Adalah sebuah kehinaan bilamana ada oknum yang bermain mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan bangsa, mengambil keuntungan di atas penderitaan anak bangsa melawan keganasan Covid-19.
Oleh
BADRUL MUNIR
·5 menit baca
Tuduhan membuat diagnosis Covid-19 atau ”mengcovidkan” semua pasien yang berobat ke rumah sakit sudah lama kita dengar, tetapi kali ini tuduhan dilontarkan orang di lingkar Istana, yakni Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Moeldoko mengecam RS agar tak gampang membuat diagnosis Covid-19 atau ”mengcovidkan” semua pasien hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial bagi RS.
Adalah sebuah kehinaan bilamana ada oknum yang bermain mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan bangsa. Dan, jika tuduhan ini benar, sungguh tindakan yang sangat tercela mengambil keuntungan di atas penderitaan anak bangsa melawan keganasan Covid-19.
Pertanyaannya, benarkah tuduhan itu dan bagaimana dampaknya terhadap pemberantasan Covid-19 di Tanah Air.
Adalah sebuah kehinaan bilamana ada oknum yang bermain mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan bangsa.
Pentingnya penapisan
Coronavirus disease (Covid-19) ini merupakan penyakit jenis baru dengan banyak gejala yang muncul dan organ yang terkena. Akibatnya, tanda serta gejala yang muncul sangat berbeda antara pasien satu dan pasien lainnya.
Virus ini juga mampu bermutasi dan memiliki daya serang (virulensi) tinggi sehingga mudah menularkan dan mematikan pasien yang terinfeksi. Dan, tempat di mana ada potensi terjadi penularan dan paparan tinggi adalah RS serta fasilitas layanan kesehatan lain.
Karena itu, di semua fasilitas kesehatan diperlukan sebuah sistem penapisan (screening) yang baik untuk menyaring agar pasien tak membahayakan orang lain di RS. Penapisan dimulai dari gejala klinis (panas, batuk, sesak, dan lainnya), pemeriksaan radiologis (rontgen, CT-scan, dan lainnya) hingga pemeriksaan laboratoris.
Hasil penapisan akan dianalisis oleh tim dokter ahli dokter spesialis interdisiplin yang sudah terlatih untuk memutuskan status pasien apakah curiga Covid-19 atau bukan. Apabila curiga Covid-19, akan diperlakukan sebagai pasien Covid-19, termasuk cara merawat dan kamar perawatannya. Bahkan, jika meninggal, akan dilakukan protokol pemulasaraan dan pemakaman secara Covid-19.
Kepada pasien juga akan dilakukan tes usap (swab test) untuk memastikan kecurigaan Covid-19. Apabila hasil swab negatif, pasien akan dipindah ke ruang biasa dan diperlakukan bukan sebagai pasien Covid-19. Proses penapisan inilah yang sering kali dipersepsikan sebagai tindakan ”mengcovidkan” pasien oleh banyak orang (termasuk lingkar Istana).
Sebagai ilustrasi, terhadap pasien strok yang datang ke RS, pasti akan dilakukan dulu penapisan saat berada di instalasi rawat darurat (IRD). Apabila dari hasil penapisan didapatkan gejala mayor Covid-19, seperti panas, batuk, dan sesak, harus dilakukan pemeriksaan laboratorium dan foto rontgen untuk mendeteksi adanya infeksi virus.
Apabila hasilnya mengarah ke Covid-19, pasien harus dites usap dan dirawat di ruang Covid-19 karena jika dirawat di ruang strok biasa, pasien itu akan membahayakan pasien strok lain (termasuk petugas medis). Selain mendapatkan pengobatan strok, pasien juga akan diterapi penyakit Covid-19 sesuai dengan derajat keparahan penyakitnya, dengan harapan kesembuhan pasien lebih paripurna.
Sering kali, saat menunggu hasil tes usap, pasien meninggal dalam perawatan sehingga pemulasaraan jenazah akan mengikuti protokol kesehatan.
Sering kali, saat menunggu hasil tes usap, pasien meninggal dalam perawatan sehingga pemulasaraan jenazah akan mengikuti protokol kesehatan. Namun, jika hasil tes usap negatif, pasien diperlakukan sebagai pasien umum saat perawatan di RS dan pemulasaraan jenazahnya jika meninggal.
Laporan RS sangat ditentukan oleh hasil penapisan dan tes usap yang didapat. Permasalahan yang muncul adalah waktu yang lama menunggu keluarnya hasil tes usap. Dari pengalaman penulis, bisa 3-7 hari, bahkan bisa lebih lama. Kondisi seperti ini akan menyulitkan tim medis. Padahal, pemeriksaan tes usap ini merupakan pintu utama penegakan diagnosis Covid-19. Semakin cepat, semakin baik.
Lamanya menunggu hasil tes usap tidak hanya membahayakan pasien yang dirawat dan rumah sakit, tetapi juga membahayakan orang yang pernah kontak dengan dia karena tidak segera dilakukan penelusuran. Padahal, orang yang pernah kontak juga melakukan kontak dengan orang lain sehingga mempercepat penyebaran Covid-19 di masyarakat.
Lamanya hasil keluar karena tidak seimbangnya antara jumlah sampel yang diperiksa dan jumlah laboratorium yang bisa melakukan pemeriksaan sampel usap. Hal ini akibat ketersediaan laboratorium yang mampu memeriksa tes usap sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Memang, untuk membuka laboratorium yang bisa memeriksa tes usap harus memenuhi standar keamanan level tertinggi agar tidak membahayakan masyarakat di sekitarnya akibat kebocoran virus.
Juga sudah ada upaya pemerintah memperbanyak kemampuan pemeriksaan tes usap, tetapi sampai saat ini masih belum memenuhi standar minimal WHO. Data yang dihimpun WHO menunjukkan, jumlah tes usap dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia terendah di seluruh dunia dan masih jauh dari standar minimal WHO. Yang ironis, di awal pandemi, pemerintah lebih memilih melakukan tes cepat daripada memperbanyak kemampuan tes usap.
Padahal, saat itu para ahli kesehatan Indonesia sudah mengingatkan pemerintah untuk lebih fokus memperbanyak tes usap daripada tes cepat yang tingkat sensitivitas dan spesivitasnya sangat rendah.
Yang ironis, di awal pandemi, pemerintah lebih memilih melakukan tes cepat daripada memperbanyak kemampuan tes usap.
Perkuat komunikasi
Sesungguhnya polemik ”mengcovidkan” semua pasien tidak perlu terjadi jika para pemimpin lebih bersifat arif dan menjalin komunikasi yang efektif secara lintas sektoral.
Kalaupun ada dugaan oknum rumah sakit yang melakukan tindakan tidak terpuji dengan memalsukan diagnosis Covid-19, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dapat melakukan tindakan pencegahan, bahkan penindakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku tanpa berpolemik.
Polemik akan menimbulkan berkurangnya para pejuang terdepan (tim kesehatan) yang selama ini telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk melawan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Akibatnya, keberhasilan penanganan Covid-19 semakin sulit, apalagi selama ini strategi penanggulangan Covid-19 tidak komprehensif, kurang saintis, dan terkesan tambal sulam.
Hal ini dibuktikan oleh banyaknya pejabat tinggi tanpa kompetensi di bidang Covid-19 yang ditunjuk untuk mengurusi Covid-19 dan sering kali membuat keputusan yang blunder. Contoh terakhir yang sangat nyata adalah tetap memaksakan penyelenggaraan pilkada serentak saat pandemi sedang menuju puncaknya, dengan ancaman penularan dan kematian yang sangat mengerikan.
(Badrul Munir, Dosen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; Dokter RS Saiful Anwar, Malang)