Keputusan UEA dan Bahrain membuka hubungan diplomatik dengan Israel memperkuat adagium klasik ”tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”. Itulah dinamika hubungan internasional saat ini.
Oleh
Dian Wirengjurit
·4 menit baca
Revolusi Jasmin, yang dipicu bakar diri pedagang buah Tarek al-Tayeb Bouazizi pada 10 Desember 2010, telah meruntuhkan pemerintahan otoriter Presiden Zine al-Abidine Ben Ali di Tunisia. Tidak ada yang menduga hal ini akan menyulut Arab Spring.
Setelah itu, berturut-turut bertumbangan pemerintahan otoriter di Mesir (Februari 2011) dan Libya (Oktober 2011). Banyak yang berspekulasi, Arab Spring merambat ke negara-negara Arab.
Ketika ”Diplomasi Abraham” diluncurkan Presiden AS Donald Trump dan menghasilkan pembukaan hubungan diplomatik Uni Emirat Arab-Israel (13 Agustus 2020) dan Bahrain-Israel (12 September 2020), masyarakat dunia tersentak.
UEA dan Bahrain menjadi negara Arab ketiga dan keempat setelah Mesir (melalui Perjanjian Camp David 26 Maret 1979 yang dipelopori Presiden Jimmy Carter) dan Jordania (melalui Deklarasi Washington 25 Juli 1994, disponsori Presiden Bill Clinton). Runtuhlah ”tembok pemisah” hubungan Israel dengan negara-negara Arab.
Banyak yang berspekulasi, Arab Spring merambat ke negara-negara Arab.
Diplomasi Arab-Israel
Ada beberapa catatan dalam hubungan diplomatik Arab dan Israel. Pertama, keempat upaya damai dan pembukaan hubungan diplomatik dipelopori oleh para presiden AS. Suka atau tidak suka, hal ini menunjukkan bahwa AS tetap menjadi ”pemain utama” di Timur Tengah.
Setelah debacle di Afghanistan, Irak, dan Suriah, AS membutuhkan jaminan bahwa di ”arena bermain” Timur Tengah kepentingan AS solid.
Kedua, Trump tampaknya mengadaptasi konsep neokonservatif masa Presiden George W Bush bahwa ”the road to Jerusalem runs through Baghdad”. Maksudnya, jika ingin damai di Israel, bertemanlah dengan Arab yang demokratis. Dalam konteks saat ini lebih tepat menjadi ”…runs through Dubai” atau berteman dengan Arab yang pragmatis.
Menteri Negara Urusan Luar Negeri UEA Anwar Gargash membela posisi negaranya dengan menyatakan, normalisasi itu badly needed realism. Sementara keputusan Manama untuk mengikuti Abu Dhabi sudah diperkirakan sebelumnya.
Ketiga, kalau menurut Harold Lasswell, politik adalah masalah who gets what, when and how, maka pertanyaan ini lebih pas diarahkan kepada UEA dan Bahrain. Sebagai pengingat, dari perjanjian damai dengan Israel, Mesir mendapatkan kembali Gurun Sinai, Jordania mendapatkan wilayah Baqura dan Al Ghamr. Bagi UEA yang pragmatis, hubungan dengan Israel akan memberikan peluang bisnis dan teknologi (Kompas, 31/8/2020).
Keempat, dalam konteks Palestina, ternyata UEA dan Bahrain tidak mendapatkan konsesi apa pun dari Israel. Benjamin Netanyahu bahkan tetap menolak untuk menarik diri dari Tepi Barat, tidak akan memindahkan satu pun warga Israel, dan tidak memberikan lip service atas gagasan two state solution untuk Palestina.
Kalau sinyalemen tentang Palestina itu benar, hal ini jelas sangat mengkhawatirkan. Berarti ada perubahan kebijakan dasar negara–negara Arab, khususnya kawasan Teluk.
Pertama, perubahan itu mengonfirmasi terjadinya ”perpecahan” bukan hanya di negara-negara Teluk (GCC, yang beranggotakan Arab Saudi, UEA, Bahrain, Kuwait, Oman. dan Qatar), melainkan juga di dalam Liga Arab dan OKI. Apalagi, sidang Liga Arab di Kairo (Mesir), 10 September 2020, tidak berhasil menyepakati deklarasi tentang Palestina.
Bagi UEA yang pragmatis, hubungan dengan Israel akan memberikan peluang bisnis dan teknologi.
Di kalangan Liga Arab (beranggotakan 22 negara dan notabene didirikan untuk menentang berdirinya Israel) dan OKI (57 negara), masing-masing 5 dan 31 negara, sudah mengakui Israel. Kini, 163 dari 193 anggota PBB sudah mengakui Israel.
Kedua, Arab Spring dapat dikatakan sebagai peristiwa spontan, sedangkan gelombang pembukaan hubungan dengan Israel memang merupakan quiet diplomacy selama bertahun-tahun antara para pemimpin Arab Teluk Persia dan ”Negeri Bintang Daud”. Hal ini ditunjang pula kesamaan antipati terhadap Iran yang dianggap ancaman bersama dan kevakuman akibat American retrenchment di kawasan.
Seperti diketahui, 7 Juni 2017, Arab Saudi, Bahrain, dan UEA (bersama Mesir) telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, dengan alasan membantu terorisme dan terlalu dekat dengan Teheran.
Ketiga, keputusan UEA dan Bahrain untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel memperkuat adagium klasik ”tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”. Itulah dinamika hubungan internasional saat ini. Tampak bahwa demi kepentingan nasionalnya, negara-negara itu kini cenderung bersikap pragmatis/realistik. Bagi Israel, ini menjadi pijakan kuat di Teluk Persia dan semakin dekat dengan Iran.
Dampak
Akhirnya, kelihatannya sederhana, tetapi sesungguhnya pembukaan hubungan diplomatik UEA dan Bahrain dengan Israel ini luas ramifikasinya. Dampaknya bisa penyelesaian masalah Palestina, eksistensi Israel yang semakin kuat, masa depan OKI, penyelesaian program nuklir Iran, dan kompleksitas geopolitik Timur Tengah.
Sebaliknya, berkomitmen untuk turut membantu menciptakan keamanan dan perdamaian dunia, khususnya di kawasan hot spot seperti Timur Tengah, menjadi tantangan yang semakin berat. Dalam masalah Palestina, Indonesia sudah waktunya menjajaki pendekatan lain, yaitu langsung ke pemain-pemain kunci kawasan.
Sudah umum diketahui, hambatan utama terbatasnya manuver dan mobilitas diplomasi Indonesia adalah tidak adanya hubungan diplomasi dengan Israel. Apakah semua fenomena akan mengerucut menjadi Israel Spring (Musim Semi Israel) atau Arab Fall (Musim Gugur/Rontok Arab), semua tergantung Arab itu sendiri.