Mentransformasi Guru
Dalam dokumen Rencana Strategis Kemendikbud 2020-2024, saya belum melihat tiga persoalan dasar terelaborasi dengan baik. Publik berharap Nadiem bekerja secara tepat sasaran, bukan sekadar berwacana dan membikin gaduh.
Guru adalah kunci transformasi pendidikan. Ironisnya, setelah 75 tahun Indonesia merdeka, Kemendikbud belum memiliki desain besar pengembangan guru yang sistematis, efektif, dan berkelanjutan. Desain besar pengembangan guru yang visioner sangat diperlukan.
Kebijakan pengembangan guru saat ini tak sistematis karena belum mengintegrasikan secara komprehensif pendidikan dan pengembangan guru dari hulu ke hilir menjadi sebuah sistem yang kokoh. Program pengembangan guru lebih banyak bersifat menjawab kebutuhan jangka pendek melalui program-program piloting yang sifatnya khusus (elitis) dan tak memberdayakan secara simultan sebagian besar guru yang berada dalam jabatan secara merata dan adil.
Baca juga: Ada Apa dengan Guru?
Desain pengembangan guru yang komprehensif semestinya mengintegrasikan tiga domain utuh secara sinergis: pendidikan, seleksi, dan pengembangan keprofesian. Pendidikan terkait keberadaan Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai institusi pembentuk dan penyedia calon guru.
Seleksi merupakan kebijakan untuk menentukan kriteria guru terbaik yang boleh mengajar di kelas. Pengembangan keprofesian adalah pendidikan lanjutan ketika guru sudah jadi pengajar agar bisa mengembangkan diri terus-menerus sesuai jenjang karier yang bisa dipilih.
Seleksi merupakan kebijakan untuk menentukan kriteria guru terbaik yang boleh mengajar di kelas.
Ada tiga akar persoalan pengembangan guru yang menjadi tantangan. Pertama, transformasi LPTK sebagai tempat pendidikan dan pembentukan calon guru. Saat ini terdapat 400 lebih institusi LPTK (12 eks IKIP negeri, 28 eks IKIP negeri, dan sisanya swasta). Selain terlalu banyak, kualitas LPTK juga dipertanyakan. Ada disparitas kualitas LPTK negeri dan swasta, Jawa dan luar Jawa.
Kebijakan sertifikasi guru yang memberikan tunjangan sebesar satu kali gaji membuat minat anak-anak muda menjadi guru sangat tinggi. Akibatnya, mahasiswa calon guru membeludak. Saat ini ada lebih dari 1 juta mahasiswa calon guru. Kondisi seperti ini berdampak kurang baik. Kelebihan mahasiswa calon guru berpotensi menambah angka pengangguran terdidik perguruan tinggi karena permintaan dan penawaran guru tak seimbang.
Kurikulum LPTK juga dianggap kurang relevan dengan dinamika perubahan zaman serta mengejar kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi sebagai bagian dari proses pembelajaran. Ilmu-ilmu pedagogi terbaru berbasis neurosains yang bisa membantu guru memahami proses belajar pun belum banyak diperkenalkan di LPTK. Praktik mengajar sebagai bagian penting proses keguruan porsinya juga kecil.
Baca juga: Persoalan Pendidikan dari Masa ke Masa
Kedua, tantangan menyeleksi guru terbaik. Setiap tahun ada guru PNS yang purnabakti. Dalam lima tahun ke depan, sekitar 185.000 guru SD, SMP (sekitar 60.000), SMA (sekitar 23.000), dan SMK (sekitar 12.000) akan pensiun. Ini semua perlu dipersiapkan melalui sistem seleksi yang obyektif, meritokratis, dan kompetitif karena ini menjadi sebuah kesempatan memilih para guru terbaik.
Kebutuhan untuk memilih guru terbaik dibayang-bayangi keberadaan guru honorer yang telah memiliki sumbangsih besar dalam pendidikan selama bertahun-tahun, yang juga memiliki hak untuk menjadi PNS. Dari 400.000-an guru honorer K2, hanya ada sekitar 52.000 yang lolos seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pada awal Februari 2019. Ini artinya ada persoalan kualitas di kalangan guru honorer.
Baca juga: Saatnya Peduli Kualitas Guru
Namun, guru yang sudah lolos seleksi PPPK ini pun sampai sekarang terkatung-katung nasibnya karena terkendala regulasi yang harus diselesaikan pemerintah. Menyeleksi guru terbaik akan menjadi kunci perubahan penting di masa depan.
Ketiga, saat ini ada 3,3 juta guru, di mana 1,3 juta di antaranya belum tersertifikasi. Guru pendidikan anak usia dini (PAUD) dan SMK yang tersertifikasi hanya sekitar 30 persen. Yang lainnya baru sekitar 45 persen.
Menyeleksi guru terbaik akan menjadi kunci perubahan penting pada masa depan.
Skor pemetaan mutu pendidikan (PMP) 2018 menunjukkan nilai paling rendah di semua jenjang ada pada standar pendidik dan tenaga kependidikan dengan skor di bawah 4 dari 7 skor. Jadi, persoalan besar sesungguhnya ada pada transformasi para guru yang sudah ada dalam jabatan ini. Banyak dari mereka, bahkan sampai pensiun, tak pernah dapat pelatihan.
