Saya percaya bahwa Pancasila sampai sekarang memang ”pas” untuk kita. Kelima silanya berkelindan satu sama lain dan merupakan kesatuan utuh.
Oleh
L. Wilardjo
·3 menit baca
Dalam rubrik Surat Kepada Redaksi, Kompas (13/8/2020), Prof Dr Ichlasul Amal—mantan Rektor UGM—mendukung Prof Dr Ariel Heryanto yang menulis di kolom Analisis Budaya. Ariel menyatakan, Pancasila tak usah dipersoalkan lagi. Menurut Ichlasul, Pancasila itu ”harga mati” karena sudah tercantum dalam (Pembukaan) UUD-1945.
Saya jadi teringat kisah ujian lisan Kurt Goedel, logikawan hebat kelahiran Brno, Republik Ceko. Kurt Goedel lahir pada 28 April 1906, menjadi doktor matematika di Austria tahun 1930. Ia menempuh tes lisan tentang konstitusi Amerika Serikat untuk menjadi warga negara AS. Goedel saat itu sudah profesor di Universitas Princeton.
Dalam ujian di Trenton, New Jersey (1948), Goedel ditemani sesama guru besar di Institute of Advanced Study, Universitas Princeton, yakni Albert Einstein dan Oskar Morgenstern.
Kurt Goedel mempersiapkan diri dengan baik. Dia mempelajari sejarah, tata negara, dan tentu saja konstitusi Amerika. Bahkan hal yang remeh-temeh, seperti perbedaan daerah ”borough” dengan ”county”, juga dewan (council) dan cara pemilihannya.
Dalam salah satu tahap ujian, Goedel yang tersinggung oleh pertanyaan penguji, berkata, ”Saya dapat menunjukkan, ada pernyataan dalam konstitusi yang secara logis memungkinkan seseorang mengubah Amerika menjadi negara diktator.”
Mendengar kata-kata Goedel itu, Einstein dan Morgenstern sangat khawatir kalau pejabat imigrasi itu marah, lalu tidak meluluskan Goedel. Pastilah Goedel mampu membuktikan karena dia logikawan hebat.
Goedel adalah penemu Teorema Goedel tentang ketaklengkapan (incompleteness) semua sistem formal dalam Matematika. Namun, penguji berkuasa bagai dewa!
Untunglah pejabat imigrasi itu penyabar. Goedel dinyatakan lulus dan menjadi warga negara Amerika. Logikawan sekaliber Goedel adalah aset berharga bagi Amerika. Negara ini memang pragmatis.
Kalau menyangkut UUD —apalagi ideologi negara yang sebagai rechtsidee (cita hukum) yang memayungi UUD itu—kita memang harus ekstra hati-hati. Salah-salah bisa dituduh subversif para ultranasionalistik-cum-chauvinistik.
Betulkah harga mati?
Kalau menyangkut UUD —apalagi ideologi negara yang sebagai rechtsidee (cita hukum) yang memayungi UUD itu—kita memang harus ekstra hati-hati.
Apakah ideologi negara memang ”harga mati” dan tabu diutak-atik? Dalam telaah akademis pun? Kenyataannya, UUD kita sudah pernah diamandemen. Konstitusi AS juga beberapa kali diamandemen.
Cita hukum itu memandu pembuatan undang-undang oleh Baleg DPR bersama pemerintah. Cita hukum itu seperti bintang pemandu (Leitstern,guiding star), dan Pancasila menurut Prof Dr Arief Sidharta (Unpar) adalah cita hukum bangsa Indonesia.
Akan tetapi, di ranah UU atau hukum, apakah kita harus selalu legalistik-positivistik, menerima tanpa pernah mempertanyakan apa-apa saja yang sudah dikodifikasikan dan dinyatakan sah serta sudah dicantumkan dalam Lembaran Negara? Apakah hukum positif itu benar mutlak? Atau, jangan-jangan, ada kearifan pada bangsa-bangsa Common Law Anglo-Saxon?
Saya kira murid-murid almarhum Prof Satjipto Rahardjo (Undip) dan almarhum Prof Sutandyo Wignyosubroto (Unair) tidak sepenuhnya legalistik dan menerima bulat-bulat hukum positif dalam Civil Law.
Hukum itu harus seirama dengan denyut-nadi rakyat, dengan kebudayaan yang hidup di dalamnya. Zaman berubah, seiring perkembangan budaya dan kemajuan iptek.
Sekecil apa pun, perlu ada celah agar gagasan baru yang menyegarkan bisa masuk kendati perubahan itu harus secara demokratis dan konstitusional. Bukankah Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan NKRI ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?
Pancasila pas untuk kita
Saya percaya bahwa Pancasila sampai sekarang memang ”pas” untuk kita. Kelima silanya berkelindan satu sama lain dan merupakan kesatuan utuh.
Tidak ada sila yang memiliki supremasi atas sila-sila lainnya. Perikemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya, penting sekali. Sebab, kalau mencintai sesama kita saja, manusia, kita tidak bisa, bagaimana mengasihi Tuhan Yang Mahaesa?
Pokoknya, setiap sila dipredikati oleh keempat sila lainnya. Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia berarti juga menjunjung tinggi persatuan, bersikap dan bertindak demokratis, serta memperjuangkan tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita bukan dewa seperti Batara Wisnu, yang ”weruh sak durunge winarah” (sudah tahu apa yang akan terjadi sebelum diberi tahu). Kita harus membuka diri terhadap kemungkinan perubahan. Sebab bukan kita, tetapi Tuhanlah yang akan mengaturnya untuk kita.