Untuk dapat melaksanakan penegakan hukum yang efektif guna membentuk budaya hukum yang disiplin di masa pandemi ini, pemerintah pusat melalui Kemendagri perlu menetapkan pokok-pokok kebijakan kriminal yang terpadu.
Oleh
Albert Aries
·5 menit baca
Sejak diumumkan kasus pertama, 2 Maret 2020, jumlah kasus baru Covid-19 terus meningkat. Dari situs www.covid19.go.id, per tanggal 8 September 2020, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah melewati angka 200.000 kasus yang terkonfirmasi positif dengan jumlah kematian lebih dari 8.000 orang. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus terbanyak.
Kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Kekarantinaan Kesehatan, yaitu dengan ketentuan sosial berskala besar (PSBB) sebagai respons kedaruratan kesehatan masyarakat, sejauh ini masih pilihan peraturan yang tepat.
Hal ini fasilitas geografis, Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau yang membuat informasi kesehatan tak selalu merata di setiap daerah dan pola penyebaran pandemi yang terpusat di wilayah tertentu dengan mobilitas penduduk yang tinggi.
Kenaikan positif Covid-19 ini juga tidak dapat dilepaskan dari perilaku masyarakat yang merasa ”aman” berkumpul di suatu tempat tanpa menjaga jarak (jarak fisik ), tidak disiplin dalam menggunakan masker dengan benar, masih belum percaya bahwa Covid-19 adalah virus yang berbahaya, serta penegakan hukum yang kurang maksimal terhadap masyarakat yang melanggar protokol kesehatan sebagai kebijakan kebijakan pemerintah daerah yang belum tepat sasaran, misalnya kebijakan ganjil-genap di masa PSBB, yang dapat membawa penumpukan penumpang di angkutan umum.
Dengan adanya kondisi di atas, muncul pertanyaan di benak penulis, yaitu kebijakan kriminal yang perlu diambil oleh pemerintah, orang yang berasal dari Roscou Pound, yang menyatakan bahwa hukum dapat berperan sebagai sarana perubahan masyarakat ( hukum sebagai alat rekayasa sosial ) sehingga diharapkan dapat membentuk budaya hukum ( legal culture ) masyarakat yang berdisiplin tinggi guna mengatasi pandemi Covid-19.
Pranata hukum kesehatan
Pada 4 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Inpres undang-undang berlaku bagi pelanggar protokol kesehatan. Inpres diterbitkan dengan maksud memberikan landasan hukum bagi penanganan penanganan Covid-19, serta meningkatkan kedisiplinan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.
Dalam inpres tersebut, Presiden juga menginstruksikan kepada seluruh menteri Kabinet Indonesia Maju, Polri, TNI dan jajaran pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas dan fungsinya dalam menjamin kepastian hukum. Kemudian, penegakan upaya dan meningkatkan efektivitas penanganan Covid-19 di seluruh daerah di Indonesia.
Inpres itu sekaligus menjadi dasar hukum bagi pemda (melalui peraturan gubernur) untuk memasifkan sosialisasi penerapan protokol kesehatan dan ketentuan kewajiban masyarakat untuk mematuhi protokol peraturan yang berlaku bagi pelanggar yang dapat dikalahkan dengan kearifan lokal di setiap daerah.
Sejauh yang diketahui penulis, pranata hukum pidana untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, di antaranya terdapat dalam Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah yang mengatur delik tentang penanggulangan wabah dan juga Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengenai delik tak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan / atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Baik memuat pidana pidana penjara lama satu tahun (tidak dapat diandalkan) yang hukum belum termasuk dalam tindak pidana serius .
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Pembentukan Perundang-Undangan, materi mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan peraturan daerah (perda) provinsi / kabupaten / kota yang mengatur pidana kurungan maksimal enam bulan dan denda maksimal Rp 50 juta sehingga tak dapat diatur dalam peraturan gubernur.
Selain itu, sanksi berupa kerja sosial yang selama ini digadang-gadang diterapkan dalam pandemi juga identik dengan ketentuan Buku I KUHP, khususnya Pasal 19 KUHP, yang mengatur bahwa orang yang dijatuhi kurungan wajib menjalankan ”pekerjaan” yang diserahkan padanya.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 38 Ayat (1) dan (2) UU Pembentukan Perundang-undangan, dalam keadaan tertentu, DPRD provinsi atau gubernur dapat mengajukan rancangan perda provinsi di luar prolegda provinsi, yaitu untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam, dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu rancangan perda provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD provinsi yang khusus bidang legislasi dan biro hukum.
Efektivitas suatu hukum, menurut Anthony Allot, adalah bagaimana hukum dapat memenuhi memenuhi. Masih menurut Allot, ketidakefektifan suatu hukum salah satunya terletak pada kemungkinan pertentangan antara tujuan legislator dan sifat masyarakat di mana hukum tersebut akan dijalankan.
Efektivitas suatu hukum, menurut Anthony Allot, adalah bagaimana hukum dapat memenuhi memenuhi.
Menurut penulis, untuk melaksanakan penegakan hukum yang efektif guna membentuk budaya hukum ( budaya hukum ) yang disiplin di masa pandemi ini, pemerintah pusat melalui Kemendagri perlu menetapkan pokok-pokok kebijakan kriminal yang terpadu untuk segera dilegislasikan dalam perda / kabupaten / kota sehingga pemberian sanksi dan sanksi sanksi berupa denda dari rencana atas perda tersebut dapat dikelola dengan baik sesuai dengan kearifan lokal di setiap daerah.
Maksud penulis mengemukakan ini tentunya bukan semata-mata untuk mengedepankan penegakan hukum pidana sebagai satu-satunya solusi. Apalagi, hukum pidana memiliki prinsip sebagai ”obat terakhir” ( ultimum remedium ) dan identik dengan sanksi penjara.
Namun, kebijakan kriminal ini dapat mengecualikan karena hukum pidana memiliki fungsi pengendali sosial dikatakan Marc Ancel bahwa hukum pidana bertujuan melindungi tatanan masyarakat dengan penegakan hukum yang tidak bersifat yuridis formal, tetapi juga bernuansa sosial, mengatur postulat, Salus poluli suprema lex hanya esto , keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Albert Aries , Dosen Tidak Tetap FH Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki).