Dengan jumlah perguruan tinggi yang sangat banyak, perhatian pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang sudah ada dan meningkatkan peluang anak bangsa mengenyam pendidikan tinggi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Keputusan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mencabut kluster pendidikan dalam RUU tersebut patut diapresiasi.
Paling tidak, kekhawatiran bahwa pendidikan tinggi akan menjadi komoditas yang diletakkan dalam konteks investasi untuk sementara tiada lagi. Hingga ada jaminan benar-benar ditempatkan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi tidak hanya dituntut menghasilkan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi. Pendidikan tinggi juga memiliki peran strategis dan filosofis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan.
Menurut Guru Besar IPB University Hariadi Kartodihardjo, yang mengkaji pasal-pasal dalam UU Pendidikan yang akan diubah dengan RUU Cipta Kerja, pendidikan tak semata untuk tujuan ekonomi. Jika ini terjadi, hal itu berpotensi memisahkan kehidupan akademis dengan realitas kehidupan dunia nyata.
Tridarma perguruan tinggi menjadi semakin relevan di sini. Perguruan tinggi tak hanya mempunyai fungsi pendidikan dan pengajaran bagi anak bangsa, tetapi juga fungsi penelitian dan pengembangan untuk memajukan ilmu pengetahuan, serta pengabdian kepada masyarakat atau fungsi sosial.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi tidak harus berhubungan dengan kebutuhan untuk mencari nafkah. Demikian pula penelitian yang dihasilkan perguruan tinggi tidak harus terkait dengan industri. Perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab memecahkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan di masyarakat.
Dengan tiga fungsi itu, sudah tepat jika kluster pendidikan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja meskipun bayang-bayang komersialisasi pendidikan masih nyata. Kebutuhan tenaga kerja pada era 4.0 dalam beberapa hal telah mengubah budaya akademik menjadi budaya ekonomi. Keberhasilan pendidikan kemudian diukur dari banyaknya jumlah lulusan yang terserap di pasar kerja.
Komersialisasi pendidikan tidak hanya melahirkan praktik pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga menjadi eksklusif karena hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu yang mempunyai dukungan dana.
Muncul pula jurusan favorit yang secara tidak sadar ”membuai” anak bangsa untuk memburu jurusan itu sebagai jaminan masa depan. Muncul pula perguruan tinggi favorit yang sering kali berimplikasi pada biaya pendidikan yang tinggi. Komersialisasi pendidikan tidak hanya melahirkan praktik pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga menjadi eksklusif karena hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu yang mempunyai dukungan dana. Salah satu indikasi, angka partisipasi pendidikan tinggi Indonesia hanya sekitar 34 persen, padahal jumlah perguruan tinggi lebih dari 4.500. Bandingkan dengan China yang berpenduduk lebih dari 1,5 miliar jiwa, hanya mempunyai 2.824 perguruan tinggi.
Masuknya perguruan tinggi asing harus terutama mempertimbangkan kondisi itu, bukan pertimbangan ekonomi. Dengan jumlah perguruan tinggi yang sangat banyak, perhatian pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang sudah ada dan meningkatkan peluang anak bangsa mengenyam pendidikan tinggi.