Konsil Kedokteran Indonesia di Persimpangan Jalan
Bila kemelut di Konsil Kedokteran Indonesia tidak diselesaikan dengan baik, kita akan setback setidaknya dua dekade ke belakang dalam pengaturan dan pengawalan praktik kedokteran. Presiden perlu segera turun tangan.
Dalam situasi pandemi Covid-19 yang membutuhkan keahlian dan soliditas dokter, Konsil Kedokteran Indonesia atau KKI justru di persimpangan jalan. Pergantian anggota yang seharusnya diusulkan organisasi profesi kini jadi penunjukan oleh Menteri Kesehatan.
Sesuai pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KKI adalah suatu badan otonom, non-struktural, dan independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. Agar KKI dapat melindungi masyarakat penerima jasa layanan kesehatan dan meningkatkan mutu layanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi, KKI langsung bertanggung jawab pada presiden.
Meregistrasi dokter dan dokter gigi merupakan salah satu tugas KKI untuk memastikan bahwa dokter tersebut memang layak dan berpraktik secara kompeten dan profesional. Tugas lainnya adalah mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi, termasuk membina praktiknya. Dokter yang terbukti melanggar disiplin kedokteran akan mendapat sanksi dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga otonom dalam KKI.
Pergantian anggota yang seharusnya diusulkan organisasi profesi kini jadi penunjukan oleh Menteri Kesehatan.
KKI lahir 16 tahun lalu sebagai amanat dari Undang-Undang (UU) Praktik Kedokteran. Inilah titik awal pengaturan serta pengawalan profesi kedokteran di Indonesia setelah berpuluh tahun sebelumnya seakan tidak tersentuh aturan yang jelas. Eksistensi dan independensi KKI membuat KKI pada 2011 diterima oleh International Association Regulatory Medical Authority (IAMRA), suatu asosiasi internasional Konsil Kedokteran (Medical Council) yang berkantor pusat di London, Inggris.
Selama tiga periode, KKI telah menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang dengan baik meskipun di sana-sini ada permasalahan. Meski independen, KKI tetap berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan profesi kedokteran.
Penetapan calon anggota selama ini berjalan lancar karena mengikuti aturan dalam UU. Calon yang diusulkan dari unsur-unsur keanggotaan tetap merupakan orang-orang terpilih, kompeten, berintegritas tinggi, dan pasti bebas dari konflik kepentingan.
Namun, pengusulan calon-calon anggota KKI masa bakti 2020-2025 oleh Menteri Kesehatan kepada Presiden menuai protes organisasi dan asosiasi yang menjadi unsur-unsur dalam lembaga negara ini karena Menteri Kesehatan menunjuk sendiri calon anggota KKI yang diusulkan ke Presiden.
Mengapa masalah
Sebagai lembaga negara independen dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang cukup penting dan strategis, pengusulan keanggotaan KKI—dalam tugas pengaturan praktik kedokteran serta pengesahan standar pendidikan profesi dan standar kompetensi—haruslah bebas dari intervensi dan konflik kepentingan pihak mana pun. Hal ini penting demi tercapainya tujuan pembentukan KKI, yakni memberikan perlindungan terhadap masyarakat penerima layanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Meski demikian, proses pengusulan untuk pengangkatan anggota KKI periode ke-4 tahun 2020-2025 tidak sesuai ketentuan UU Praktik Kedokteran. Bisa dikatakan, proses pengusulan dan penetapan keanggotaan KKI terakhir ”cacat hukum” dan akan berdampak serius. Tidak saja terhadap kredibilitas KKI, tetapi lebih dari itu. Legalitas produk regulasi yang nantinya disusun KKI bisa menjadi masalah dan dipertanyakan keabsahannya. Suatu hal yang pada akhirnya tentu dapat merugikan masyarakat dan kalangan kedokteran.
Bisa dikatakan, proses pengusulan dan penetapan keanggotaan KKI terakhir ”cacat hukum” dan akan berdampak serius.
Ada regulasi yang harus dipatuhi dalam proses pengusulan dan pengangkatan keanggotaan KKI. UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 14 berbunyi, ”Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri”, Ayat (3). Kemudian Ayat (4) berbunyi, ”Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus berdasarkan usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).”
Ayat (1) Pasal 14 UU No 29 Tahun 2004 menyebutkan unsur-unsur keanggotaan yang berjumlah 17 (tujuh belas) orang, antara lain berasal dari organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi, asosiasi pendidikan kedokteran, kolegium, dan tokoh masyarakat.
Pasal 5 berbunyi, ”Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.” Di sinilah letak duduk persoalan yang mendasar ketika menteri mengusulkan sendiri nama calon-calon anggota KKI 2020-2024 tanpa mempertimbangkan usulan dari organisasi dan asosiasi seperti yang diamanatkan UU.
Yang memprihatinkan, tidak ada dialog dan komunikasi saat terjadi penggantian nama-nama yang telah diusulkan. Pada akhirnya, tidak satu pun nama-nama yang diusulkan oleh organisasi dan asosiasi dikirim kepada Presiden.
Selama tiga periode keanggotaan KKI, organisasi dan asosiasi membuat seleksi internal secara ketat untuk memastikan bahwa calon yang diusulkan merupakan orang yang kompeten, kapabel, dan berintegritas tinggi. Hal ini seiring dengan Peraturan Presiden No 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 5 Ayat (1) Perpres No 35 Tahun 2008 berbunyi, ”Calon anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh masing-masing pimpinan dari setiap unsur yang diwakili sebanyak 2 (dua) kali dari jumlah setiap unsur Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia kepada Menteri.” Selanjutnya menteri meneruskan usulan itu kepada presiden.
Alasan pembenaran
Menteri Kesehatan memutuskan untuk menentukan sendiri calon keanggotaan KKI berlandaskan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 81 Tahun 2019 yang memberikan wewenang kepada menteri untuk menunjuk sendiri calon anggota KKI untuk diusulkan kepada Presiden. Menteri Kesehatan beralasan, calon yang diusulkan organisasi dan asosiasi tidak memenuhi syarat, tetapi tanpa menjelaskan lebih lanjut dalam hal apa syarat tidak terpenuhi.
Bukan tidak mungkin penunjukan calon keanggotaan KKI seperti ini akan menjadi preseden dan terulang lagi ke depan.
Di sisi lain, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 81 Tahun 2019 itu patut dipertanyakan keabsahannya karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya, yakni UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Perpres Nomor 35 Tahun 2008. Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 496 Tahun 2008 mengenai Tata Cara Pengusulan Calon Anggota KKI yang berbunyi, ”Calon yang belum memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 dan Pasal 4 dikembalikan pada pengusulnya untuk melengkapi persyaratan.”
Dengan pengalaman pengusulan calon anggota KKI beberapa periode sebelumnya, tentunya organisasi profesi dan asosiasi tidak kesulitan dalam memenuhi persyaratan yang diperlukan bila dinyatakan belum lengkap.
Kemelut KKI saat ini seakan menisbikan semua keberhasilan KKI dalam 16 tahun kiprahnya, baik di tingkat regional ASEAN maupun internasional. Perlu diketahui, core competency dokter beberapa negara Asia Tenggara yang tergabung dalam SEARO-WHO—dengan anggota, antara lain, India, Pakistan, Thailand, Filipina, dan Indonesia—KKI turut berperan menyusunnya.
Beberapa tahun lalu, beberapa negara, seperti Kamboja, Laos , dan Korea Selatan, studi banding ke KKI untuk belajar dan berdiskusi tentang peran dan fungsi Konsil Kedokteran yang berlaku universal dan mulai berjalan baik di Indonesia. Bukan berarti KKI sudah sangat hebat, tapi paling tidak eksistensi KKI telah diperhitungkan di luar.
Beberapa regulasi yang dituangkan dalam beberapa Peraturan Konsil Kedokteran, sesuai amanat UU, juga telah berkontribusi dalam penyempurnaan pelaksanaan praktik kedokteran yang secara langsung melindungi masyarakat. Kehadiran Konsil Kedokteran di banyak negara sejatinya memang bertujuan protecting the people (melindungi masyarakat) dan guiding profession (membimbing profesi).
Proses pengusulan dan pengangkatan keanggotaan KKI tahun 2020-2025 yang tidak sesuai aturan seakan menempatkan KKI di persimpangan jalan: apakah akan terus berjalan demi kemajuan yang makin baik sesuai regulasi atau sebaliknya. Bukan tidak mungkin penunjukan calon keanggotaan KKI seperti ini akan menjadi preseden dan terulang lagi ke depan.
Bila kemelut ini tidak diselesaikan dengan baik, kita akan setback setidaknya dua dekade ke belakang dalam pengaturan dan pengawalan praktik kedokteran. Semoga Presiden Joko Widodo segera turun tangan demi kesehatan masyarakat Indonesia.
(Sukman Tulus Putra Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI; Anggota Konsil Kedokteran Indonesia 2014-2020)