Indonesia memiliki masalah kultural yang rumit, yaitu paradoks kebangsaan. Kita bangsa plural, tetapi pada tataran mikro atau akar rumput, sentimen anti-keberagaman dibiarkan tumbuh. Kita butuh ”reinventing nationalism”.
Oleh
Muhadjir M Darwin
·4 menit baca
Inovasi kebangsaan adalah upaya kolektif menemukan atau memperbarui jati diri kebangsaan suatu bangsa. Dalam hal ini, ada dua jenis kebangsaan yang berkembang di dunia (Snyder, 2000).
Pertama, konsep kebangsaan modern berbasis kesatuan wilayah negara, yang disebut civic nationalism (kebangsaan madani). Kedua, konsep kebangsaan primordial yang dibangun berdasarkan atas identitas primordial, seperti pertanyaan-pertanyaan, yang disebut etnik nasionalisme, atau tentang agama, yang disebut nasionalisme religius (Fredland, 2001; Barker, 2008; Juergensmeyer, 2008).
Semua bangsa di dunia sebelum tumbuhnya demokrasi modern (antara abad ke-6 sampai abad ke-15 di Eropa) adalah bangsa etnis atau bangsa agama.
Kebangsaan madani adalah kebangsaan modern yang berbasis demokrasi, yang memperlakukan warga bangsa secara sama, nirdiskriminasi.
Di hampir semua negara di dunia terjadi dualisme kebangsaan. Secara resmi kebangsaan mereka berkarakter madani, tetapi secara terselubung, kebangsaan primordial masih hidup. Negara-negara di Eropa dan Amerika pun belum sepenuhnya terbebas dari dualisme seperti ini. Di sana kulit putih masih merasa superior. Praktik kebodohan terhadap warga kulit yang sedang terjadi.
Di hampir semua negara di dunia terjadi dualisme kebangsaan.
Bagaimana Indonesia?
Di Indonesia, hidup 1.300 suku bangsa dan 718 bahasa lokal. Sebagian suku didominasi oleh agama tertentu, seperti Islam pada suku Melayu, Bugis, atau Jawa; Kristen pada suku Batak, Dayak, Maluku, Papua, atau Minasaha; dan Hindu pada suku Bali. Di zaman Belanda, kesadaran kebangsaan yang menonjol adalah primordial.
Transformasi ke kebangsaan madani baru muncul di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Jakarta ketika mereka mendengungkan Sumpah Pemuda: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.
Di situ inovasi kebangsaan Indonesia telah mengambil bentuk yang tegas. Bentuk itu kemudian mengkristal ketika pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dan Pancasila menjadi dasar negara. Apakah dengan begitu proyek inovasi kebangsaan Indonesia sudah paripurna? Ternyata belum.
Kita masih jauh dari paripurna. Di zaman Orde Lama, ada pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, pemberontakan komunis di Madiun pada 1948 dan di Jakarta pada 1965. Ini masih ditambah dengan debat ideologi dan dasar negara yang sangat keras di konstituante antara PNI dan PKI yang menginginkan dipertahankannya Pancasila sebagai dasar negara dan Masyumi yang menginginkan syariat Islam sebagai konstitusi negara.
Di zaman Orde Baru, pemerintah harus melakukannya dengan gerakan separatisme di Aceh dan Papua. Radikalisme Islam, seperti sisa kekuatan DI/TII dan organisasi radikal Islam, seperti Komando Jihad, juga menggejala. Terhadap gerakan radikal, pemerintah Soeharto dalam beberapa hal mampu menjinakkan melalui operasi intelijen dan yang gagal dijinakkan ditumpas secara fisik oleh militer, seperti kasus Tanjung Priok tahun 1984.
Di awal orde Reformasi, meledak konflik horizontal berbasis suku di Kalimantan serta berbasis agama di Poso dan Maluku, juga teror berdarah di sejumlah daerah. Radikalisme Islam juga sangat mewarnai konflik politik, terutama di era Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, yang sisa-sisanya masih terasa hingga sekarang. Masyarakat seperti terbelah menjadi dua, dengan garis pemisah yang tebal.
Di rezim Soekarno dan Soeharto, radikalisme agama dihadapi dengan kekerasan. Ini dimungkinkan karena sistem politik ketika itu otoriter. Di era sekarang, ancaman perpecahan bangsa juga menggejala.
Di era sekarang, ancaman perpecahan bangsa juga menggejala.
Radikalisme Islam menyeruak ke permukaan dengan memanfaatkan celah politik, yaitu demokrasi. Apakah solusi yang sama harus ditempuh pemerintah sekarang? Jika ya, Indonesia harus meninggalkan demokrasi. Namun, jika tidak, apa yang harus dilakukan negara?
Inovasi kebangsaan
Jawabannya adalah inovasi kebangsaan. Dibutuhkan adanya reinventing nationalism. Bagaimana melakukannya? Indonesia memiliki masalah kultural yang rumit, yaitu paradoks kebangsaan (Cribb, 2005). Kita bangsa plural, tetapi pada tataran mikro atau akar rumput (grass-root), sentimen anti-keberagaman dibiarkan tumbuh.
Kita dikenal luas sebagai bangsa yang ramah dan lembut, tetapi kita juga punya tradisi komunal yang keras. Kita sering mengagungkan toleransi dan perdamaian, tetapi radikalisme beragama juga tumbuh dengan subur. Indonesia punya hukum nasional yang mengikat, tetapi hukum adat, agama, dan komunal tetap hidup dan menghasilkan konflik dalam penegakan hukum.
Agar kuat sebagai bangsa, paradoks tersebut harus dihapus. Ini pekerjaan rumah setiap anak bangsa. Kita perkokoh karakter multikultural kita dan hal demikian harus dijaga di tingkat individu atau komunal. Kita perkokoh karakter lemah lembut dengan membersihkan diri dari praktik kekerasan. Kita perkokoh karakter moderat dan toleran dalam beragama dengan menjauhkan diri dari radikalisme dan kekerasan berbasis agama. Kita perkokoh sistem penegakan hukum nasional dan meninggalkan hukum-hukum lain di luarnya sehingga tidak terjadi lagi dualisme hukum di Indonesia.
Muhadjir M Darwin, Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM