Istilah reforma agraria dalam UU ini hanyalah pemanis semata, tetapi pil pahit bagi masyarakat. UU Cipta Kerja ini membuat jalan reforma agraria dalam tafsir keliru dan salah kaprah pada sisi pelaksanaan.
Oleh
IWAN NURDIN
·4 menit baca
Pada pidato pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, Senin (5/10/2020), pimpinan DPR secara khusus menyatakan bahwa RUU ini proreforma agraria. Tentu pernyataan ini dimaksudkan untuk menolak tuduhan masyarakat bahwa UU ini hanya mendukung pengalokasian tanah kepada pengusaha dan memudahkan penggusuran.
Dalam usaha meredam sejumlah protes dan perlawanan yang meluas terhadap UU ini, DPR getol menyosialisasikan pasal bahwa UU Cipta Kerja mendukung reforma agraria.
Dalam Pasal 126 UU Cipta Kerja disebutkan, pertama, badan Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: (a) kepentingan umum; (b) kepentingan sosial; (c) kepentingan pembangunan nasional; (d) pemerataan ekonomi; (e) konsolidasi lahan; dan (f) reforma agraria.
Kedua, ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf f paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan bagi Bank Tanah.
Benarkah UU ini mendukung pelaksanaan reforma agraria?
Bukan reforma agraria
Benarkah UU ini mendukung pelaksanaan reforma agraria? Sebenarnya, UU ini secara mendasar telah keliru menempatkan reforma agraria sebagaimana Pasal 126 tersebut. Sebab, reforma agraria dimaksudkan sebagai sebuah operasi koreksi atas ketimpangan struktur pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah.
Sementara pasal ini telah mendudukkan reforma agraria selain bukan sebagai langkah koreksi juga menjadikannya sebagai operasi pengadaan tanah. Tentu ada perbedaan mendasar. Sebagai langkah koreksi, ia bekerja atas dasar prinsip penertiban tanah yang timpang dan penyelesaian konflik. Sementara pengadaan tanah adalah operasi keperdataan dengan cara pembelian atau proses ganti kerugian.
Dengan menjadikan reforma agraria sebagai operasi pengadaan tanah, tanah yang seharusnya obyek reforma agraria menjadi obyek pengadaan tanah setelah dibeli atau diganti rugi oleh Bank Tanah sehingga bisa saja dengan dalih reforma agraria, dalam praktiknya menjadi operasi penyelamatan bagi para penelantar tanah atau pemilik hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai yang habis jangka waktunya.
Praktik semacam ini banyak terdapat di Amerika Latin pada awal 2000-an di mana pemilik perkebunan luas atau hacienda berbondong-bondong meminta tanahnya ditetapkan sebagai obyek reforma agraria ketika kesulitan menjalankan bisnis sebab ”Bank Tanah” akan membeli tanah mereka dengan harga pasar lalu menjual kembali kepada petani dalam skema kredit pemilikan tanah. Usaha ini gagal mencapai keadilan sebab petani kecil mendapatkan tanah dengan harga sangat mahal dan terjerembab kredit macet.
Sebenarnya UU ini secara kelembagaan akan menimbulkan kerancuan baru. Dengan memasukkan fungsi Bank Tanah sebagai penjamin ketersediaan tanah untuk reforma agraria, maka obyek reforma agraria, seperti eks HGU, HGB, tanah telantar, dan tanah negara yang berpotensi menjadi obyek reforma agraria, akan berada di bawah kewenangan badan Bank Tanah. Semua obyek ini disebut sebagai tanah negara.
Selama ini, kewenangan terkait tanah negara untuk reforma agraria di bawah koordinasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan pemerintah daerah dalam menentukan obyek dan subyek reforma agraria. Setelah UU ini disahkan, jika berpindah kepada Bank Tanah, terjadi tumpang tindih kewenangan, khususnya dalam menetapkan obyek dan subyek reforma agraria, sebab aturan lama masih berlaku.
Semua obyek ini disebut sebagai tanah negara.
Kemudian, terjadi penyempitan hak rakyat atas tanah obyek reforma agraria. Dengan menyatakan bahwa sedikitnya 30 persen tanah negara yang diperuntukkan bagi Bank Tanah dijadikan obyek reforma agraria, sebenarnya itu berpotensi besar memangkas hak masyarakat. Misalnya, dalam aturan pendayagunaan tanah telantar, tanah negara untuk reforma agraria paling sedikit 80 persen dari tanah yang diterlantarkan.
Pil pahit lain
Sebelum pengesahan UU ini, pelaksanaan reforma agraria diatur dalam Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan dijalankan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Mengingat UU lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perpres, tentu seluruh tugas dan fungsi reforma agraria akan dikerjakan Bank Tanah dan GTRA berpotensi dibubarkan.
Padahal, jika merujuk pada pasal Bank Tanah, desain kelembagaan Bank Tanah dan personelnya tidak sesuai dengan reforma agraria sebagai operasi koreksi, penyelesaian konflik agraria, distribusi aset, dan akses ekonomi lanjutan. Tentu dengan situasi ini, masa depan reforma agraria menjadi semakin suram jika bersandarkan pada Bank Tanah.
Karena itu, tidaklah tepat jika menyimpulkan bahwa UU Cipta Kerja telah mengakomodasi tuntutan keadilan agraria dengan mencantumkan reforma agraria. Justru UU ini membuat jalan reforma agraria dalam tafsir keliru dan salah kaprah pada sisi pelaksanaan.
Karena itu, bisa dikatakan bahwa istilah reforma agraria dalam UU ini hanyalah pemanis semata, tetapi pil pahit bagi masyarakat. Hal ini karena pengaturan lainnya dalam UU terkait pengadaan tanah bagi proyek-proyek bisnis atas nama pembangunan untuk kepentingan umum dan proyek strategis nasional yang berpotensi menggusur hak-hak rakyat diberi jalan kemudahan.
Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria; Pengajar di Universitas Paramadina.