Lewat media dikabarkan perusahaan asuransi AJB Bumiputera 1912, yang berusia lebih dari 100 tahun, kena musibah. Tidak mampu membayar semua klaim polis walau sudah dua tahun dari sejak tanggal jatuh tempo.
Saya juga mempunyai polis, jatuh tempo awal 2020. Seorang teman pemasar menginformasikan, Bumiputera sedang bermasalah. Padahal, dari sejak berdiri Bumiputera mampu menghadapi berbagai krisis: dari dampak perang dunia hingga krisis moneter.
Tahun 1965, paman saya pegawai Bumiputera kantor cabang Surakarta rela dibayar meja, kursi, dan lemari inventaris kantor. Tahun 1998, Bumiputera mampu membayar klaim polis dollar. Menurut teman saya itu, pemasar polis selama 30 tahun, sejak disehatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016, kondisi keuangan Bumiputera justru memburuk. Klaim polis menumpuk belum dibayar, sementara klaim baru terus masuk.
Kami berdua heran membaca artikel Irvan Rahardjo, mantan Komisaris Independen Bumiputera, berjudul ”Menyelamatkan Bumiputera” (Kompas, 1/12/2018). Disebutkan bahwa PS—pelaksana statuter (bentukan OJK?)— sukses menggerus aset finansial Bumiputera dari Rp 8 triliun jadi tinggal Rp 3 triliun hanya dalam dua tahun. Pembayaran klaim tertunda berbulan-bulan, membuat marah pemegang polis dan stres karyawan.
Teman saya mengusulkan, kalau memang AJB Bumiputera 1912 tidak memenuhi undang-undang baru tentang perasuransian, silakan Bumiputera ”disuntik mati”. Namun, beri kesempatan Bumiputera memenuhi kewajibannya dulu: Membayar lunas semua klaim polis yang jatuh tempo maupun polis berjalan. Saya setuju.
Uangnya dari mana? Izinkan Bumiputera menjual seluruh asetnya (gedung perkantoran, hotel, tanah). Bukankah itu semua dulunya dibeli dengan uang premi para pemegang polis?
Uang dari nasabah harus kembali ke nasabah. Sederhana! Dengan demikian, ribuan pemasar polis bisa lega karena selama ini hampir setiap hari mereka dicecar para nasabah yang dirugikan AJB Bumiputera 1912.
Silakan para pemangku pemerintahan, terutama OJK, mendengarkan dan mempertimbangkan saran itu.
Sugeng Hartono
Pemegang Polis, Perumahan Bona Indah Blok A, Lebakbulus, Jakarta Selatan
SK Inpassing
Saya guru non-PNS dengan Golongan IVA pada SMP Santo Augustinus, Ketapang, Kalimantan Barat. Sejak 2008 saya telah lulus sertifikasi guru bidang studi Bahasa Indonesia dan mendapat tunjangan profesi Rp 1.500.000 per bulan.
Nomor sertifikat saya: 200708700001. Setiap tahun saya mengajukan pemberkasan Inpassing sesuai ketentuan dan selalu memenuhi jam wajib mengajar 24 jam, dibuktikan valid pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) setiap semester. Pemberkasan terakhir Mei 2019 dengan nomor urut 10281 dan nomor berkas 20140110281.
Namun, sampai Juni 2019 SK Inpassing (SK penyetaraan dengan guru PNS) belum keluar. Rekan-rekan saya guru non-PNS dengan tahun lulus sertifikasi lebih baru sudah mendapat tunjangan profesi penuh satu kali gaji pokok.
Saya mohon perhatian pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Andreas Anastasius
Jl Muchrim, RT 014 RW 005, Mulia Baru, Ketapang
Mencerdaskan
Biasanya artikel yang ditulis fisikawan teori hanya dapat dinikmati sesama fisikawan teori dan dipahami fisikawan lainnya. Orang awam akan tersesat dalam rimba-raya kerumitan matematikanya.
Namun, artikel Terry Mart berjudul ”Amankah ’Thermogun’?” (Kompas, 27/7/2020), enak dibaca, bahkan oleh awam sekalipun.
Semoga Kompas lebih sering menyuguhi pembacanya dengan artikel ilmiah populer semacam itu dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga