktif membangun kesadaran kolektif atas disiplin tubuh di ruang sosial, tanpa represi sistem apa pun, demi keberlanjutan spesies manusia. Ini pekerjaan baru institusi-institusi kultural terutama keluarga, dunia pendidikan dan institusi agama.
Proyek ”budaya new normal”
Di sekitar pandemik Covid-19 mata penduduk bumi terarah ke Jepang, melihat cerita sukses sebuah proyek kultural. Tidak seperti di umumnya negara, otoritas Jepang tidak banyak mengeluarkan peraturan juga tidak melakukan pengawasan sangat ketat atas warganya dalam hal jaga carak, cuci tangan dan pakai masker.
Sebelum mengenal huruf di sekolah, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melakukannya di rumah. Meski sempat beredar rumor bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe berusaha menampilkan citra Jepang sebagai negara aman agar tidak kehilangan Olimpiade Musim Panas dengan menutup-nutupi data korban, landainya kurva Covid-19 lebih dihubungkan dengan cara hibup bersih dan sehat orang Jepang.
”Mencuci tangan, berkumur dengan larutan disinfektan, dan mengenakan masker adalah bagian dari kehidupan kami sehari-hari. Virus korona tidak perlu mengajarkan hal itu kepada kami," kata seorang ibu di Jepang. Ada angka yang menguatkan pernyataan warga negeri Sakura ini. Jauh sebelum wabah menyebar, pabrik-pabrik masker Jepang setiap tahun menjual 5,5 miliar masker wajah atau setara 43 masker per orang per tahun. Orang Jepang sejak lama terbiasa memakai masker terutama saat berada di pusat-pusat keramaian
Perlu proyek budaya untuk membangun kesadaran kolektif agar keselamatan tidak digantungkan pada represi kekuasaan untuk disiplin tubuh. Talcott Parsons mengimpikan perlunya pengetahuan, nilai, dan norma yang disosialisasikan terus menerus hingga menjadi bagian dari kehidupan atau kesadaran kolektif yang dijaga bersama. Era new normal menjadi titik berangkat yang menentukan dari proyek budaya ini.
Sebelum mengenal huruf di sekolah, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melakukannya di rumah.
Masyarakat dunia akan segera kembali ke tengah kehidupan normal seperti sebelum korona mewabah. Umat beragama kembali memuji Tuhan di rumah-rumah ibadat, para pegawai kembali bekerja di kantor, mereka yang berbisnis membuka lagi toko dan pabrik, pelajar dan mahasiswa melanjutkan lagi aktivitas belajar dan kuliah, para nelayan terus melaut dan para petani kembali ke ladang,
Apa yang baru? Yang baru adalah cara berada, cara menghadirkan tubuh di antara tubuh-tubuh lain dengan kesadaran bahwa kita dapat saling menyebarkan virus, bahwa kita berpotensi membunuh siapa pun di hadapan kita tanpa kita kehendaki. New normal adalah cara berada dalam kesadaran akan adanya ”musuh bersama yang tak terlihat” (invisible common-enemy). Walau boleh berdoa, belajar dan bekerja bersama kita harus menjaga jarak, memakai masker, dan lebih sering mencuci tangan.
Keluarga, sekolah dan lembaga-lembaga agama berperan penting dalam proses pembiasaan dan pembudayaan. Orangtua memberi teladan, sekolah mendidik, agama menginspirasi. Jika norma-norma: jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan telah menjadi kesadaran kolektif yang membudaya, kita boleh sepakat dengan Pak Presiden ”berdamai dengan korona.”
(Wilfrid Valiance, Rohaniwan Katolik, Mahasiswa Program Studi Doktoral Sosiologi Universitas Indonesia; Pernah Menekuni Program Intercultural Studies di Amerika Serikat)