Pemerintah harus mengatasi keterlambatan 3T (testing, tracing, treatment), berkomunikasi dengan baik terutama menangkal hoaks, dan memberi sanksi pelanggar aturan guna mengakhiri peningkatan kasus positif Covid-19.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Enam bulan dari sejak kasus pertama diumumkan, peningkatan angka positif Covid-19 justru kian memprihatinkan. Kita ternyata belum mampu mengatasi penularan.
Bayangan untuk segera keluar dari pandemi kian jauh dari jangkauan. Sungguh, hari-hari ini adalah awan gelap dalam penanggulangan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Satuan Tugas Covid-19 mengumumkan, angka kenaikan kasus baru mencapai 2.858 kasus, Minggu (30/8/2020). Meski sudah turun dari rekor tertinggi dengan penambahan 3.308 kasus, Sabtu (29/8), kondisi ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Rasio kasus positif yang tinggi, 25 persen, menandakan kurangnya jumlah dan cakupan tes. Menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, tes ibarat jaring dan Covid-19 adalah ikannya. Kalau dengan jaring kecil saja banyak ikan tertangkap, berarti di kolam ada banyak ikan. Berarti kasus Covid-19 sangat tinggi (Kompas, 31/8/2020).
Dalam Epidemiological Triangle Model klasik, penyebaran penyakit infeksi dipengaruhi oleh tiga hal: mikroba sebagai agen penginfeksi, manusia sebagai inang, dan lingkungan. Tingkat keganasan mikroba akan berkait erat dengan usia, stamina, juga sanitasi dan fasilitas kesehatan.
Namun, Epidemiological Triangle Model ini belum cukup untuk mengukur masifnya penularan Covid-19 di Indonesia. Ada satu faktor paling penting yang perlu ditambahkan, yaitu kondisi sosial-antropologi masyarakat.
Berbasis studi etnografi Clifford Geertz, I Nyoman Sama dalam skripsinya ”Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Pergulatan Politik di Era Orde Baru” (Program Studi Antropologi, Universitas Udayana, 2017) menjelaskan, polarisasi dalam kultur dan struktur Jawa (abangan, santri, dan priayi) merupakan ancaman laten yang setiap saat memicu konflik.
Ada satu faktor paling penting yang perlu ditambahkan, yaitu kondisi sosial-antropologi masyarakat.
Rakyat yang apatis dan anomi (tanpa arah) ambyar begitu ada aktor yang memainkan isu. Dalam hal ini, elite dan pemerintah menjadi aktor kunci menggerakkan masyarakat. Saat kondisi pandemi hari-hari ini, peran pemerintah tak terasa. Ketika ada yang meniupkan isu konspirasi, agama, dan pelanggaran protokol kesehatan, pemerintah diam saja. Penanggulangan Covid-19 yang seharusnya berbasis kesehatan masyarakat malah berubah menjadi ajang perseteruan politik elite. Pekerjaan rumah untuk mengomunikasikan informasi secara benar, mudah, dan dapat dipahami masyarakat menjadi terabaikan. Seolah dengan dibentuknya Satgas Covid-19, bereslah tugas pemerintah. Otoritas kesehatan tak terdengar suaranya dan bahkan terjebak jalan pintas kalung eucalyptus. Tugas utama yang seharusnya dilakukan sejak awal: 3T (testing, tracing, treatment) tidak tercapai. Jadilah peningkatan yang kian memprihatinkan, hari-hari ini.
Bagaimana keluar dari situasi ini? Menyesali masa lalu jelas tidak cukup. Pemerintah harus bergerak mengatasi keterlambatan 3T, berkomunikasi dengan baik terutama menangkal hoaks, dan memberi sanksi para pelanggar aturan. Tanpa itu semua, kejutan demi kejutan akan terus berkelanjutan.