Problem Substitusi Impor
Untuk bisa memperkuat industri dalam negeri, diperlukan kebijakan pengurangan biaya tinggi dan distorsi yang menghalangi sumber daya bergerak ke industri dan perusahaan yang paling efisien dan produktif.
Seperti dilansir media, Kementerian Perindustrian sedang mempersiapkan peta kebijakan subsitusi impor.
Dalam siaran pers 29 Juli 2020, kementerian ini berencana mengurangi impor dan menggantinya dengan produk dalam negeri sampai 35 persen di sejumlah sektor industri pada 2022. Caranya, antara lain, dengan menaikkan tarif impor dan hambatan non-tarif untuk sejumlah komoditas strategis. Berdasarkan temuan sejumlah studi ekonomi, rencana substitusi impor ini bukan gagasan dan kebijakan yang tepat guna memperkuat industri dan perekonomian Indonesia.
Strategi substitusi impor itu sendiri bukan hal baru bagi kita. Dari catatan sejarah perekonomian (misalnya Patunru, Pangestu, dan Basri, 2018), Indonesia sudah mencoba strategi ini pada awal 1970-an sampai pertengahan 1980-an, bersamaan dengan melimpahnya penerimaan ekspor minyak. Krisis 1980-an akibat anjloknya harga minyak— sementara daya saing industri tetap belum memadai —memaksa pemerintah berbalik arah, mengambil langkah deregulasi dan kebijakan promosi ekspor.
Pada pertengahan 1990-an, saat perekonomian sudah membaik, substitusi impor bercampur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), berkedok nasionalisme ekonomi, kembali merebak. Praktik inefisiensi ini berperan besar dalam krisis 1997-1998, memaksa pemerintah kembali melakukan deregulasi untuk kebijakan perdagangan dan industri yang lebih terbuka. Namun, lagi-lagi setelah ekonomi pulih, sejak 2000-an, proteksionisme kembali merangkak ke arena kebijakan, terakhir dengan rencana substitusi impor oleh Kemenperin ini.
Strategi substitusi impor itu sendiri bukan hal baru bagi kita.
Apa sebenarnya kebijakan substitusi impor itu? Awalnya, ide kebijakan substitusi impor muncul tahun 1950-an sebagai salah satu proposal strategi industrialisasi di negara-negara berkembang yang baru merdeka. Secara singkat, kebijakan ini berangkat dari anggapan spesialisasi dalam perdagangan bebas menghalangi berkembangnya industri pengolahan di negara berkembang.
Dalam alur logika pendekatan ini, spesialisasi berdasar keunggulan komparatif hanya akan membuat negara berkembang terjebak dan hanya bisa menghasilkan dan mengekspor produk-produk pertanian yang nilai tukarnya terus turun guna mengimpor produk-produk industri dari negara-negara maju. Karenanya, pemerintah harus membangun industri dalam negeri untuk menggantikan impor barang industri itu, biasanya dengan menaikkan tarif impor dan/atau pembatasan kuantitas impor (kuota), sampai industri dalam negeri mampu bersaing di pasar dunia.
Strategi usang
Lantas, apa sebenarnya masalah dari gagasan substitusi impor? Mengapa,—walaupun masih populer di kalangan awam dan politisi—gagasan ini sudah dianggap usang oleh para ekonom? Untuk itu, mari kita bahas beberapa persoalan mendasar pilihan kebijakan ini.
Baca juga : Prioritas Riset untuk Kurangi Ketergantungan Impor
Pertama, substitusi impor pada praktiknya sulit dilakukan bahkan sejak tahap desain. Menurut Aswicahyono dan Rafitrandi (2018) kita hampir tak mungkin bisa menentukan berapa kenaikan tarif impor optimal yang harus dikenakan untuk melindungi industri dalam negeri sampai mampu bersaing di pasar dunia. Pasalnya, mustahil meramalkan harga barang dalam jangka panjang di masa depan, di pasar dunia yang kian kompetitif, di tengah kemajuan teknologi yang dengan cepat menurunkan biaya produksi dan sering kali disruptif.
Walhasil, besaran kenaikan tarif impor yang didesain dengan patokan ramalan harga dunia yang dibuat hari ini tak akan pernah efektif untuk mencapai sasaran tingkat daya saing yang diharapkan pada waktunya nanti. Industri dalam negeri akan terus menerus menjadi infant industry, hidupnya bergantung pada proteksi pemerintah.
Kedua, kebijakan substitusi impor didasari pandangan yang mengecilkan peran impor dalam proses industrialisasi. Bahkan Albert O Hirschman, salah satu ekonom dan intelektual terkemuka yang simpatik dengan peran aktif pemerintah dalam pembangunan, dalam bukunya yang terkenal, The Strategy of Economic Development (1958), mengamati: pendukung pembatasan impor enggan mengakui peran penting impor untuk giatkan industrialisasi (Irwin, 2020).
Industri dalam negeri akan terus menerus menjadi infant industry, hidupnya bergantung pada proteksi pemerintah.
Saya rasa Hirschman benar, secara empiris, terdapat bukti kuat bahwa impor berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan dan industri. Di Indonesia, dari data BPS, Rahardja dan Varela (2015) menunjukkan, pada periode 2005-2009, 10 persen kenaikan pangsa komponen impor dalam bahan baku di suatu industri berkorelasi positif dengan 2,3 persen pertumbuhan nilai tambah industri tersebut. Selain itu, 10 persen tambahan penggunaan bahan baku impor di perusahaan juga berhubungan dengan 3,7 persen tambahan upah pekerja di perusahaan tersebut.
Sebelumnya, Amiti dan Konings (2007), dengan data Survei Industri Manufaktur Indonesia 1990-2001, memperkirakan 10 persen penurunan tarif impor bahan baku menghasilkan 12 persen peningkatan produktivitas perusahaan yang mengimpor bahan baku itu. Efek impor terhadap produktivitas ini datang dari meningkatnya akses perusahaan terhadap berbagai jenis barang input, kualitas input yang lebih baik, dan proses pembelajaran (learning process)—sesuai prediksi teoretis dari Grossman dan Helpman (1991).
Kesimpulan senada datang dari estimasi yang dilakukan Narjoko, Anas, dan Herdiyanto (2018). Dari data agregat lima-digit klasifikasi industri manufaktur 1991-2013, studi ini juga menunjukkan, semakin tinggi tarif impor nominal, semakin rendah pertumbuhan nilai tambah, tenaga kerja, dan produktivitas industri penghasil bahan baku.
Baca juga: Penguatan Industri Manufaktur di Tengah Pandemi
Ketiga, substitusi impor merugikan konsumen dan perusahaan yang menggunakan bahan baku impor. Para pengusung kebijakan substitusi impor, sembari menyebut nasionalisme dan sentimen anti-asing, kerap melupakan atau tak menyampaikan dampak distribusi ini. Sesuai definisi substitusi impor dan proteksi, konsumen dan perusahaan yang menggunakan bahan baku impor harus membayar lebih tinggi dari semestinya, yaitu harga pasar internasional.
Ilustrasi paling jelas terlihat dalam kasus larangan impor beras. Patunru (2019) menunjukkan lebih dari 80 persen penduduk Indonesia, termasuk yang miskin, adalah konsumen neto beras. Akibat larangan impor sejak 2004, mereka harus membeli beras dengan harga yang jauh di atas harga internasional.
Sebagai gambaran, awal 2017 harga beras dalam negeri hampir tiga kali lipat harga internasional. Patokan resmi harga jual tertinggi pun masih sekitar dua kali lipat harga internasional. Logika sejenis berlaku untuk setiap produk yang diproteksi, sebab jika barang dalam negeri memang lebih murah, tentu tak perlu larangan impor.
