Hukum calon yang tak mematuhi protokol kesehatan dengan tidak mencoblosnya. Mereka terbukti hanya bernafsu mendulang suara, tidak peduli kesehatan warganya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dua dari tiga negara di dunia menunda pemilihan umum tahun 2020. Namun, Indonesia memilih melanjutkannya dan penyebaran Covid-19 pun menjadi taruhannya.
Banyak pihak mengingatkan betapa berbahayanya penyelenggaraan pemilu di era pandemi mengingat kesadaran warga akan bahaya Covid-19 masih rendah. Namun, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan partai politik pun bergeming serta sepakat untuk melanjutkan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan bukti keseriusan melindungi rakyat dari penularan virus SARS-CoV-2 yang kian menggila, semestinya semua pemangku kepentingan berupaya keras menerapkan protokol Covid-19. Praktiknya jauh panggang dari api. Ketidakpatuhan seakan dibiarkan terus terjadi.
Memperhatikan pelaksanaan tahapan pendaftaran bakal calon yang mulai berlangsung pada 4 September 2020 sungguh mengkhawatirkan. Protokol kesehatan Covid-19 sama sekali tak diindahkan. Kerumunan massa terjadi di banyak daerah, tanpa masker dan tanpa menjaga jarak. Kompas menyajikan fotonya di halaman muka dua hari berturut-turut.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pada rapat koordinasi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional, telah mengingatkan semua pasangan bakal calon agar mematuhi protokol kesehatan Covid-19 di setiap tahapan pilkada. Namun, teguran saja tidaklah cukup. Sanksi tegas perlu dijatuhkan kepada siapa pun karena membahayakan keselamatan publik akibat meluasnya pandemi.
Kemendagri meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menegakkan aturan protokol kesehatan yang tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020, mulai dari sanksi hingga diskualifikasi. Sementara Bawaslu merasa tak memiliki kewenangan memberikan sanksi, melainkan hanya sebatas imbauan. Menurut Bawaslu, pihak yang bisa menindak adalah aparat penegak hukum, seperti kepolisian atau satuan polisi pamong praja, dengan mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan atau peraturan menteri kesehatan yang mengatur pembatasan sosial berskala besar atau peraturan daerah/kepala daerah yang mengatur hal sama. Partai sebagai peserta tidak ada suaranya, apalagi menghukum calonnya yang melanggar protokol Covid-19.
Ketidaksiapan ini mengingatkan pada kajian pelaksanaan pemilu pada era Covid-19 yang diadakan di Asia, yaitu Mongolia, Malaysia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Kajian itu menegaskan, pemilu memang mungkin diadakan pada era Covid-19, tetapi sangat sulit dilakukan. Mampukah kita?
Di tengah ketidaksiapan penyelenggara, wasit, atau peserta untuk menertibkan tahapan pilkada, sebagai warga kita harus lebih waspada di tengah penularan Covid-19 yang kian meluas. Kita jangan lengah melindungi diri dan mengedukasi sekitar. Hukum calon yang tak mematuhi protokol kesehatan dengan tidak mencoblosnya. Mereka terbukti hanya bernafsu mendulang suara, tidak peduli kesehatan warganya.