Meredam Ongkos Resesi
Meski tak mudah membangun kerangka kebijakan secara utuh, sekurangnya ada empat jalur pemulihan yang mesti ditempuh: fiskal, keuangan/ moneter, perdagangan, dan produksi.
Tiga gejolak ekonomi besar menghajar Indonesia dalam dua dekade terakhir (tepatnya 23 tahun). Pertama, krisis 1997/1998 yang bermula dari anjloknya nilai tukar. Sektor riil roboh, perbankan bergelimpangan, pasar saham jatuh, pertumbuhan ekonomi tersungkur, inflasi tak terkendali. Ekonomi serba gelap.
Kedua, setelah tertatih memulihkan ekonomi, pada 2008 kembali ekonomi goyah meski intensitasnya lebih ringan. Situasi suram karena AS dihajar oleh kasus subprime mortgage dan menjadi wabah kelesuan ekonomi global. Harga minyak tetiba naik tajam, demikian pula harga pangan. Inflasi 2008 mendaki (11 persen), pertumbuhan ekonomi langsung turun di 2009, defisit fiskal membesar.
Ketiga, krisis dan resesi ekonomi sekarang yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Manusia dibatasi (dikurung) interaksinya agar penyebaran virus mereda. Kali ini resesi melumpuhkan serentak semua negara sehingga menjadi ”kutukan global”. Perekonomian tengkurap.
Terapi krisis
Jantung krisis 1997/1998 bersumber dari inefisiensi ekonomi akibat praktik perburuan rente yang sudah berlangsung sangat lama. Kultur monopoli jadi tabiat sektor manufaktur sehingga daya saing ekonomi tak tercipta. Konsesi kebijakan dipertukarkan dalam ruang tertutup sehingga cuma pelaku ekonomi yang lekat dengan kekuasaan yang mudah menyerap aneka fasilitas. Setelah itu, nilai tukar ditetapkan terlalu tinggi, padahal neraca transaksi berjalan terus defisit.
Jantung krisis 1997/1998 bersumber dari inefisiensi ekonomi akibat praktik perburuan rente yang sudah berlangsung sangat lama.
Pelaku ekonomi dengan mudah membaca ini sehingga serangan spekulan tinggal menunggu momentum saja. Pemerintah dan bank sentral menyikapi krisis itu dengan ragam kebijakan, dua di antaranya permintaan bantuan ke IMF dan mendesain Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BI juga menutup 16 bank atas rekomendasi IMF, membuat krisis kepercayaan publik pada perbankan. Kita paham tepi kisah BLBI: bantuan diselewengkan dan jadi perkara hukum yang ekornya belum usai hingga kini.
Baca juga: Peluang Meminimalkan Resesi
Medio 2008/2009, semua negara diingatkan oleh perkara vital: pangan dan energi. Dua sektor dan komoditas itu merupakan sumbu kehidupan. Pangan menegakkan badan dan kesehatan, sedangkan energi menyalakan perekonomian. Dua komoditas harga melonjak dan menjadi petaka bagi negara yang lemah kemandirian pangan dan energi, termasuk Indonesia. Daya beli masyarakat merosot karena peningkatan harga pangan (yang diimpor) dan fiskal jebol akibat pembengkakan subsidi energi (minyak).
Di luar itu, ada problem subprime mortgage di AS sebagai pemicu krisis global yang melemahkan perekonomian domestik. Muncul pula perkara Bank Century sebagai imbas krisis saat itu, yang kisahnya mirip BLBI: ujungnya kasus pidana. Pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal sebagai bantalan krisis. Ekonomi mulai dipulihkan, tetapi sejak saat itu pula zona pertumbuhan ekonomi tinggi (6 persen) tak bisa dicapai. Pertumbuhan terus menurun hingga menjadi kisaran 5 persen sampai 2019.
Akhir 2019, dunia sedang menyongsong hari baru karena prospek ekonomi 2020 dianggap lebih bagus. Lembaga multilateral mengeluarkan proyeksi ”musim semi” 2020, demikian pula Pemerintah RI. Pada 2020 diperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa tembus 5,3 persen; naik ketimbang 2019 (meski tipis). Namun, Covid-19 yang menyerbu Wuhan (China) pada awal tahun membuat harapan itu menguap, apalagi sejak Indonesia mengumumkan 2 Maret 2020 telah ada warga yang terkena virus.
Sejak itu kebijakan jaga jarak diterapkan, kerja dari rumah, pembatasan sosial berskala besar (yang membuat ekonomi Jakarta dan kota-kota besar lainnya lumpuh), penerbangan dihentikan, dan seterusnya. Jumlah korban makin meningkat, kehidupan sosial muram, dan ekonomi menjadi gulita. Pemerintah membentuk Satgas Covid (diikuti Satgas Pemulihan Ekonomi). Paket stimulus ekonomi dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi tiga perkara sekaligus: kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Catatan stimulus
Stimulus ekonomi yang telah disusun pemerintah bisa dikatakan lumayan lengkap, menjangkau ke banyak penjuru masalah. Jumlah stimulus juga tidak bisa dikatakan kecil karena sekitar 35 persen dari APBN 2020. Terlebih, pemerintah masih terus menambah anggaran akibat perubahan situasi di lapangan, seperti pemberian subsidi untuk pekerja yang bergaji di bawah Rp 5 juta.
Baca juga: Konsep Subsidi Gaji untuk Pekerja Belum Final
Di luar isu kesehatan dan sosial yang jadi mandat wajib untuk ditangani sejak wabah muncul, ada tiga catatan utama dari desain stimulus ini. Pertama, fokus stimulus ekonomi masih bisa dipertajam agar anggaran yang disediakan tak mengucur ke banyak kepentingan yang nilai gunanya terbatas. Secara umum, desain stimulus ini dikonsentrasikan untuk penajaman sasaran fiskal (daya beli, kemiskinan, insentif usaha), operasi perbankan, metode baru perdagangan/logistik, dan penguatan basis produksi.
Baca Juga: Berpacu dengan Resesi
Kedua, pada fase awal stimulus ekonomi seharusnya ditumpukan pada program yang bisa meningkatkan permintaan (aggregate demand), bukan fokus ke pembesaran kapasitas pasokan (aggregate supply). Keduanya dalam situasi ekonomi normal bekerja secara berbarengan, tetapi saat ekonomi sakit memulihkan daya beli terlebih dulu merupakan langkah paling masuk akal.
Dari hampir Rp 700 triliun yang telah dibuat skema programnya oleh pemerintah, hanya sekitar Rp 172 triliun yang betul-betul menyasar untuk meningkatkan daya beli masyarakat dalam wujud dukungan konsumsi. Itu pun sebenarnya sebagian besar dana merupakan anggaran rutin yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun, misalnya PKH dan sembako. Di luar itu, program yang dirancang lebih banyak memfasilitasi agar kapasitas pasokan bergerak. Masalahnya, jika produksi bisa dijaga, tetapi daya beli masyarakat melemah, itu jadi kemubaziran. Ongkos resesi makin besar.
Ketiga, jika diperhatian secara saksama, dari sekian banyak program stimulus ekonomi terdapat beberapa pos yang tak ada kaitan secara langsung dengan pemulihan. Pembayaran kompensasi untuk Pertamina dan PLN Rp 90,4 triliun tak bisa dianggap sebagai stimulus akibat Covid-19. Kompensasi ini sebagian merupakan kewajiban pemerintah meski pandemi tak ada.
Subsidi dalam rangka program B30 (Rp 2,7 triliun) juga bukan paket stimulus karena itu program pemerintah tiga tahun terakhir. Apalagi, subsidi ini tak dinikmati pekebun sawit (petani kecil), tetapi korporasi. Penyertaan modal negara Rp 25,2 triliun juga program tahunan pemerintah. Dana talangan investasi ke beberapa BUMN (PT Garuda, Perumnas, KAI, dan lain-lain) Rp 19,6 triliun tak ada kaitan langsung dengan stimulus pandemi. Keempat program itu nilai totalnya sekitar Rp 138 triliun.
Kapasitas organisasi
Sumber daya (finansial) memang terbatas, tetapi pemerintah tetap memiliki dalam jumlah besar. Keterbatasan sumber daya juga dialami negara lain, tanpa kecuali. Di luar itu, sesungguhnya yang mendesak dipikirkan: penguatan kapasitas organisasi Satgas Pemulihan Ekonomi untuk meredam ongkos resesi.
Sumber daya (finansial) memang terbatas, tetapi pemerintah tetap memiliki dalam jumlah besar.
Pemerintah sudah membentuk satgas dan personalia yang menjalankannya. Pada dimensi kapasitas organisasi ini setidaknya terdapat lima rukun yang wajib diamalkan: visi dan strategi, kepemimpinan dan tata kelola, pelaksanaan dan dampak program, relasi strategis, serta pengembangan sumber daya. Visi dan strategi adalah jangkar ”peperangan”.
Meski judulnya pemulihan ekonomi, sebaiknya visi dan strategi disatukan dengan garis besar program kerja pemerintah 2019-2024. Jadi, pemulihan ekonomi ini sekaligus memanggul gerbong besar yang diusung pemerintah: daya saing ekonomi, transformasi ekonomi, dan demokrasi ekonomi.
Baca juga: Berpacu Melawan Resesi
Kepemimpinan dan tata kelola merupakan tulang punggung operasionalisasi pemulihan ekonomi. Syarat pokoknya adalah punya otoritas dan waktu penuh. Posisi penting satgas yang disusun merepresentasikan kapabilitas dan kewenangan yang dimiliki. Namun, problem terbesarnya adalah figur-figur itu juga menduduki jabatan strategis yang punya mandat dan beban berat sehingga energi serta waktu mereka terbatas. Solusinya, para menteri itu pegang komando kebijakan, tetapi operasionalnya diperankan oleh sosok tangguh yang tak memegang jabatan formal.
Aktor operasional ini yang selanjutnya memastikan setiap program bisa dijalankan (program delivery) dan setiap sasaran bisa diukur faedahnya bagi masyarakat (perekonomian). Tiap-tiap program bukan semata dilihat dari ditunaikannya aktivitas (output), melainkan dipastikan punya implikasi terhadap perekonomian sesuai visi yang ditetapkan (impact). Kesadaran yang mesti dibangun sejak awal, pemerintah dan satgas punya keterbatasan yang melekat.
Satu-satunya cara mengatasinya adalah membangun relasi strategis dengan pemangku kepentingan yang lebih luas. Pemda, perguruan tinggi, ormas, masyarakat sipil, dunia usaha, dan lembaga riset merupakan sebagian dari kelompok yang wajib diajak kolaborasi.
Warga diajak bergerak dalam poros besar pertempuran sehingga bobot gugus tugas ini bisa disangga bersama. Ujung dari kapasitas organisasi ini adalah mengembangkan sumber daya yang tentu saja bukan melulu finansial (meski ini sangat penting). Jika relasi dengan pemangku kepentingan terbangun, otomatis hal itu sebangun dengan pengembangan jejaring sumber daya strategis.Modal sosial warga yang luar biasa juga bisa diserap sebagai daya dorong kapasitas organisasi. Intinya, sumber daya ekonomi, sosial, dan politik menjadi sasaran pokok pembesaran kapasitas.
Intinya, sumber daya ekonomi, sosial, dan politik menjadi sasaran pokok pembesaran kapasitas.
Jalur pemulihan
Selama satu abad tak ada padanan krisis sedahsyat ini yang menggabungkan tiga perkara pokok sekaligus: kesehatan, sosial, dan ekonomi. Penanganan isu kesehatan dan sosial lumayan ada gambarannya karena keduanya sudah dikerjakan sejak Januari 2020 di seluruh dunia. Meski tak mudah membangun kerangka kebijakan secara utuh, sekurangnya ada empat jalur pemulihan yang mesti ditempuh: fiskal, keuangan/ moneter, perdagangan, dan produksi.
Jalur fiskal dengan mencermati situasi enam bulan ini mesti diarahkan untuk tiga peruntukan: menjaga daya beli, menahan kemiskinan, dan insentif usaha. Daya beli kelas bawah lewat intensifikasi bantuan sosial dan kelompok menengah lewat pengurangan pajak pendapatan. Kemiskinan diserbu dari banyak penjuru: transfer tunai, subsidi produksi, dan pelatihan komunitas. Insentif usaha difokuskan untuk menciptakan lapangan kerja, setidaknya menahan tak ada PHK. UMKM jadi prioritas paling puncak.
Jalur moneter dan keuangan, pemerintah sudah mendesain beberapa kebijakan/program, seperti subsidi bunga dan restrukturisasi kredit. BI telah merelaksasi perbankan, di antaranya dengan menurunkan giro wajib minimum. Implementasinya perlu dikawal dengan baik, antara lain dengan memantau sektor dan pelaku paling terdampak. Isu utama yang selalu menjadi soal adalah data.
Jika tak benar-benar presisi, program semacam itu biasanya hanya berorientasi pada penyerapan sehingga pelaku yang paling punya akses berpotensi terlayani lebih dulu. Subsidi bunga dan restrukturisasi diserahkan total ke perbankan dengan dua syarat: tak ada intervensi dan prosedur yang sederhana. Semua dikerjakan dengan alas teknokratis, bukan politis. Perbankan sendiri harus punya langgam baru: pemihakan ke sektor pertanian dan UMKM dipertajam sebagai koreksi atas pengabaian selama ini.
Berikutnya, jalur perdagangan amat menantang karena penyebaran virus menghendaki interaksi antarmanusia dibatasi. Sejujurnya, tantangan ini mesti dimanfaatkan sebagai peluang terbesar mengubah lanskap perdagangan nasional. Rantai pasok yang panjang selama ini dikeluhkan sebagai penyebab utama inefisiensi dan menempatkan pelaku di hulu sebagai korban (petani, peternak, nelayan, dan usaha mikro/kecil).
Jadi, teknologi informasi (internet, marketplace) jadi sumbu perdagangan yang wajib dituntaskan. Akses digitalisasi merupakan keniscayaan buat pelaku UMKM dan sektor primer di perdesaan. Setelah itu, membangun balok informasi kebutuhan dan potensi komoditas di tiap-tiap daerah yang dialirkan ke pelaku di hulu. Fasilitasi pemerintah juga turut berubah dari proyek fisik ke sistem informasi. Kementerian desa, koperasi/UMKM, pertanian, kelautan, dan perdagangan menjadi ujung tombak jalur perdagangan ini.
Jadi, teknologi informasi (internet, marketplace) jadi sumbu perdagangan yang wajib dituntaskan.
Terakhir, jalur produksi. Pemerintah teruji kuat membuat rencana makro produksi, tetapi kerap kedodoran pada aksi mikro. Di desa terdapat program Dana Desa yang selama lima tahun ini sudah membangun banyak infrastruktur fisik dan ekonomi. Problemnya, pembangunan ini tak lekas dikaitkan dengan bantuan produksi sektor pertanian/kelautan yang sesuai dengan setiap desa/wilayah. Lebih kepayahan lagi jika ditelaah strategi konversi produk di hulu itu dengan sasaran transformasi ekonomi (penciptaan nilai tambah).
Pemulihan ekonomi ke depan mesti masuk ke titik terdalam (mikro) semacam ini. Jika ini direlasikan dengan agenda besar pemerintah, yakni demokrasi ekonomi, jalur produksi akan berimpit dengan aneka program strategis, seperti RAPS (reforma agraria dan perhutanan sosial), KUR, serta Meekar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera). Singkatnya: libatkan seluruh pemangku kepentingan, jangan terobsesi bisa memanggulnya sendirian.
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ekonom Senior Indef.