Akibat larangan impor sejak 2004, mereka harus membeli beras dengan harga yang jauh di atas harga internasional.
Keempat, substitusi impor rawan korupsi dan dekat dengan praktik perburuan rente. Penentuan industri mana, dan dengan demikian perusahaan domestik mana saja, yang akan diproteksi dan seberapa besar proteksi yang akan diberikan adalah proses politik. Sebagaimana galibnya proses politik, lobi dan kedekatan politik dengan pemerintah lebih penting ketimbang daya saing perusahaan dan efisiensi ekonomi.
Baca juga: Belanja Publik Efektif dan Efisien
Hasil studi ekonometri Basri (2001) menunjukkan, selama Orde Baru, terutama 1980-an dan 1990-an, besarnya tingkat proteksi sebuah industri dipengaruhi kepentingan kelompok-kelompok kroni Soeharto. Memperkuat temuan ini, Purbasari dan Mobarak (2006), dari data 1997, menunjukkan lisensi impor cenderung diberikan ke perusahaan kroni Soeharto. Setelah reformasi, kasus suap kuota impor daging sapi 2013 adalah contoh terakhir bagaimana pembatasan impor berkelindan dengan korupsi.
Kelima, dari pengalaman negara-negara lain, substitusi impor bukan jalan menuju industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang tinggi. Ekonomi India keluar dari stagnasi dan melesat sejak 1990 justru setelah meninggalkan strategi ini.
Goldberg, Khandelwal, dan Pavcnik (2008) memperkirakan seperempat dari pesatnya produksi manufaktur India 1990-an datang dari produksi barang-barang baru akibat terbukanya akses impor bahan baku. Walau mungkin tak sepenuhnya tanpa peran pemerintah, negara macan-macan Asia juga melaju menjadi negara maju dengan strategi industri berorientasi ekspor—bukan substitusi impor.
Penguatan industri
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk memperkuat industri dalam negeri?
Pertama, pengurangan biaya tinggi dan distorsi yang menghalangi sumber daya bergerak ke industri dan perusahaan yang paling efisien dan produktif. Kita perlu menekan korupsi, ketidakpastian hukum, dan segala bentuk hambatan usaha. Iklim persaingan usaha yang sehat perlu terus dijaga. Substitusi impor akan terjadi secara alamiah jika industri produktif, ekonomi tumbuh, dan keunggulan komparatif berubah.
Barangkali terdengar membosankan dan tak ada yang baru di sini, tapi kebijakan mendasar ini pun tak akan pernah bisa dilakukan tanpa komitmen politik pemerintah yang kuat, terutama dalam menghukum pelanggar yang biasanya dekat dengan kekuasaan.
Kita perlu menekan korupsi, ketidakpastian hukum, dan segala bentuk hambatan usaha.
Kedua, kalau toh hendak menerapkan kebijakan industri sektoral, pemerintah perlu mengarahkannya sebagai usaha peningkatan kompetisi di sektor itu, misalnya kebijakan yang dirancang untuk mendorong perusahaan-perusahaan baru yang produktif (Aghion, dkk., 2015) atau di sektor yang menggunakan banyak tenaga terampil (skill-intensive), seperti temuan studi antarnegara oleh Nunn dan Trefler (2010).
Dengan kata lain, di sektor-sektor yang menghasilkan efek spillover besar terhadap produktivitas sektor-sektor melalui peningkatan kompetisi dan keterampilan tenaga kerja. Pilihan-pilihan kebijakan ini, tentu saja, tak akan terdengar populer atau segera tampak hasilnya pada 2022. Namun kita tentu berharap, pemerintah dan birokrasi bisa sedikit lebih teknokratis dan berpikir jangka panjang.
Akhmad Rizal Shidiq, Dosen Ekonomi Leiden Institute for Area Studies, Universitas Leiden.