Harapan penulis, tradisi membaca suara anak harus dihentikan sepanjang hanya memajang anak di atas panggung sandiwara. Itu tidak lebihnya eksploitasi suara anak. Sementara setelah itu suara mereka dicampakkan.
Oleh
Paulus Mujiran
·4 menit baca
Pada perayaan Hari Anak Nasional, 23 Juli, mulai dari pusat hingga daerah, kesempatan secara rutin diberikan kepada anak-anak untuk menyampaikan suara mereka dalam tajuk ”Suara Anak Indonesia”. Di puncak peringatan Hari Anak Nasional, perwakilan anak-anak se-Indonesia bersama-sama membacakan di depan presiden atau menteri.
Sementara di tingkat provinsi, mereka membacakannya di hadapan gubernur dan bupati/wali kota jika di tingkat kabupaten/kota. Suara anak dirumuskan dalam momen kongres atau konferensi anak beberapa waktu sebelumnya yang mengangkat isu tematik nasional atau daerah yang relevan.
Dari tahun ke tahun, penekanan isu yang diangkat anak-anak ini beragam, seperti tahun lalu fokus pada pemanfaatan media digital. Tahun ini, fokus pada pandemi Covid-19. Di daerah dengan isu menonjol, seperti pernikahan usia anak, kekerasan kepada anak, tengkes/stunting, biasanya mereka mengangkat isu-isu itu dalam suara anak mereka. Tahun ini, mayoritas suara anak didominasi keluhan terkait pembelajaran daring.
Menarik, karena anak diberikan kesempatan bersuara di hadapan pejabat pemerintah yang tentu saja bagi anak amat membanggakan. Mereka juga merumuskan sendiri suara anak tanpa dicampur tangani orang dewasa. Perumusan suara anak sebagai ajang melatih anak-anak berpikir mandiri, menangkap isu aktual dan keprihatinan mereka terhadap anak-anak yang lain. Bahasa kerennya, mereka belajar advokasi karena suara mereka dapat mengubah arah kebijakan pemerintah.
Tahun ini, mayoritas suara anak didominasi keluhan terkait pembelajaran daring.
Yang umum terjadi perumusan suara anak menggunakan alur isu berdasar klaster dalam Konvensi Hak Anak (KHA) seperti Hak Sipil dan Kebebasan, Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Pendidikan Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya serta Perlindungan Khusus.
Ini hanya teknis untuk memudahkan dalam pengelompokan. Beberapa masalah yang kerap diangkat dalam suara anak seperti masalah akta kelahiran, informasi layak anak, pengasuhan dalam keluarga hingga putus sekolah dan kekerasan terhadap anak.
Pembacaan suara anak dalam momentum puncak HAN selalu menyisakan ruang kosong pertanyaan hampa untuk apa anak dilibatkan? Untuk apa anak susah-susah merumuskan suara anak. Fakta membuktikan pembacaan suara anak hanyalah ritual belaka yang diulang dari tahun ke tahun namun minim aksi nyata dari pembuat kebijakan untuk menindaklanjuti suara anak itu menjadi aksi nyata. Suara anak hanya enak didengar namun tidak diperlukan. Meminjam slogan sebuah majalah suara anak enak dibacakan namun tidak berguna
Suara anak digaungkan dalam setiap peringatan hari anak namun dampak yang dirasakan anak tidak sigfnifikan. Tidak banyak pemerintah daerah (pemda) yang menjadikan suara anak sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan publik mereka. Suara anak seperti slogan, “habis dibaca kertas dibuang”.
Itulah nasib suara anak. Pernah terjadi sehabis dibaca dan diserahkan kepada walikota lantas stopmap suara anak itu ditinggal begitu saja menjadi sampah dan konsumsi para pemulung.
Hal ini disebabkan ruang kebijakan ini adalah milik orang dewasa. Kita gagal memuliakan suara anak ini dalam derap laju pembangunan. Ketika roda kebijakan pembangunan sudah berlangsung dan semua dirumuskan oleh orang dewasa kehadiran anak hanya menciptakan dunia “seolah-olah”.
Begitupun dengan mentalitas pejabat publik yang penting suara anak dibacakan, yang penting ada acara itu salam susunan acara tak peduli apakah anak dapat menyuarakan aspirasinya atau tidak. Yang penting dalam daftar absen dan foto hadir anak-anak karena akan ditanya pada saat evaluasi kota/kabupaten layak anak.
Ketika roda kebijakan pembangunan sudah berlangsung dan semua dirumuskan oleh orang dewasa kehadiran anak hanya menciptakan dunia ’seolah-olah’.
Sikap menyepelekan suara anak merupakan wajah birokrasi semenjak dari dulu hingga sekarang. Mental formalitas yang penting bapak senang tidak juga luntur sekalipun kekuasaan silih berganti. Ini membuktikan rasa enggan pejabat mendengarkan masukan-masukan dari anak. Tradisi membaca suara anak terus dipertahankan dengan persiapan yang matang, sementara setelah itu suara anak yang original dari jeritan anak-anak dicampakkan begitu saja.
Untuk apa suara anak disusun dan dibacakan dengan susah payah kalau kelak hanya akan menjadi sampah? Seyogianya pelibatan anak-anak benar-benar berangkat dari bawah darimana isu itu diangkat.
Anak-anak karena keluguan dan kepolosan mereka sejatinya memiliki usulan-usulan yang layak didengarkan. Mereka bukan sosok yang hanya ”tong kosong berbunyi nyaring”, tetapi informasi mereka amat lengkap dan memadai. Mereka sendiri yang merasakan dunianya sehingga layak menyuarakan.
Harapan penulis, tradisi membaca suara anak harus dihentikan sepanjang hanya memajang anak di atas panggung sandiwara. Itu tidak lebihnya eksploitasi suara anak. Sementara setelah itu suara mereka dicampakkan. Ini hanya membuat anak-anak bangga, tetapi semu.
Ketika suara mereka dicampakkan sakitnya di sini benar-benar terasakan. Pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh memberikan ruang partisipasi anak bukan justru mengebirinya dalam momentum pembacaan suara anak.
(Paulus Mujiran, Pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang)