Peringatan hari jadi TNI tahun ini gamblang menyuratkan suasana prihatin karena negara masih menghadapi pandemi Covid-19. TNI juga akan menghadapi kemajuan teknologi digital seperti yang dibawa Revolusi Industri Keempat.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Hari jadi Tentara Nasional Indonesia pada 5 Oktober pada tahun ini diperingati dengan cara berbeda tanpa mengurangi kekhidmatan di Istana Negara, Jakarta.
Peringatan pada tahun ini gamblang menyuratkan suasana prihatin karena negara masih harus menghadapi pandemi Covid-19. Justru saat memperingati HUT di angka spesial tiga perempat abad, TNI berhadapan dengan suasana berbeda. Lazimnya, peringatan disemarakkan oleh defile, drum band angkatan, unjuk alutsista, dan fly-pass jet tempur.
Virus korona menyadarkan kita, ada dimensi perang lain di luar perang yang harus ditempuh dengan penggunaan alutsista. Sebelum era pandemi, wacana perang ramai diwarnai oleh ancaman perang siber dan perang asimetrik, atau perang Generasi Keempat. Di lingkungan TNI sendiri, energi dan pikiran banyak dicurahkan untuk mencapai Kekuatan Pokok Minimum (MEF) yang ditargetkan rampung tahun 2024.
Senin (5/10/2020), harian ini menurunkan wawancara dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang menyoroti kian kompleksnya ancaman yang dihadapi Indonesia. Antara lain disebutkan, ketika Indonesia kerepotan menghadapi pandemi Covid-19, ada eskalasi ketegangan di Laut China Selatan akibat klaim China atas wilayah tersebut, termasuk Laut Natuna Utara.
Hal ini memunculkan pemikiran, kebijakan pembangunan kekuatan TNI perlu direorientasi, tidak lagi semata pada pemenuhan MEF, tetapi juga perlu melihat pula ancaman yang dihadapi. MEF pada awalnya divisikan untuk membuat postur TNI yang tangguh meski dalam level minimum. Ikhtiar ini saja jauh dari mudah, khususnya dari sisi anggaran. Sekadar gambaran, jika harga satu unit pesawat tempur generasi baru mencapai 90 juta dollar AS, kita bisa menghitung berapa triliun rupiah harus kita sediakan jika ingin membeli satu skuadron (16 pesawat).
Padahal, kita tahu, akuisisi atau pembelian alutsista tidak berhenti pada unit pesawat, tetapi juga pada sistem persenjataan dan suku cadangnya. Sungguh kebutuhan yang sulit kita bayangkan, bagaimana kita bisa memenuhinya, justru ketika anggaran belanja pertahanan kita—dibandingkan dengan negara-negara kawasan—relatif sangat kecil, yaitu di bawah 1 persen produk domestik bruto (PDB).
Pengalaman sejumlah negara, mereka sudah mengeluarkan biaya besar untuk melancarkan perang, seperti halnya Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan, tetapi tujuan politiknya tidak bisa dicapai. Di kedua negara tersebut, hingga hari ini, tidak ada perdamaian.
Meski menghadapi perkembangan geopolitik yang dinamis di kawasan, TNI tak dapat menutup mata akan perkembangan yang dinamis pula di Tanah Air. Meski tidak semuanya masuk dalam lingkup tugasnya, jajaran pimpinan TNI patut senantiasa awas terhadap fenomena terorisme, radikalisme, separatisme, dan pencurian kekayaan alam.
Saat pandemi berakhir, TNI akan menghadapi kemajuan teknologi digital, seperti yang dibawa oleh Revolusi Industri Keempat (4.0), dengan teknologi kecerdasan buatan, mahadata, dan internet segala akan lebih membuat kompleks dimensi ancaman perang siber.