Transformasi radikal
Jika diibaratkan arus sungai, arus guru yang saat ini ada dalam sungai pengajaran kualitasnya belum memuaskan. Jika mereka ini tidak tersentuh, pendidikan nasional akan mengalami masa suram sampai mereka memasuki masa pensiun. Kondisi ini perlu ditransformasi secara radikal melalui pendekatan yang sistematis, terstruktur, dan efektif.
Pola pendidikan profesi guru (PPG) yang dipercayakan melalui LPTK selama ini terbukti tak begitu ampuh. PPG hanya memberi legitimasi pada sertifikat profesi untuk memperoleh tunjangan, tetapi faktanya kurang dapat mendongkrak kualitas secara signifikan. Besaran anggaran untuk tunjangan sertifikasi semakin hari semakin besar yang semakin memberatkan anggaran negara. Akibatnya, kuota PPG pun diatur tidak dengan kesungguhan hati untuk menyelesaikan sisa guru yang belum bersertifikasi.
Baca juga: Sertifikasi Guru (Memang) Bukan Jaminan Kinerja
Jujur saja. Separuh guru kita dibiarkan terlunta-lunta menunggu kuota PPG agar memperoleh tunjangan sertifikasi karena keterbatasan anggaran. Ada sekitar 1,3 juta guru jadi korban ketidakadilan. Mereka sama-sama mengajar lebih dari 24 jam, penuh dedikasi, dan mungkin ada yang memberikan pengajaran berkualitas, tetapi mereka tak dapat tunjangan sertifikasi bukan karena kesalahan mereka.
Kebijakan sertifikasi guru lebih banyak memecah belah soliditas guru, melahirkan berbagai macam ketimpangan dan kecemburuan sosial, serta menjadikan mereka korban ketidakadilan kebijakan negara.
Baca juga: Transformasi Guru dan Pemimpin Sekolah
Kelemahan PPG coba diatasi Nadiem Makarim dengan memperketat proses seleksi PPG, mendesainnya dengan pendekatan baru, dan meluncurkan POP sebagai perluasan sumber-sumber pelatihan guru di luar LPTK. Namun, kebijakan ini belum menyinergikan bagaimana peranan universitas, organisasi penggerak, sekolah penggerak, dan guru penggerak sebagai motor perubahan.
POP dan guru penggerak tak dirancang sebagai pengembangan guru secara sistematis, terencana, dan obyektif. POP tak sistematis karena bentuknya program sehingga tak terintegrasi dengan LPTK sebagai sebuah sistem. Ia tak terencana karena fokusnya menggali inovasi dan praktik baik yang sudah ada lalu diakomodasi untuk didiseminasi secara terbatas.
POP juga kurang obyektif karena tak jelas dimensi pengembangan guru seperti apa yang akan dicapai. Standar keberhasilan hanya akan diuji pada asesmen akhir dalam diri siswa. Padahal, faktor-faktor penentu keberhasilan peserta didik ada banyak dan tak dapat dialamatkan semata-mata pada guru-guru tertentu yang tersentuh program pengembangan guru melalui POP. Lebih lagi, POP hanya menyasar kondisi para guru yang sudah ada dalam pengajaran. Ini pun jumlahnya sangat terbatas.
Elitisme penggerak
Kebijakan Merdeka Belajar Nadiem Makarim melalui program guru penggerak sebenarnya tak berbeda jauh dengan model pengembangan guru versi lama. Dalam prosesnya, program ini hanya akan menjaring sedikit guru. Yang agak membedakan adalah proses seleksinya, tetapi hasilnya akan tetap sama, yaitu sekelompok elite penggerak, terdiri atas wajah-wajah lama para guru yang sudah aktif dan berkembang yang selama ini memperoleh privilese pelatihan ditambah beberapa wajah baru.
Konsep guru penggerak melanjutkan tradisi elitisme pelatihan guru lama melalui program jangka pendek ala piloting, rintisan, dan percontohan. Sementara sebagian besar guru bahkan sampai pensiun sama sekali tak pernah tersentuh pelatihan dan pengembangan guru yang diadakan oleh pemerintah. Padahal, mereka inilah yang perlu dapat prioritas pengembangan. Desain besar pengembangan guru harus diletakkan dalam konteks tantangan yang kompleks ini.
Ingar-bingar POP, disertai bumbu-bumbu politik yang menyertainya, hanya akan membawa kita pada kegaduhan. Komitmen pemerintah memperkuat peranan LPTK dan mentransformasi lembaga ini menjadi sumber penghasil calon guru yang andal sangat dibutuhkan. Lebih dari itu, pemerintah harus memiliki komitmen menyejahterakan kehidupan para guru dan memberikan perhatian secara adil dalam pengembangan profesi mereka secara berkelanjutan.
Dalam dokumen Rencana Strategis Kemendikbud 2020-2024, saya belum melihat tiga persoalan dasar ini terelaborasi dengan baik. Publik mengharapkan Nadiem bekerja secara tepat sasaran, bukan sekadar berwacana dan membikin gaduh. Kita membutuhkan desain besar pengembangan guru secara komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan, bukan secara parsial dan elitis semodel POP atau guru penggerak, yang jauh dari penyelesaian akar persoalan pendidikan yang sesungguhnya.
(Doni Koesoema A, Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong)