Pandemi ini sesungguhnya menjadi ujian terhadap kepatuhan bersama terhadap tanggung jawab etis untuk mewujudkan ”bonum commune”.
Oleh
W Riawan Tjandra
·3 menit baca
Minggu lalu, angka positif Covid-19 harian sempat mencapai di atas 3.000 orang dan akumulasi angka positif Covid-19 kini mencapai lebih dari 177.000 orang.
Presiden Joko Widodo menganggap protokol kesehatan kurang dipatuhi lagi pada masa pasca-pembatasan sosial berskala besar di beberapa daerah. Hal itulah yang kiranya menjadi latar belakang Presiden mengeluarkan sebuah peraturan kebijakan (policy rule) dalam hukum administrasi negara berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Inpres itu ditujukan kepada para menteri kabinet, sekretaris kabinet, Panglima TNI, Kapolri, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian, para gubernur, dan bupati/wali kota. Pada intinya, inpres itu dimaksudkan agar para pemimpin pemerintahan mengefektifkan kebijakan penanganan Covid-19, termasuk mengambil kebijakan untuk menegakkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Dalam hukum administrasi negara, sering produk peraturan kebijakan semacam inpres lebih cepat dan efektif digunakan sebagai instrumen pemerintahan dibandingkan peraturan perundang-undangan karena lebih tegas dalam menyampaikan kehendak pembuatnya meskipun tidak berada dalam sistematika hierarki peraturan perundang-undangan.
Memang, situasi saat ini masih memprihatinkan. Kerumunan masih terbentuk di berbagai tempat. Kewajiban menggunakan masker sering diabaikan. Banyak yang melaksanakan protokol kesehatan bukan karena menyadari arti dan tujuan protokol itu, melainkan karena takut terkena razia aparat.
Memang, situasi saat ini masih memprihatinkan.
Sebenarnya perangkat peraturan perundang-undangan sebagai acuan memasuki masa new normal sudah relatif lengkap, mulai dari UU Karantina Kesehatan hingga peraturan yang secara operasional dikeluarkan para kepala daerah. Akan tetapi, mengapa tingkat kepatuhan masyarakat masih relatif rendah? Jumlah warga yang terpapar Covid-19 terus meningkat meskipun angka kesembuhan juga terus meningkat. Korban meninggal juga terus bertambah.
Kepatuhan dan moralitas
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum per teori dipengaruhi faktor psikis yang terdapat dalam diri manusia. Maka, sungguh memprihatinkan jika tingkat kepatuhan sebagian warga yang rendah terhadap protokol kesehatan belum berangkat dari kebutuhan dan kesadaran, tetapi karena keterpaksaan dan ketakutan akan ancaman sanksi.
Cara berpikir legalistik tak hanya menghinggapi banyak pelaksana kebijakan yang acap kali menempatkan kepastian hukum terpisah dari nilai keadilan. Namun, kepatuhan atas protokol kesehatan yang tak berangkat dari kesadaran psikologis pelaku juga mencerminkan cara berpikir legalistik itu.
Ditinjau dari sudut moralitas, dalam metafisika kesusilaan, Kant (1979) memberikan makna atas moralitas sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang dengan norma atau hukum batiniah orang itu, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban seseorang.
Kant juga membedakan moralitas menjadi moralitas heteronom dan moralitas otonomi. Moralitas heteronom terjadi manakala seseorang melaksanakan kewajiban dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya, misalnya karena ancaman sanksi. Sebaliknya, moralitas otonom ditunjukkan dari kemauan untuk melaksanakan kewajiban karena faktor dari dalam dirinya, yaitu kesadaran atas nilai kewajiban yang dilaksanakannya itu.
Rendahnya kepatuhan sebagian masyarakat yang berdampak pada terus meningkatnya kasus Covid-19 dan memaksa Presiden mengeluarkan inpres guna memaksakan kepatuhan terhadap protokol kesehatan sesungguhnya sebuah refleksi.
Menaati sebuah norma atau protokol kesehatan seharusnya berangkat dari kesadaran psikologis untuk melaksanakan kewajiban etis. Kesejahteraan umum (bonum commune) adalah akumulasi dari kesadaran setiap elemen masyarakat untuk melaksanakan kewajiban etis secara bersama-sama. Maka, pandemi ini sesungguhnya menjadi ujian terhadap kepatuhan bersama terhadap tanggung jawab etis untuk mewujudkan bonum commune itu.
Maka, pandemi ini sesungguhnya menjadi ujian terhadap kepatuhan bersama terhadap tanggung jawab etis untuk mewujudkan bonum commune.
W Riawan Tjandra, Pengajar Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta.