Kehutanan Pasca-UU Cipta Kerja
Dengan memahami karya ekologi klasik Maser itu, pemerintah pusat seperti ditantang untuk memahami masalah-masalah kehutanan di lapangan yang perlu diselesaikan sambil meletakkan standar nilai bagi keseimbangan alam.
”Apa yang kami lakukan untuk hutan dunia hanyalah cermin refleksi dari apa yang kami lakukan untuk diri kami sendiri dan terhadap hubungan kita satu sama lain.” Demikian Chris Maser, dalam ”Forest Primeval: The Natural History of an Ancient Forest”.
Dalam karya ekologi klasiknya itu, Maser telah menelusuri pertumbuhan hutan purba di Pegunungan Cascade Oregon yang diperkirakan ada sejak 987. Maser menawarkan kisah yang tepat dan menggugah tentang kehidupan dan peristiwa di dalam hutan yang terus berkembang.
Seiring siklus kehidupan hutan berlangsung, pengamatan ilmiah Maser mengungkap latar belakang sejarah, kronologi perjuangan, ataupun penderitaan manusia yang sejajar dengan kehidupan satu pohon cemara Douglas berumur lebih seribu tahun.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Ancam Kelestarian Hutan
Maser menunjukkan bagaimana hutan merepresentasikan akar spiritual dan sejarah kita sebagai manusia, dengan alasan bahwa kelangsungan hidup kita terkait erat dengan hutan, seperti siklus hidup yang saling terkait dengan penciptanya
Bagaimana hutan diperlakukan di Indonesia di masa mendatang? Jawaban itu mungkin dapat diungkap antara lain dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang (UU), 5 Oktober lalu. Dalam UU itu terdapat 19 pasal dari UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengalami perubahan dan terdapat tambahan tiga pasal baru.
Bagaimana hutan diperlakukan di Indonesia di masa mendatang?
Beberapa hal yang berubah dan mungkin dapat meningkatkan risiko masa depan kehutanan, yaitu luasnya diskresi pemerintah pusat untuk menjabarkan isi UU, umumnya berupa peraturan pemerintah (PP), akibat ketiadaan norma, batasan isi atau lingkup penjabaran dimaksud. Hal itu karena pelaksanaan di lapangan lebih ditentukan wujud isi penjabaran itu daripada isi UU.
Enam hal penting
Setidaknya ada enam hal penting bagaimana penjabaran itu sebaiknya dilakukan. Pertama, pemerintah pusat memprioritaskan pengukuhan kawasan hutan pada daerah strategis (Pasal 15), tetapi tak ada penjelasan mengenai daerah strategis yang dimaksud, serta hilangnya ketentuan mengenai hubungan antara pengukuhan kawasan hutan dan penataan ruang.
Terkait kawasan hutan ini juga terdapat cara penyelesaian tumpang tindih pada Pasal 110A sebagai tambahan pada UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Namun implementasinya tampak hanya sesuai bagi usaha besar karena usaha kecil, seperti sawit rakyat yang berada dalam kawasan hutan, umumnya tak berizin, padahal adanya izin menjadi syarat penyelesaian tersebut.
Kedua, lebarnya diskresi untuk menentukan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, ataupun manfaat ekonomi masyarakat setempat (Pasal 18). Secara fisik kecukupan luas kawasan hutan dapat ditentukan, persoalan dalam pasal ini adalah harus mempertimbangkan adanya wilayah yang terdapat proyek strategis nasional. Ini berpotensi memunculkan konflik nilai ataupun kepentingan.
Ketiga, diskresi untuk menentukan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu (Pasal 19). Sejauh ini perubahan status dan fungsi kawasan hutan antara lain ditentukan oleh luas kawasan hutan di suatu wilayah untuk dipertahankan minimal 30 persen dari luas daratan, namun batasan itu kini dihapus.
Ini berpotensi memunculkan konflik nilai ataupun kepentingan.
Dengan ketentuan yang lebih longgar dan perlu mempertimbangkan proyek strategis nasional (Pasal 18) di satu sisi, serta semakin tingginya kebutuhan perlindungan lingkungan hidup saat ini dan di masa depan, kriteria perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan itu sebaiknya ditentukan dengan sangat hati-hati. Pertimbangan lingkungan hidup jangka panjang dan keadilan alokasi manfaat hutan selayaknya lebih tinggi daripada pertimbangan kebutuhan ekonomi jangka pendek.
Baca juga: Sawit di Kawasan Hutan Diselesaikan melalui ”Omnibus Law”
Keempat, diskresi dalam pemanfaatan hutan lindung (Pasal 26) dan pemanfaatan hutan produksi (Pasal 28) kepada perseorangan, koperasi, BUMN, BUMD dan badan usaha milik swasta. Dalam area hutan lindung dan hutan produksi tersebut juga dapat diberikan kegiatan perhutanan sosial (Pasal 29A), yang dapat diberikan kepada perseorangan, kelompok tani hutan, dan koperasi.
Pertimbangan penting dalam hal ini adalah perhutanan sosial adalah suatu kegiatan dan bukan perizinan berusaha sehingga sebaiknya dapat memperoleh legalitas secara khusus dan cepat. Selain itu, juga perlu memperhatikan keberadaan masyarakat hukum adat dengan ruang hidupnya yang juga menempati area yang sama. Pemerintah seyogianya meletakkan prinsip keadilan dan kemandirian masyarakat adat dan lokal sebagai subyek utama, sehingga PP yang disusun perlu mengandung secara kuat kebijakan afirmatif untuk mewujudkan.
Kelima, PP juga diperlukan untuk mengatur asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian dengan cara membatasi perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan melalui pertimbangan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha (Pasal 31). Ini dilakukan melalui pembatasan luas dan jumlah izin usaha, dan penataan lokasi usaha oleh setiap badan usaha. Substansi Pasal 31 sangat terkait dengan area izin korporasi dan perhutanan sosial. Tanpa menjalankan Pasal 31, seperti terjadi selama ini, alokasi kawasan hutan sebagai kekayaan negara kian sulit dilaksanakan secara adil.
Keenam, dalam ketentuan mengenai penerimaan negara bukan pajak diatur antara lain penggunaan dana reboisasi yang hanya dipergunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Pasal 35). Pengalaman dari lapangan menunjukkan para pelaksana umumnya tak mungkin dapat langsung melakukan kegiatan rehabilitasi, karena perlu komunikasi dengan masyarakat, pemetaan sosial, membentuk kelompok, meyakinkan manfaat dari hasilnya, bahkan sering kali harus menyelesaikan konflik lahan terlebih dahulu.
Tanpa menjalankan Pasal 31, seperti terjadi selama ini, alokasi kawasan hutan sebagai kekayaan negara kian sulit dilaksanakan secara adil.
Untuk itu, batasan penggunaan yang sangat ideal dalam UU berpotensi mengulangi kegagalan rehabilitasi yang selama ini terjadi. Maka, PP yang akan dibuat sebaiknya dapat membuka adanya peluang sumber pendanaan lain atau memperluas pengertian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Memangkas peran pemda
Selain enam hal itu, UU Cipta Kerja secara keseluruhan, juga memotong peran pemda. Di bidang kehutanan, pemda hanya menentukan norma, standar, prosedur dan kriteria bersama pemerintah pusat dan menjalankannya terbatas pada pelaksanaan perlindungan hutan. Untuk sektor berbasis kawasan atau teritorial seperti kehutanan, pengalaman menunjukkan bahwa kolaborasi dan integrasi kewenangan pusat dan daerah menjadi cara memperkuat institusi kehutanan. Masalah ini seyogianya juga bisa dipertimbangkan sungguh- sungguh dalam penetapan PP.
Baca juga: Hutan Tak Terlindungi, Kesenjangan Ekonomi Melebar
Memperhatikan hal-hal itu, pemerintah pusat akan memegang peran penting, bukan hanya harus menyelesaikan berbagai peraturan turunannya, melainkan juga menentukan isi pelaksanaannya karena norma dan lingkup penjabaran di dalam UU yang terbatas.
Dengan memahami karya ekologi klasik Maser itu, pemerintah pusat seperti ditantang untuk memahami masalah-masalah kehutanan di lapangan yang perlu diselesaikan sambil meletakkan standar nilai bagi keseimbangan alam di masa depan. Dalam hal ini Jules Verne dalam karyanya Twenty Thousand Leagues Under the Seas menyediakan titik pijak: ”We may brave human laws, but we cannot resist natural ones”.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University.