Hadirnya kepala daerah yang memiliki integritas, kapabilitas, totalitas memikirkan rakyat, bukan dirinya sendiri, menjadi vital. Parpol justru perlu menunjukkan perannya untuk melahirkan pemimpin terbaik di negeri ini.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Koruptor (corruptor) dalam bahasa Latin berarti pelaku perusak, pembusuk, penyuap, penipu, penggoda, atau pelanggar. Artinya, sungguh-sungguh buruk.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, B Herry Priyono, dalam buku Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi, menguraikan arti koruptor itu. Kini, ketika banyak partai politik berencana mencalonkan bakal calon kepala daerah yang berstatus bekas terpidana korupsi untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020, etimologi kata korupsi pun penting untuk diingat kembali.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) setidaknya mencatat ada empat eks koruptor yang mendapat tiket dari empat parpol untuk mendaftarkan diri pada 4-6 September 2020. Keempat bakal calon itu berencana mendaftar di Pilkada Bengkulu; Pilkada Sulawesi Utara; Pilkada Kota Manado, Sulut; dan Pilkada Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kompas, 22/8/2020).
Salah satu pertimbangan partai adalah elektabilitas yang bersangkutan tinggi. Alasan lain, para eks koruptor ini sudah menjalani hukumannya dan terlalu berlebihan apabila menghakimi mereka yang pernah melakukan kesalahan itu seakan tidak bisa berbuat benar.
Secara hukum, memang tidak ada peraturan yang melarang eks koruptor maju dalam pilkada. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2019 hanya mensyaratkan bekas terpidana, termasuk terpidana korupsi, harus terlebih dahulu melewati masa jeda lima tahun untuk maju di pilkada. Bekas narapidana juga harus terbuka mengumumkan latar belakangnya sebagai bekas terpidana dan bukanlah pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Eks koruptor memang tidak boleh didiskriminasikan. Menjadi pertanyaan adalah apakah benar parpol tidak memiliki kader lain yang lebih baik daripada eks koruptor? Sudahkah para kader potensial lain diberi kesempatan sama? Ataukah ini menunjukkan lemahnya visi partai untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di negeri ini?
Menjadi pertanyaan adalah apakah benar parpol tidak memiliki kader lain yang lebih baik daripada eks koruptor?
Fakta menunjukkan, korupsi semakin menguat di daerah. Sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005, sudah 300 kepala daerah di Indonesia yang menjadi tersangka korupsi, 124 orang di antaranya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa di antaranya bahkan korupsi kembali. Apabila parpol memiliki visi kuat untuk memberantas korupsi, justru mencari bakal calon yang memiliki rekam jejak baik dan antikorupsi, bukan malah memilih eks koruptor.
Tantangan daerah di masa mendatang pun semakin besar akibat makin ketatnya persaingan global, perubahan iklim, dan pandemi. Hadirnya kepala daerah yang memiliki integritas, kapabilitas, totalitas memikirkan rakyat, bukan dirinya sendiri, menjadi sangat vital. Parpol justru perlu menunjukkan perannya untuk melahirkan pemimpin terbaik di negeri ini.
Plato, filsuf Yunani yang hidup 427-347 SM, sudah berbicara tentang abdi bangsa yang harus memberikan jasa tanpa embel-embel hadiah. Sebuah kemunduran luar biasa apabila saat ini parpol justru menjagokan eks koruptor.