Pancasila
Di bawah Presiden Soekarno, Pemerintah RI berkali-kali terancam gawat. Selain serangan asing, juga pemberontakan bersenjata dalam negeri tidak sekali.
Di bawah Presiden Soekarno, Pemerintah RI berkali-kali terancam gawat. Selain serangan asing, juga pemberontakan bersenjata dalam negeri tidak sekali. Nyawa Presiden Soekarno berkali-kali menjadi sasaran usaha pembunuhan.
Akan tetapi, Soekarno tidak mengobral stigma ”anti-Pancasila” terhadap penyerang dalam negeri. Padahal, ia tokoh terpenting lahirnya Pancasila. Ancaman itu dinyatakan Soekarno dalam bingkai ideologi lintas bangsa. Tahun 1962, Pemerintah RI melarang organisasi yang ”bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia” (Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962).
Utamanya, Pancasila tak dimaksudkan bermusuhan dengan siapa pun. Tahun 1966, Soekarno digusur. Lalu semua ideologi kiri ditindas, termasuk sosialisme. Pancasila dikemas ulang dan diunggulkan sebagai ideologi tunggal. Dana, waktu, dan tenaga besar-besaran dikorbankan demi kampanye Pancasila versi Orde Baru. Semua itu berlanjut hingga hari ini.
Apa, sih, ideologi itu? Ia bukan benda yang bisa dipeluk atau dibanting. Ideologi itu konsep di benak tentang realitas sosial. Dalam bahasa awam dan rumusan super-singkat, kira-kira begini: Ideologi adalah kumpulan ide, perasaan, selera, angan, dan harapan berskala besar.
Ideologi membingkai terbentuknya logika dan makna bagi penganutnya. Dari soal remeh-temeh sampai tentang hakikat manusia, hubungan antar-manusia dan jagat raya. Mirip konsep ”kebudayaan” atau ”peradaban”? Ya. Bedanya, semua yang disebut belakangan sangat netral. Ideologi condong pada kepentingan politik tertentu.
Angan terbang bebas sewaktu kita melamun atau jatuh cinta. Harapan tampil ketika kita merancang masa depan. Selera menuntun kecenderungan sehari-hari. Dari memilih model sepatu, warna busana, sampai urusan nikah dan kebijakan negara.
Kaitannya dengan ideologi? Angan, harapan, dan selera tidak bertumbuh secara alamiah di ruang hampa. Ada yang mendorong dan membatasi rentang ide, selera, atau harapan kita. Terarah ke satu atau beberapa kiblat politik tertentu. Hasilnya: angan, harapan, dan selera itu bias, bermuatan ideologis. Mendukung tata-sosial tertentu, menolak tata-sosial lain.
Aneka ideologi bertebaran dalam masyarakat. Beberapa sangat kuat di dunia, misalnya feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan Islamisme. Semuanya mempromosikan selera, angan, dan harapan hidup ideal dalam versi sendiri-sendiri.
Tersurat dan sering tersirat, semua ideologi besar itu menawarkan pandangan meluas dan mendalam tentang hakikat manusia, hubungan antar-manusia dan antar-masyarakat. Maka, daya-pikat mereka mengglobal.
Sebagai konsep, aneka ideologi bisa dipilah hanya dalam teori dan diskusi. Dalam praktik, mereka campur-aduk. Batasnya tak jelas. Tak ada yang murni. Dalam masyarakat ada lebih dari satu ideologi walau cuma satu yang unggul pada suatu masa.
Kini, kapitalisme paling unggul di dunia. Dalam kadar berbeda-beda, kita dididik percaya pada nalar dan selera kapitalisme. Misalnya, kita dididik menghormati hak milik pribadi. Masyarakat dianggap adil dan stabil karena kita saling membutuhkan. Kita bertukar benda dan jasa dalam persaingan bebas di ruang publik (pasar) yang diduga netral.
Peradaban diharapkan maju apabila semua orang bekerja keras. Yang sukses berhak menerima hadiah istimewa. Yang gagal dihukum. Ada warga super-kaya, ada yang super-miskin. Kesenjangan seolah-olah niscaya, adil, dan wajar.
Kapitalisme berjaya tanpa merumuskan ideologinya secara eksplisit, apalagi resmi. Suksesnya tercapai lewat sepak terjang praktis berabad-abad dan berdarah-darah. Melalui kolonialisme dan neo-kolonialisme. Semboyannya modernisasi, pembangunan, dan globalisasi. Dipromosikan lewat pidato, film, novel, TV, khotbah, iklan, aturan, pawai, gosip, dan ceramah.
Di banyak negara kapitalis besar tak ada yang digaji untuk menyusun rumusan resmi ideologi kapitalisme. Istilah ”kapitalis” tak dipakai untuk nama partai politik atau lembaga. Buku, diskusi, atau organisasi anti-kapitalisme tak dilarang. Apalagi, cuma menaikkan bendera dengan ideologi berbeda.
Kapitalisme dikritik dari berbagai arah. Merekalah yang merumuskan sosok kapitalisme. Dua rumpun kritik kapitalisme terbesar dan kuat: sosialisme dan Islamisme. Setiap rumpun punya gerakan (dengan berbagai corak dan nama) yang tidak selalu rukun.
Kedua rumpun ideologi memuliakan kesejahteraan kolektif. Bukan persaingan individu dalam pasar. Rumpun yang satu bertolak dari analisis modern dan sekuler tentang kehidupan nyata (material). Yang lain mengandalkan iman pada kebesaran Ilahi (spiritual). Keduanya memikat masyarakat lintas bangsa. Keduanya pernah berjaya di satu negara, tetapi belum menaklukkan kapitalisme secara global.
Sejarah Indonesia dalam satu abad terakhir dapat dibaca sebagai sejarah persaingan keras berbagai ideologi besar global dengan variasi muatan lokal. Demi persatuan bangsa, Soekarno berusaha mendamaikan berbagai ideologi yang progresif. Bukan imperialisme dan feodalisme.
Perang Dingin tahun 1960-an mendesak Soekarno condong ke Blok Sosialis. Namun, sejak RI bersiap merdeka, ia bertekad melindungi kemajemukan ideologi di Tanah Air. Pancasila tidak dimaksudkan sebagai ideologi tandingan. Namun, dasar negara yang adil merangkul berbagai ideologi progresif di negeri ini.
Apakah Pancasila sebuah ideologi? Bergantung konsep orang yang menjawab. Apakah ia menawarkan wawasan sendiri, meluas dan mendalam tentang hakikat manusia, hubungan antar-manusia dalam lintasan sejarah? Seperti apa jati dirinya? Sosialis tidak, apalagi komunis. Kapitalis bukan. Islamis pun tidak. Entah.
Yang jelas, sejak Soekarno tersingkir, Pancasila tak lagi merangkul berbagai ideologi dunia agar berdamai. Pancasila malah dipertentangkan dengan beberapa ideologi besar dunia.
Hukum melarang semua ideologi kiri dan sebagian yang kanan. Akan tetapi, mana ada hukum di dunia yang mampu mengendalikan ide, angan, mimpi, atau selera dalam masyarakat? Soekarno pernah mencoba dengan sosialisme. Ia gagal.
Pesan Soekarno: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Belajarlah dari Bapak Bangsa, kehebatannya dan kegagalannya.
Ariel Heryanto Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia