Rebut Kuasa, Tebar Kebencian, dan Kesia-siaan
Maraknya berita bohong yang diluncurkan pada Pemilu 2019 dirancang untuk menebar kebencian dan merebut kekuasaan. Langkah itu membuat bangsa terpecah dan menuai kesia-siaan.
Anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini telah kehilangan ayah-ayah mereka, yang mati dalam peperangan. Tapi tiada kesedihan pada mereka. Tiada dendam dan permusuhan di antara mereka. Dan, tiada peduli mereka akan api yang menjilat-jilat kejam Dewi Sinta. Hanya sukacita ada dalam diri mereka.... Rukun dan damailah hati anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan, mereka tidak berpikir apa-apa, kecuali bergembira. Kegembiraan mereka seakan mengejek kisah dan riwayat yang dialami orangtua mereka, ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka. (GP Sindhunata, “Anak Bajang Menggiring Angin”, PT Gramedia Pustaka Utama, 2018)
Tahun 2019, adalah tahun politik. Tahun saat pesta demokrasi level nasional, di segala tingkatan, untuk kali pertama digelar serentak. Pemilu yang memilih anggota DPR, DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dan pemilihan wakil daerah “Dewan Perwakilan Daerah” (DPD), serta pemilihan presiden/wakil presiden dilaksanakan bersamaan. Tidak banyak negara yang bisa dan berani menggelar pemilu secara serentak, seperti Pemilu 2019.
Bahkan, dalam berbagai catatan pengamat internasional, pemilihan wakil rakyat yang digelar bersamaan dengan pemilihan pimpinan eksekutif, baru pertama kali diadakan di dunia ini. Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lain pun memuji Indonesia. Direktur Jenderal Bidang Politik Departemen Luar Negeri AS, David Hale berkunjung ke Indonesia, dan diterima Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di Jakarta, 29 April 2019, tidak lebih dari dua minggu setelah Pemilu 2019 sukses digelar. Jakarta menjadi salah satu tujuan dalam rangkaian kunjungan ke Thailand, Myanmar, dan Jepang. Hale, yang mewakili pemerintah AS, memuji penyelenggaraan pemilu yang damai sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia (Kompas, 30/4/2019).
Baca juga: Klepon dan Cemplon
Meskipun masih diwarnai sejumlah persoalan teknis, pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak juga diapresiasi oleh pemantau asing yang menyaksikan langsung, 17 17 April 2019. John Nickell, Kepala Bidang Media Komunikasi Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia, bersama 208 delegasi pemantau internasional dari sejumlah negara ikut dalam Election Visit Program Pemilu Serentak 2019, mengatakan, ”Ini sangat fantastis. Indonesia adalah negara yang menyelenggarakan pemilu dalam satu hari (one day election) dengan skala terbesar di dunia. Orang-orang antusias datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan memiliki waktu pemilihan hanya tujuh jam. Kami terkesan bagaimana semua kegiatan ini bisa tertata dengan baik.” Ia mengaku belum menemukan ada persoalan mendasar dalam pemungutan suara itu.
Pemilu dalam satu hari yang melibatkan lebih dari 190 juta orang, bukan hal kecil. ”Bisa dipahami pasti sangat sulit untuk menyelenggarakan pemilu seperti ini di seluruh Nusantara. Ini adalah festival demokrasi, dan kami sangat senang jadi saksi untuk itu. Kami berharap Indonesia berhasil dan bisa menunjukkan contoh bagus pada negara-negara lain di dunia yang percaya pada demokrasi,” jelas Wakil Dubes Inggris untuk Indonesia, Rob Fenn. Apresiasi disampaikan pula oleh Presiden International Foundation for Electoral Systems (IFES) Anthony Banburry, dan Karlito Nunes dari International Republican Institute (Kompas, 18/4/2019).
Pemilu di Indonesia tidak kalah kompleks daripada pemilu di India, walaupun dari segi jumlah pemilih, skala di India jauh lebih besar. Namun, pemilu di Indonesia istimewa karena warga harus memilih lima jenis surat suara, kecuali di DKI Jakarta yang hanya empat kertas suara, pada hari yang sama. Pemilu di India digelar berhari-hari untuk pemungutan suaranya.
Baca juga: Bayan Tua yang Agung
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dalam pengantar diskusi yang terarah pada Kamis (30/7/2020) menyatakan, penyelenggaraan Pemilu 2019 yang melibatkan sekitar 195 juta pemilih, yang tersebar di sekitar 800.000 TPS, dan melibatkan lebih dari 7 juta petugas pemilihan berhasil diselenggarakan. Pemilu 2019 memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, yakni sebesar 81,97 persen untuk pemilu presiden/wapres, serta sekitar 81,69 persen pada pemilu legislatif. Hal ini menunjukkan komitmen masyarakat Indonesia terhadap sistem demokrasi masih tinggi. Pemilu 2019 berlangsung damai dan kondusif, tanpa adanya kekerasan di masyarakat.
Kebohongan: Tebar kebencian
Dalam pengantarnya untuk peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 pada 24 Mei lalu, Paus Fransiskus mengingatkan, “Hidup menjadi cerita. Manusia adalah makhluk pencerita. Sejak kecil tanpa disadari kita “lapar” akan cerita. Cerita yang dimanfaatkan untuk tujuan kekuasaan bakal berumur pendek. Berbeda dengan cerita baik yang mampu melampaui batas ruang dan waktu.” Kita pun mengerti, pemilu adalah bagian dari cerita kehidupan, yang terkadang juga diisi dengan berbagai cerita, yang mungkin benar atau cerita bohong, yang pasti untuk merebut kekuasaan.
Pemilu 2019 memang tidak diwarnai dengan kekerasan yang berujung pada korban yang berjatuhan, sia-sia, seperti pada pemilu sebelumnya, yang menghadap-hadapkan pemilih. Namun, sebuah cerita yang memprihatinkan, terkait “kekerasan” menyeruak pada masa pemilu saat itu, yang melibatkan tokoh masyarakat. Ratna Sarumpaet bercerita tentang penganiayaan yang dialaminya di Bandung, oleh sejumlah orang tidak dikenal, pada September 2018. Kisah itu segera menjadi “bola salju”, menggelinding dan membesar di masyarakat, karena terkait tokoh perempuan dan aktris; sepuh, berusia 69 tahun saat itu yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara; menjadi pendukung calon presiden, yang berhadapan dengan calon yang masih berkuasa (petahana); dan bisa memperlihatkan negara atau pemerintah yang abai melindungi warganya; serta berperilaku diskriminatif pada warganya.
Cerita Ratna pun memperhadapkan masyarakat dan pemerintah secara tajam. Namun, tak lebih dari sebulan, Oktober 2018, kisah itu terbongkar, hanyalah kebohongan yang menjadi pelengkap dari cerita keseluruhan saat itu, dalam rebut kuasa. Kontestasi. Pada Juli 2019, pengadilan membuktikan kisah penganiayaan yang menimpa Ratna adalah sebuah kebohongan. Pada saat bulan kelahirannya, Ratna dihukum dua tahun penjara untuk kebohongannya yang tak berusia lama. Seperti diingatkan Paus Fransiskus, barang busuk, ditutupi seperti apapun, tetap berbau busuk.
Baca juga: Adaptasi Bekerja dari Rumah
Sebenarnya, menggunakan cerita bohong sebagai bagian dari perebutan kekuasaan tak hanya terjadi pada Pemilu 2019. Bahkan, dalam perang Baratayuda, pada kisah Mahabaratha pun terungkap ada cerita bohong; yang bagi pemenang bisa disebut sebagai strategi, tetapi bagi yang kalah tetap cerita bohong. Seorang ksatria putih, pemimpin Pandawa yang dikenal jujur, Yudistira pun bisa tak berkata benar, demi meraih kemenangan. Ia tidak menjawab lugas dan tegas, membenarkan atau tidak membenarkan, saat gurunya, Resi Druna bertanya tentang kabar kematian anaknya, Aswatama, seperti yang diteriakkan orang di Padang Kurusetra.
Yudistira menjawab lirih, sehingga tak terdengar oleh gurunya, bahwa yang sebenarnya mati, adalah Estitama, gajah milik Aswatama. Druna tak mendengar jawaban Yudistira. Ia hanya mendengar ada kata kematian dan merasa benarlah kabar kematian putranya. Druna nan sakti pun lumpuh dan terbunuh di perang besar itu. Kisah “kemenangan” kabar bohong ini dituliskan kembali oleh Achiar M Permana dalam bukunya “Dusta Yudistira: Awas Hoax Bertahta di Media Kita” (PT Cipta Prima Nusantara, 2018).
Dalam artikelnya, Trisno S Sutanto, periset dan aktivis di Paritas Institute, Jakarta, mengingatkan ucapan dari Joseph Goebbels (1897-1945). Menteri Propaganda di era Adolf Hitler (Nazi) itu mengungkapkan, ”If you repeat a lie often enough, people will believe it, and you will even come to believe it yourself.” Kebohongan jikalau disampaikan berulang-ulang, orang akan percaya dan Anda juga akan memercayainya (Kompas, 27/3/2019).
Pernyataan Goebbels lebih dari 70 tahun lalu itu tetap terasa relevan dengan semakin berkembangnya hoaks dalam kehidupan masyarakat. Hoaks, yang pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2017) diartikan sebagai ’berita bohong’, tak hanya menyebar di Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Kabar bohong tidak hanya memperdaya masyarakat, tetapi juga mengguncangkan pemerintahan dan memecah belah rakyat di sejumlah negara. Warga dunia pun geram terhadap hoaks. Cerita bohong, sebagai bagian dari penyebaran kebencian terjadi pula pada Pemilu 2019, bahkan sudah terjadi sejak Pemilu 2014, dan berlanjut secara masif pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2016, khususnya melalui media sosial.
Baca juga: Batu Penanda Makam Sunda Wiwitan yang Disegel
Kini ada ratusan platform media sosial yang dimanfaatkan umat manusia. Menurut data Globalwebindex, dari sekitar 7,75 miliar warga dunia ini, sekitar 4,54 miliar di antaranya adalah pengguna internet, dan 3,8 miliar orang pengguna media sosial aktif (Kompas, 9/6/2020). Statista pada April 2020 memperkirakan pada 2019, ada 2,95 miliar orang menggunakan media sosial di seluruh dunia. Di Indonesia, dari sekitar 272 juta penduduknya, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet, dengan 160 juta pengguna aktif media sosial dengan lama mengakses rata-rata 3 jam 26 menit. Youtube menjadi media sosial paling banyak diakses di negeri ini. Pemakai internet di Indonesia bertambah sekitar 25 juta (17 persen), antara tahun 2019-2020. Penetrasi internet di negeri ini mencapai 64 persen pada Januari 2020. Kondisi ini harus dipertimbangkan oleh pembuat aturan, legislatif dan eksekutif, termasuk saat mengatur pelaksanaan pemilu.
Komunikasi dalam masyarakat berubah menjadi kian tergantung pada teknologi digital. Media sosial kini kian berkembang dan semakin populer. Kontroversi pun menyertai, antara lain terkait penggunaan data pribadi tanpa izin, ujaran kebencian, gangguan kesehatan mental pada pemakainya, berita bohong, dan ancaman pada demokrasi. Freedom House, lembaga nirlaba untuk kemajuan demokrasi dan kemerdekaan berpendapat di Washington, Amerika Serikat, November 2017 melaporkan adanya manipulasi media sosial untuk melemahkan demokrasi, termasuk mempengaruhi hasil pemilu di 18 negara, termasuk AS. Manipulasi informasi dalam media sosial masih terjadi hingga saat ini. Di Indonesia, pada dua pemilu terakhir, Twitter menjadi media sosial yang paling banyak dipakai untuk menyebarkan kebohongan dan ujaran kebencian, selain Facebook, terutama pada masa pemilu apapun.
Di Indonesia, dalam dua tahun terakhir, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), mencatat hoaks membanjiri masyarakat lewat media sosial. Pada 2019, bersamaan dengan pelaksanaan pemilu, rata-rata terdapat 100 hoaks per bulan, 60 persen di antaranya soal politik. Saat ini, rata-rata lebih dari 100 hoaks per bulan, sebagian besar terkait pandemi Covid-19 (Kompas, 11/6/2020). Penelitian Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan, hampir 70 persen rakyat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Media percakapan warga, seperti Whatsapp dan Line, yang oleh sebagian orang juga dimasukkan sebagai media sosial, menjadi saluran penyebaran hoaks pula.
Menurut Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, masyarakat telanjur ramai-ramai bergerak menggunakan media sosial, tetapi belum tahu bagaimana membaca informasi yang benar. Butuh tingkat literasi yang lebih, literasi digital. Ada tanggung jawab mengonfirmasi informasi yang diperoleh itu dari berbagai macam sumber (Kompas, 12/6/2020). Badan Reserse Kriminal Polri pada Agustus 2019 mengumumkan, sedikitnya 1.005 kabar bohong (hoaks), kabar palsu (fake news), ujaran kebencian, dan pengancaman menyebar di masyarakat, terutama saat jelang hingga pelaksanaan pemilu. Publik perlu dilindungi dari informasi menyesatkan itu.
Baca juga : Kita Segera Menonton Perang Tiktok Vs Instagram Reels
Padahal, awalnya media sosial dilahirkan sebagai cara bagi seseorang terhubung dalam jaringan (daring) dengan keluarga, teman, atau orang lain secara instan, sehingga bisa menikmati hal-hal positif di dalamnya. Namun, harapan itu tidak terjadi sepenuhnya. Bukanlah karena kesalahan penyedia platform semata, tetapi juga pemakai media sosial. Terkait dengan pemilu di negeri ini, penggunaan media sosial dalam kampanye perlu lebih seksama lagi diatur, sehingga semakin mendewasakan demokrasi di negeri ini. Saatnya media sosial kembali pada peran positifnya untuk kemanusiaan dan kesejahteraan bersama, seperti tujuan mulia kegiatan politik yang sesungguhnya.
Dampak penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, merusak citra calon lain, atau kampanye hitam dan negatif tidak hanya merugikan pasangan calon, tetapi juga menyesatkan masyarakat. Suka atau tidak, kampanye hitam dan negatif yang melecehkan akal sehat sangatlah sensitif dan berpotensi menimbulkan ketegangan di masyarakat. Bahkan, kekerasan fisik. Tidak mengherankan, berbagai kalangan sudah mengingatkan bahaya kampanye hitam dan negatif, sehingga harus segera dihentikan. Pemilu bagaimanapun merupakan pertarungan bermartabat, bukanlah perang, karena tidak ada yang dipersepsikan sebagai musuh yang harus dikalahkan untuk dihancurkan. Siapa pun yang menang dalam pemilu memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan, mendorong Indonesia lebih maju, dan terbang lebih tinggi.
Bahkan, Pemilu 2019 memberikan pembelajaran berharga bagi khalayak, dan membuat dunia terhenyak, karena baru pertama kali terjadi dalam sebuah perebutan kekuasaan secara demokratis, saat calon presiden yang dalam dua kali pemilu saling berhadapan, pada akhirnya bersatu untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Kejadian ini membenarkan peringatan dari Kanselir pertama Jerman, Otto von Bismarck (1815-1898), yaitu “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni yang memungkinkan dan berikutnya, adalah seni memberikan yang terbaik.
Ujung dari Pemilu 2019, bagi sebagian orang, adalah sebuah kesia-siaan. Kisah sangatlah sedih, lebih memprihatinkan daripada rangkaian cerita yang terjadi sebelumnya. Luka, yang kini masih terasa, yang tak semestinya terjadi, jika tahu akhirnya ceritanya begini. Namun, bagi yang lain, Pemilu 2019 berakhir dengan kegembiraan, kemenangan bersama, kemenangan rakyat, dan terbukti nyata, bahwa “Persatuan Indonesia” di atas segalanya.
Baca juga : Kabur dari Korona dengan "Ngetrel"
Bagi anak-anak bangsa, seperti kisah Ramayana yang dinarasikan kembali dalam buku “Anak Bajang Menggiring Angin”, cerita rebut kuasa antarorang dewasa, haruslah melahirkan kegembiraan, tak boleh mengoyak kedamaian dan masa depan mereka. Pemilu yang terlahir pada masa mendatang seharusnya mempertimbangkan dan mengutamakan masa depan Indonesia, masa depan anak-anak negeri, dan bukan kepentingan sesaat dan jangan pendek dari politisi. Masa depan milik anak-anak bangsa, apapun latar belakangnya, tak boleh politisi menguasainya. Masa depan bangsa ini tak boleh digantungkan pada mimpi politisi.
Belajar dari pengorbanan
Bagi sebagian orang, selain berakhir antiklimaks, Pemilu 2019 juga meninggalkan kisah perih, duka berkepanjangan karena besarnya pengorbanan yang harus diberikan untuk dapat menggelar pesta demokrasi serentak. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman pada Januari 2020, petugas penyelenggara pemilu yang meninggal pada Pemilu 2019 sebanyak 894 orang dan 5.175 petugas mengalami sakit. Beban kerja yang berat, waktu yang teramat mendesak untuk penghitungan suara – beruntung diperpanjang oleh Mahkamah Konstitusi – dan tingkat tekanan (stres) yang tinggi, selain karena sebagian petugas itu memang memiliki riwayat sakit tertentu sebelumnya, membuat korban berguguran. Jumlah itu belumlah termasuk petugas lain, yang terkait langsung dan tidak langsung, dalam penyelenggara pemilu.
Pelajaran mahal dari Pemilu 2019 semestinya menjadi masukan berharga bagi DPR dan Presiden dalam menyusun aturan penyelenggaraan pemilu, tidak semata-mata untuk tujuan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bukan hanya berkutat urusan teknis pengaturan pemilu, yang pada ujungnya untuk mengatur kemenangan partainya atau calonnya, seperti ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas suara parlemen (parliamentary threshold), atau sistem pencalonan terbuka atau tertutup, dan masalah teknis lain. Hal itu memang penting.
Namun, lebih penting lagi melihat perubahan dalam masyarakat, yang selama masa pandemi Covid-19 dan pasti ke depan, menjadi lebih terbiasa dengan internet dan teknologi digital, serta jangan melupakan atau membungkus masa depan negeri ini. Masa jabatan wakil rakyat dan presiden/wapres itu terbatas, tetapi Indonesia semoga tetap lestari. Tidak perlulah memaksakan diri meraih pujian dari khalayak internasional, dengan menggelar pemilu secara serentak, tetapi dengan mempertaruhkan jiwa warga negara. Negara ada bagi melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Pengalaman pengorbanan dalam Pemilu 2019 cukuplah, tak perlu dipaksakan lagi pemilu legislatif dan pemilu presiden bersamaan.
Baca juga : Agar Calon Investor Tidak Terperosok
Pemilu serentak pada satu sisi juga memunculkan kegamangan masyarakat untuk bisa memilih secara benar, mengikuti hati nurani dan pengetahuannya, sebab terfokus pada pemilu presiden saja. Informasi mengenai calon wakil rakyat tak cukup merata, dan nyaris tidak dapat diakses oleh calon pemilih. Partai politik, khususnya pimpinannya, terlalu dominan, terutama dalam menentukan calon yang harus melenggang ke Senayan atau di DPRD. Rakyat, bahkan calon yang terpilih atau tergusur, hanya bisa menerima. Suara rakyat yang memilihnya sia-sia.
Jika pemilu harus digelar serentak, perlu dipikirkan apakah akan menjadi model daerah atau nasional. Tak perlu dipaksakan semuanya pada hari yang sama, bahkan dipaksakan juga bersamaan dengan pemilihan kepala daerah. Beban memilih yang kebanyakan pada gilirannya bisa memunculkan apatisme dalam masyarakat. Data yang dikutip Bappenas pun menunjukkan partisipasi masyarakat untuk memilih presiden/wapres lebih tinggi dibandingkan saat memilih wakil rakyat. Bahkan, sangat mungkin, jika dipetakan lebih tajam lagi, persentase memilih bagi anggota DPRD di kabupaten/kota atau anggota DPD bisa jadi lebih rendah lagi. Padahal, warga di daerah seharusnya lebih mengenal dan dekat dengan wakilnya di daerah.
Dengan rakyat yang sudah terbiasa berkomunikasi, bekerja, dan belajar dengan internet pada masa pandemi tahun ini, menjadi pertanyaan, apakah kertas suara masih dibutuhkan? Bisa saja warga memilih secara digital, dan berbagai “administrasi” terkait dengan pemilu juga diselenggarakan secara digital. Selain praktis, cepat, dan (semestinya) akurasinya lebih tepat, pemilu secara daring juga ramah lingkungan. Petugas penyelenggara pemilu bisa bekerja cepat dan tak perlu kelelahan. Pengawasan dan keterlibatan rakyat yang lebih masif menjadi kunci keberhasilan dalam pemilu secara digital ini.
Seharusnya pemilu secara daring juga lebih murah. Data dari Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan pada Maret 2019 menunjukkan, anggaran yang disiapkan untuk Pemilu 2019, sejak masa persiapan tahun 2017 dan 2018, hingga pelaksanaannya, di luar anggaran pendukung dan pengawasan, berjumlah Rp 25,59 triliun. Jumlah yang tidak sedikit, karena meningkat lebih dari 61 persen dibandingkan anggaran Pemilu 2014. Gelaran pemilu yang murah, tetapi tetap demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan, semestinya menjadi keinginan siapapun, khususnya penyelenggara negara untuk masa mendatang. Apalagi, tak banyak lagi dana yang dimiliki negeri ini, setelah dihajar pandemi Covid-19. Pesta itu tidak berarti harus menghamburkan uang, berfoya-foya. Tujuan penggabungan penyelenggaraan pemilu serentak agar terjadi efisiensi anggaran, dengan data adanya pelonjakan anggaran Pemilu 2019, tetap pantas dipertanyakan.
Dalam pengetahuan bahasa Jawa, kerata basa atau jarwa dasa, yang mempelajari asal usul kata, kata pesta dipahami dari gabungan kata tipes ning rata (tipis tetapi merata). Pemilu adalah pesta demokrasi. Boleh tipis anggarannya, yang penting merata pada semua rakyatnya.