Jempol sebagai Mulut
Meski mulut kita mengering dan menganga sepanjang masa atau mulut kita dikebat erat-erat oleh masker (entah sampai bila), bukankah jempol tetap leluasa menjalankan kerja mulut?
Pada 2015, Putu Wijaya memanggungkan lakon monolog berjudul Mulut. Berkisah tentang seorang perempuan desa yang tak punya mulut. Di bawah hidungnya kosong, tak ada bibir. Tak ada yang tahu apakah ia punya gigi dan lidah di balik wajah yang bagai terkunci itu. Dalam situasi tunamulut, ia membuat bingung warga. Sepasang matanya membelalak seperti mata ikan koki, tetapi kerlingannya tajam seperti cakar harimau.
Hidungnya mancung, tetapi tidak kepanjangan seperti Petruk. Wajah dan air mukanya sangat cantik. Tukang siomai bilang, tanpa mulut, ia justru seperti bidadari. Siapa saja yang memandangnya dengan bebas dan rahasia dapat membayangkan dalam angan-angan, jenis mulut yang ia sukai. Pada wajahnya yang begitu luwes, diberikan mulut apa pun cocok. Mulut dower, mulut monyong, atau yang sedikit nyakil pun cocok.
Tukang siomai bilang, tanpa mulut, ia justru seperti bidadari.
Oleh karena tak ada mulut, bibirnya bisa digonta-ganti seenaknya. Mau bibir kowel-kowel model orang utan atau bibir bekicot yang becek, terserah saja. Tetapi, ada juga yang menilai tampangnya jelek, bahkan menakutkan. Semolek apa pun mata dan raut wajahnya, sebening apa pun perasaan yang terpancar dari wajah itu, tanpa mulut, ia adalah makhluk cacat. Hanya setan yang bisa mencampur kecantikan dengan hal-hal yang mengerikan. Artinya, perempuan itu mungkin setan. Hanya setan yang bisa menikmati setan. Maka, timbullah masalah.
Perempuan tanpa mulut itu ditangkap. Pasalnya sepele; ia tidak punya mulut, dan karena itu telah meresahkan. Ia telah membuat warga menganggap yang tak normal sebagai normal. Maklum, masa itu terma new normal belum dikenal. Warga sudah habis-habisan membela, tetapi petugas tetap ngotot dan ingin mengamankan biang keresahan itu. ”Mana mulutmu?” kata petugas dengan tampang sangar. ”Kamu sembunyikan di mana mulutmu?” gertaknya lagi. Lha, bagaimana ia mau menjawab? Mulut saja tidak ada!
Hanya setan yang bisa mencampur kecantikan dengan hal-hal yang mengerikan.
Berbulan-bulan setelah diamankan, perempuan itu kembali dengan penampilan yang sama sekali berbeda. Ia sudah punya mulut. ”Kini aku sudah punya mulut. Aku tidak minder lagi. Aku sama dengan kalian. Mulutku ini sudah terlatih dalam banyak hal. Bisa menyanyi, bisa bahasa Inggris, bahkan juga bisa baca puisi,” demikian kisah Putu Wijaya. Tak pelak lagi, masalah baru pun tiba.
Perempuan itu ngoceh terus meski tak ditanya. Dari pagi hingga malam ia terus ngomong. Mungkin karena kemaruk. Barangkali karena ia terlalu gembira. Matanya sudah terpejam, tetapi mulutnya nyerocos terus seperti ban bocor. Ia berubah cerewet, bawel, dan menyebalkan. Negara yang telah berbaik hati memasangkan mulut indah di bawah hidungnya seperti membesarkan anak harimau.
Negara yang telah berbaik hati memasangkan mulut indah di bawah hidungnya seperti membesarkan anak harimau.
Setelah ia sempurna sebagai manusia, malah sekali lagi menjadi penyebab keresahan alias mengganggu stabilitas. Terlalu banyak bicara adalah tidak beriman di masa Orde Baru. Tak ada jalan lain, perempuan normal yang telah bikin ulah itu sekali lagi harus ”diamankan.” Mulutnya harus kembali rata seperti sediakala. Dipulangkan ke rupa mula-mulanya; perempuan tunamulut. Dibungkam dengan cara mengembalikannya pada khitah; silence is golden.
Di masa kini, ketika gosip, fitnah, dan gunjing merajalela di dunia maya, undang-undang pun tak mempan membendung air bah suara dari jutaan akun yang beranak-pinak setiap hari. Nganga mulut di era digital telah menyamai kelebaran mulut toa, yang dalam sepersekian detik dapat menjadi trending topic dan viral.
Tak ada pembungkaman seperti di masa lalu. Semua orang bebas bicara. Tentang apa saja, dengan siapa saja. Didengar atau tak, pokoknya berbicara. Wabah ”candu-bicara” ini sudah menular ke mana-mana, menjangkiti siapa saja. Saya bicara, saya berkomentar, maka saya ada.
Lalu, tersiar kabar tentang wabah korona. Virus yang tak kasatmata. Bukan ancaman pembungkaman dari penguasa. Bukan pula nasihat para ulama agar berbicaralah yang baik-baik atau diam saja, tetapi ancaman kematian.
Jika masih petantang-petenteng buka mulut di keramaian, congor itu bisa memuncratkan lendir, yang di dalamnya bermukim virus berbahaya bernama korona. Jika tak tertular, Tuan akan dituding sebagai penular. Maka, sumbatlah mulut itu. Pakai masker atau mati! Mulut disumbat bukan karena gamang pada pasal-pasal pembungkaman, melainkan karena ingin selamat dari maut.
Anehnya, semakin disumbat, alih-alih kuasa mulut tumbang, justru ia semakin digdaya. Sedemikian ajaibnya banjir informasi yang melanda kita, selain vaksin guna menyudahi pandemi korona, menurut WHO, kita juga membutuhkan vaksin guna membasmi ”infodemi” alias air bah informasi tentang virus itu sendiri. Kedua vaksin itu belum ditemukan hingga kini.
Anehnya, semakin disumbat, alih-alih kuasa mulut tumbang, justru ia semakin digdaya.
Dalam rentang Maret hingga Agustus 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebagaimana dikutip oleh www.katadata.co.id (5/8/2020), menghimpun tak kurang dari 1.016 isu hoaks dan disinformasi terkait pandemi korona. Sejauh ini, ada 104 kasus hoaks korona yang telah dilaporkan ke polisi. Sebanyak 17 dari total 104 tersangka sudah ditahan. Kementerian juga sudah mengajukan penghapusan (takedown) 1.912 konten hoaks, yang terdiri dari 1.394 konten di Facebook, 20 konten di Instagram, 478 di Twitter, dan 20 di Youtube.
Studi terkini yang dilakukan oleh tim peneliti penyakit menular internasional, dengan menjelajahi situs berita dan berbagai platform media sosial terkait disinformasi tentang Covid-19, telah mengidentifikasi lebih dari 2.300 laporan rumor, stigma, dan teori konspirasi yang dikomunikasikan dalam 25 bahasa dari 87 negara berbeda.
Sebagaimana dikutip oleh www.mistar.id (18/8/20), dalam beberapa kasus, kesimpangsiuran informasi telah menyebabkan kematian dalam skala yang benar-benar tragis. Sebagai misal, mitos populer bahwa konsumsi alkohol dengan konsentrasi tinggi dapat mendisinfeksi tubuh dan membunuh virus. Lantaran disinformasi semacam itu, sekitar 800 orang meninggal, sementara 5.876 dirawat di rumah sakit. Tak kurang dari 60 orang mengalami kebutaan total setelah meminum metanol sebagai obat virus korona.
Insiden yang terjadi di Iran itu dapat dicatat sebagai contoh terburuk dari kematian dan penderitaan akibat infodemi. Di Turki, dilaporkan 30 orang meninggal, sementara di Qatar 2 pria tewas setelah menelan disinfektan pembersih lantai atau pembersih tangan berkandungan alkohol. Di India, belasan orang jatuh sakit setelah minum alkohol yang terbuat dari biji datura beracun setelah menonton video di media sosial yang mengklaim hal itu akan meningkatkan kekebalan tubuh atas Covid-19. Lima dari korban itu adalah anak-anak.
Tak kurang dari 60 orang telah mengalami kebutaan total setelah meminum metanol sebagai obat virus korona.
Tentang bahaya mulut, yang di masa Orde Baru digambarkan oleh Putu Wijaya dalam lakon monolog di atas, ada sebuah kearifan yang dulu kerap menjadi sandaran etik perihal bagaimana seyogianya kita mengendalikan mulut untuk tidak boros bicara.
Dikisahkan tentang seseorang yang sedang tidak berdaya melawan kantuk, selepas pergunjingan yang panjang. Tiga ronde ia menguap hebat. Diameter rongga mulut pada uapan pertama masih dalam batas normal. Begitu juga uapan yang kedua. Hanya sedikit lebih luas dari nganga mula-mula. Tetapi, uapan penghabisan, lantaran kantuk yang makin ajaib, diameternya hampir menyamai ukuran putik kelapa.
Jarak antara bibir atas dengan ujung hidungnya amat dekat. Sementara bibir bawah nyaris bertaut dengan daging dagunya. Dalam sepersekian detik, terdengar bunyi krak dari rahang yang terbuka. Ditimpali suara ngok, ngok, ngok dari pangkal kerongkongannya. Seperti ada katup yang terkunci secara otomatis. Mulut yang menganga dalam ukuran di atas rata-rata tidak bisa dikuncupkan kembali. Senantiasa menganga seperti mulut bangkai musang yang sudah diawetkan.
Seperti ada katup yang terkunci secara otomatis.
Beruntunglah kepanikan itu segera dibereskan oleh seorang tukang pijat yang tampak mulai uzur. Digenggamnya lingkar dagu dari mulut yang mulai mengering itu, lalu dalam satu kali hentakan napas, ia pelintir dagu itu seperti kerja beruk memetik buah kelapa dari tandannya. Kraaaaaaaaak. Mulut itu kembali elastis. Mangap dan mingkem seperti sediakala.
Kelak, bertahun-tahun kemudian, peristiwa langka itu menjadi teladan perihal hukuman ringan bagi mulut yang surplus bicara. Cangkem yang bagai tak letih-letih bergunjing. Diamlah atau mulut itu bakal menganga sepanjang masa, seperti nganga mulut goa, seperti nganga mulut toa.
Kini, dongeng lapuk itu rasanya tidak lagi bakal ampuh. Mulut memang telah disumbat masker selama lima bulan terakhir agar kita tidak membersitkan droplet secara serampangan, tetapi bukankah di era media sosial tugas dan fungsi mulut dengan mudah dapat digantikan oleh jempol?
Meski mulut kita mengering dan menganga sepanjang masa atau mulut kita dikebat erat-erat oleh masker (entah sampai bila), bukankah jempol tetap leluasa menjalankan kerja mulut? Atau jangan-jangan, karena sudah bosan meringkuk di rumah melulu, karena sudah jenuh membaca statistika kasus positif Covid-19 dalam kurva yang tak kunjung landai, semua organ tubuh kita telah beralih rupa menjadi mulut....
(Damhuri Muhammad, Sastrawan, Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta)