Mendayung di Antara Tiga Karang
Penyesuaian politik luar negeri tak mengurangi makna historis, prinsip, dan substansi gagasan Bung Hatta. Mendayung di antara tiga karang sudah jadi keniscayaan; tinggal bagaimana kita bermanuver di antara tiga kekuatan.
Dinamika geopolitik internasional bergerak cepat belakangan ini, termasuk di masa pandemi Covid-19. Suka atau tidak, premis bahwa dunia pasca-Perang Dingin akan menjadi unipolar atau bahkan multipolar tampaknya sudah mulai ditinggalkan atau mengerucut. Pola tatanan dunia baru berdasarkan dominasi tripolar (Amerika Serikat, Rusia, dan China) suka atau tidak sudah kian nyata dan harus diterima.
Konsep tripolar
Namun, pola baru berdasarkan konsep tripolaristik ini memerlukan klarifikasi. Pertama, konsep ini tak mengikuti diplomasi Triangular-nya Henry Kissinger yang dikembangkan semasa Perang Vietnam (1955-1975). Ketika itu, konsep ini digunakan untuk mengeksploitasi persaingan kedua kubu komunis, Uni Soviet dan China, demi memperkuat kepentingan diplomatik dan hegemoni AS.
Ini sejalan dengan terjadinya Sino-Soviet Split (1956-1969) yang diwarnai insiden kontak militer perbatasan (Ussuri River Incident, 1969). Ketika itu, menurut Kissinger dalam bukunya, The White House Years (1979), bagi AS lebih baik ”to be closer to either Moscow or Peking than either was to the other”.
Kedua, tripolarisasi ini juga tak sesuai dengan prediksi Paul Kennedy. Dalam buku fenomenal The Rise and Fall of the Great Powers (1987), ia meramalkan, di Pasifik, kekuasaan China dan Jepang akan bangkit, sementara Soviet, AS, dan Eropa akan surut. Dalam realitasnya, hanya ramalan mengenai China yang benar, sedangkan AS dan Rusia relatif stagnan. Menurut Henry R Nau (2001), ini karena model realisme politik internasional Kennedy mengabaikan peran identitas nasional.
Pola tatanan dunia baru berdasarkan dominasi tripolar (AS, Rusia, dan China) suka atau tidak sudah kian nyata dan harus diterima.
Ketiga, telaahan ini juga tak mendasarkan pada premis salah satu buku Zbigniew Brezinski yang terkenal, The Grand Chessboard (1997), yakni daratan Eurasia diperkirakan akan jadi pusat kekuasaan global. Menurut Brezinski, meski lebih diarahkan pada era pasca-Soviet, di kawasan yang terbentang luas ini tak akan muncul kekuatan yang dapat mendominasi Eurasia dan men-challenge kekuasaan global AS. Bagi dia, AS bukan cuma adidaya yang pertama dan satu-satunya yang benar-benar adidaya global, tetapi juga bakal menjadi adidaya yang terakhir.
Secara de facto, saat ini persaingan dominasi dunia sudah terfokus pada kekuatan tripolar tersebut. Lepas dari konotasi ideologi, ketiga negara sudah menjadi global power berdasarkan kekuatan ekonomi, militer, dan diplomasinya.
Masuknya China sebagai salah satu kekuatan global bisa dilihat dari berbagai data, termasuk CIA World Factbook dan SIPRI. PDB (berdasarkan paritas daya beli), China sudah nomor satu dunia, di atas AS (2) dan Rusia (6), dengan ekspor yang masif dalam elektronik, teknologi, dan hampir semua kebutuhan manusia.
China yang juga negara nuklir sudah menjadi produsen senjata nomor dua dunia, di bawah AS di atas Rusia, padahal sepuluh tahun lalu masih impor. Militer China membangun pangkalan militer pertama di luar negeri, di Djibouti (2017), selain di Laut China Selatan (Spratly).
Dari sisi ekspansi diplomasi global, kini sebagian besar negara dunia lebih mengakui China ketimbang Taiwan, seperti terlihat di Amerika Latin dan Afrika. Kedutaan Taiwan tinggal beberapa dan selebihnya menjadi perwakilan dagang.
Dalam konteks keseimbangan kekuatan, tak satu pun dari tripolar akan beraliansi satu dengan lainnya dalam menghadapi persaingan di antara mereka. Ketiga negara satu dengan yang lain memiliki ”luka sejarah” dan prinsip bernegara yang tidak dapat disatukan. Belum lagi masalah identitas nasional dan prestise.
Soviet-Sino Split dan insiden Sungai Ussuri, Perang Dingin, dan pecahnya Soviet, serta perang dagang dan isu Taiwan akan selalu mengganjal di benak para pengambil keputusan ketiga tripolar itu. Belum lagi dengan persaingan mereka di kawasan hotspot dunia, seperti di Semenanjung Korea, Laut China Selatan, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
Dalam konteks keseimbangan kekuatan, tak satu pun dari tripolar akan beraliansi satu dengan lainnya dalam menghadapi persaingan di antara mereka.
Adaptasi gagasan Hatta
Hingga kini, politik luar negeri (polugri) RI masih berlandaskan kebijakan bebas-aktif dalam non-blok (non alignment), yang fondasinya diletakkan Mohammad Hatta di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, 2 September 1948.
Dalam pidato bertajuk ”Mendayung di Antara Dua Karang” dinyatakan, ”Tiap-tiap orang di antara kita tentu ada mempunyai simpati…, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada realitas, kepada kepentingan negara setiap waktu”. Oleh Rosihan Anwar, di buku Sejarah Kecil ”Petite Histoire” Indonesia Jilid 2 (2009), polugri ini ditegaskan sebagai ”tak boleh jadi pihak pasif dalam politik internasional, tetapi harus jadi pelaku aktif yang berhak memutuskan pendiriannya sendiri”.
Menghadapi perkembangan pesat geopolitik saat ini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari gagasan Hatta dan Rosihan. Penggunaan bijak kata ”karang” dan bukan ”pulau” secara sederhana menunjukkan (batu) karang hanya merupakan tempat transit atau emergensi dan bukan tempat untuk dihuni (pulau) atau tujuan akhir.
Fenomena munculnya karang baru adalah proses alamiah. Sementara perjuangan bangsa berdasarkan realitas jelas menunjukkan polugri harus senantiasa realistis dan kenyal (adaptif) terhadap perkembangan internasional. Bisa diartikan, realitas munculnya ”karang” baru harus diimbangi dengan kemampuan adaptif polugri RI. Kalau tidak, bisa terjadi polugri untuk memperjuangkan kepentingan negara akan salah arah dan sasaran.
Pernyataan Rosihan bahwa polugri tak boleh pasif jelas menunjukkan bahwa untuk memperjuangkan kepentingannya, Indonesia tidak boleh bergantung hanya pada satu pihak, tetapi aktif bekerja sama dengan semua negara, termasuk kekuatan utama dunia. Sementara ”berhak memutuskan pendiriannya sendiri” jelas merupakan penegasan kedaulatan, jati diri, dan kehormatan bangsa Indonesia, yang tak mau didikte siapa pun, termasuk kekuatan besar sekalipun.
Inilah salah satu prinsip kesetaraan (equal footing) yang harus ditegakkan dalam hubungan internasional.
Dengan demikian, mendayung di antara dua karangnya Bung Hatta jelas didasarkan situasi geopolitik saat itu. Sejalan dengan perubahan realitas, perahu polugri juga harus siap beradaptasi dalam mengarungi tiga karang.
Adaptasi atau penyesuaian ini sama sekali tidak mengurangi makna historis, prinsip, dan substansi gagasan Bung Hatta. Mendayung di antara tiga karang sudah menjadi keniscayaan; tinggal bagaimana kita bermanuver di antara kekuatan tripolar itu.
(Dian Wirengjurit, Diplomat Utama)