Ketiadaan pengawasan dan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan serta ketentuan PSBB membuat banyak warga beraktivitas seolah-olah tidak ada situasi pandemi yang perlu diwaspadai.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Angka infeksi yang naik tinggi membuat PSBB akan diterapkan lagi. Namun, tanpa penyelesaian tanggung jawab yang menumpuk, PSBB akan kembali sia-sia.
Keputusan yang mengundang pro dan kontra itu menurut rencana kembali diterapkan di wilayah DKI Jakarta mulai 14 September 2020. Di satu sisi, pembatasan aktivitas sosial dibutuhkan untuk mengendalikan penularan. Di sisi lain, efektivitas PSBB dipertanyakan mengingat tiga bulan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada awal-awal pandemi ternyata tidak menurunkan kasus secara signifikan.
Hingga Jumat (11/9/2020), total kasus terkonfirmasi sudah mencapai 207.203. Dari jumlah itu, 51.237 dalam perawatan, 147.510 sembuh, dan 8.456 meninggal. Selama enam bulan masa pandemi, angka kematian masih 4,1 persen, lebih tinggi dari rata-rata dunia 3,24 persen. Demikian pula rasio positif masih 19 persen, menunjukkan tingginya angka kasus penularan. Sungguh, kondisinya memang memprihatinkan.
Menengok kembali ke belakang, ada beberapa kesalahan yang menjerumuskan kita sampai ke situasi ini. Yang paling pokok adalah PSBB tanpa disertai 3T: testing, tracing, treatment atau 3P: pemeriksaan, pelacakan, dan pengobatan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 9 September 2020 menyebutkan, sampai hari ini jumlah tes nasional bahkan belum mencapai separuh dari ambang minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu.
Kata epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, jika tes ibarat jaring dan Covid-19 adalah ikannya, banyaknya ikan yang tertangkap dengan jaring kecil saja mengindikasikan di kolam ada banyak ikan. Ini berarti kasus Covid-19 sangat tinggi (Kompas, 31/8/2020).
Ketiadaan pengawasan dan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan dan ketentuan PSBB membuat banyak warga beraktivitas seolah-olah tidak ada situasi pandemi yang perlu diwaspadai. Di jalan, di pasar, di permukiman, dengan mudah dijumpai warga berkerumun tanpa jarak dan masker. Belum lagi kebijakan kepala daerah yang tidak seiring, yang justru meningkatkan risiko penularan. Sebutlah penerapan ganjil genap, pengurangan angkutan umum, hingga dikeluarkannya izin untuk berdemo.
Baca juga: Pekerja Ingin PSBB Ketat Dijalankan Konsisten
Sosialisasi Covid-19 dengan istilah-istilah yang jauh dari membumi semakin menambah ruwet persoalan. Maka, ketika virus korona sudah bertebaran di sekitar kita, rakyat bersikap seolah tak ada masalah. Oleh karena itu, jika PSBB kembali diberlakukan, ada banyak pekerjaan yang harus dituntaskan pemerintah pusat dan daerah.
Selain jaminan ekonomi harus sampai pada mereka yang kehilangan mata pencarian, perlu bahasa sederhana untuk menjelaskan penyakit lewat pelbagai platform komunikasi. Libatkan juga para tokoh adat, agama, dan masyarakat. Jalankan 3P seluas dan semasif mungkin agar kondisi riil diketahui dan mata rantai penularan dihentikan.
Jangan sia-siakan lagi PSBB, terutama mereka yang telah berkorban dengan tinggal di rumah saja.