Pandemi Covid-19 tidak boleh ditanggapi secara biasa-biasa, bahkan juga nanti setelah vaksin jadi. Kerja keras, mengutamakan kesehatan masyarakat di atas segalanya, menjadi kunci.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kerja sama Bio Farma dan Sinovac dari China memasuki uji klinis tahap III. Meski ibarat lomba garis akhir di depan mata, masih panjang jalan yang harus dilalui.
Kita tentu bersyukur atas kemajuan pengembangan vaksin yang begitu cepat. Kita juga berharap vaksin bisa segera membantu mengatasi pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan seluruh bangunan sosial ekonomi peradaban ini. Meski demikian, patut disadari bahwa prosedur uji coba vaksin membutuhkan waktu dan penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, harapan akan datangnya vaksin tidak boleh membuat kita euforia berlebihan dan melupakan tugas pokok saat ini: uji massal, pelacakan, dan karantina.
Hari-hari ini, laporan penambahan kasus Covid-19 masih memprihatinkan. Hingga Rabu (12/8/2020), jumlah kasus positif mencapai 130.718 orang. Dari jumlah itu, yang sembuh 85.798 orang dan meninggal 5.903 orang. Walaupun penambahan kasus terkonfirmasi sudah turun—hingga kemarin masih bertambah 1.942 kasus—jika dibandingkan pada 7 Agustus 2020 dengan 2.473 kasus terkonfirmasi, penambahan masih tinggi.
Di sisi lain, sudah selayaknya pula kita berterima kasih kepada para dokter dan tenaga kesehatan yang telah bekerja keras sehingga angka kesembuhan (2.088) sudah lebih tinggi daripada angka kasus baru. Apakah berarti tidak perlu lagi prinsip kehati-hatian, seperti yang kita saksikan di banyak tempat? Jawabnya, tidak.
Protokol kesehatan mutlak harus dijalankan. Faktanya, di lapangan, rumah sakit kembali penuh, bahkan juga di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Angka kesembuhan memang sudah mencapai rata-rata dunia, 64,7 persen, tetapi angka kematian di Indonesia (4,68 persen) masih di atas rata-rata dunia (3,78 persen). Artinya, beban kesehatan masih sangat tinggi, baik dari sisi sumber daya manusia maupun pembiayaan.
Oleh karena itu, sambil menunggu vaksin, pelbagai upaya penanggulangan Covid-19 tidak boleh kendur sama sekali. Sejarah menunjukkan, tidak ada pandemi yang langsung berakhir begitu ada vaksin. Dari sejak Edward Jenner menguji coba teknik vaksinasi cacar pada 1796, misalnya, dunia baru dinyatakan bebas cacar 84 tahun kemudian, pada 1980.
Sambil menunggu vaksin, pelbagai upaya penanggulangan Covid-19 tidak boleh kendur sama sekali.
Hal lain yang bisa menghambat penanggulangan Covid-19 di Indonesia, bahkan setelah vaksin diperkenalkan kepada masyarakat tahun depan, adalah cakupan imunisasi. Menurut Kementerian Kesehatan, pada 2018 baru 87,8 persen anak yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap, 12 persen anak belum mendapatkan imunisasi lengkap, dan sekitar 1 persen tidak mendapatkan imunisasi sama sekali. Selain masalah akses pada layanan kesehatan dan informasi, merebaknya konservatisme turut menjadi faktornya.
Dengan demikian, pandemi Covid-19 tidak boleh ditanggapi secara business as usual, bahkan juga nanti setelah vaksin jadi. Kerja keras, mengutamakan kesehatan masyarakat di atas segalanya, menjadi kunci. Implementasinya selain uji massal, pelacakan, dan karantina, adalah meningkatkan cakupan imunisasi seiring kejelasan aturan dan penerapannya secara tegas. Masih panjang jalan untuk mengatasi Covid-19.