Drupadi Terkapar di Jalanan Kota
Samirah mengenang saat-saat ia ditahbiskan sebagai tandak, seperti penobatan seorang dewi yang rupawan dengan kemampuan menari tak tertandingi. Namun, hidupnya kemudian terkatung-katung, menggelandang di Kota Surabaya.
Kalau masih hidup, Samirah kini berusia 70 tahun. Aku bertemu dengannya di sebuah kamar kos-kosan yang sempit, letaknya menyempil di sebuah gang di kawasan Terminal Kijang Karangpilang, Surabaya.
Pertemuan itu sudah berlangsung tahun 2002 ketika Samirah berusia 52 tahun. Walau gurat-gurat kepenariannya masih tampak, tubuhnya ringkih, pipi dan matanya cekung akibat beban hidup yang berat.
Kata Cak Abdul Latif, wartawan senior temanku, setelah pertemuan itu Samirah beberapa kali berpindah kamar kos-kosan. Selalu begitu sejak ia merantau dari kampung asalnya, Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kau mungkin ingat sebuah kisah horor di desa penari, yang viral di media sosial itu kan?
Banyak yang menduga, desa itu tak lain Dusun Ngrajek, yang selama ini menjadi gudang para penari tandak di kawasan timur. Tandak adalah sebutan lain untuk seorang penari kesenian tayub. Di beberapa daerah lain disebut ledek, lengger, atau ronggeng. Belakangan sebutan tandak diperhalus menjadi waranggana, sedangkan untuk penari lelaki disebut dengan pengibing.
Samirah belajar menjadi tandak sejak usia dini. Orangtuanya, Rakimin dan Samiyem, memberinya pilihan,”Pilih sekolah atau menari? Entah kenapa saya pilih menari,” kata Samirah mengenang tahun-tahun 1960-an di kampungnya.
Sejak itu ia kemudian berguru kepada guru tandak bernama Sudarto, yang juga mengajar 11 murid lainnya. Ketika dirasa cukup matang secara teknis, semua murid harus menjalani laku ritual di sebuah pundhen bernama Pesarean Mbah Budo dan Sumur Bumbung. ”Saya harus mengitari sumur sebanyak tiga kali,” kata Samirah.
Samirah mengenang saat-saat ia ditahbiskan sebagai tandak, seperti penobatan seorang dewi yang rupawan dengan kemampuan menari tak tertandingi. Ia merasa dirinya seperti Dewi Drupadi, yang berkelebat-kelebat di antara para ksatria yang ingin meminangnya.
”Dari seluruh murid Mbah Darto, saya yang dipilih ditahbiskan menjadi tandak,” kata Samirah.
Kata-kata itu meluncur dari Samirah dengan penuh rasa bangga. Lagi-lagi ia ingat Drupadi, siapa pun nanti yang mampu memanah tepat sasaran, dialah yang akan ”memilikinya”.
Sayang sekali, nasib membawanya ke jalanan. Setelah menikah dengan Kusno selama 20 tahun, ia diceraikan karena tak kunjung memiliki keturunan. Sejak itu hidupnya terkatung-katung, menggelandang di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga: Jalan Lain Merawat Kesedihan
Sebagai orang kampung, ia tak punya keterampilan memadai untuk bersaing hidup di kota. Selain hanya bisa bertani, semasa remaja hari-harinya di kampung dihabiskan untuk menjadi tandak.
Karena hanya bisa menari, ia berharap dengan tarilah hidupnya bisa diteruskan di kota. Sejak tinggal di Surabaya, Samirah bertemu dengan Suparlan seorang panjak (penabuh musik), lalu keduanya sepakat bekerja sama.
Samirah dan Suparlan menggelandang di sudut-sudut kota menjadi pengamen. Tarian yang tadinya begitu dikagumi oleh banyak penonton kini berubah perangai, seolah merengek-rengek meminta sedekah. ”Diberi 500 pun tak apa asal bisa menyambung hidup,” kata Samirah.
Lantaran pendapatan yang tak menentu, walau harus bekerja sejak pagi hingga jauh tengah malam, Samirah hanya mampu membayar sewa kamar kos-kosan Rp 35.000 setiap bulan. Waktu aku berkunjung, di emperan kamar kosnya terdapat sepeda ontel bobrok yang roda-rodanya sudah kempis. Tampak sudah lama tak terpakai. Di sudut kamar tergeletak periuk yang berlepotan bekas nasi serta sebuah piring seng usang yang belum tercuci.
Sebegitu nistakah nasib kesenian sehingga terdampar menjadi gelandangan? Di kota Surabaya yang kejam, Samirah benar-benar hidup dari kebaikan hati orang. Menjadi pengamen tak pernah terlintas dalam benaknya. Kepiawaiannya menjadi tandak tiba-tiba harus bertekuk-lutut di kaki peradaban. Keindahan yang coba ia pertahankan sebagai sebuah anugerah yang diwariskan oleh leluhurnya di Dusun Ngrajek terkapar di jalanan kota.
Jika diukur dengan uang, hasil mengamennya setiap hari berkisar Rp 10.000-Rp 12.000. Artinya, Samirah hanya bisa menghasilkan kurang dari Rp 400.000 dalam sebulan! Cukupkah untuk melanjutkan sebuah kehidupan yang layak? Bukan cuma soal jumlah itu yang tak seberapa, tetapi pernahkah kau berpikir tentang nilai-nilai keindahan yang terdapat pada sebuah tarian?
Baca juga: Anak-anak Pelipur Umur
Selain kaya dengan unsur-unsur artistik, sebuah tarian juga mengandung jejak-jejak nilai tentang sebuah peradaban yang diwariskan oleh para leluhur. Ia bahkan menjadi penanda kehadiran sebuah zaman dalam gugusan waktu yang terus bergerak.
Menurut sejarah, seni tayub sudah muncul pada masa Kerajaan Singasari (1222 M), di mana raja mewajibkan permaisuri bisa menarikan tayub dan kemudian raja menjadi pengibingnya. Seni tayub bahkan konon ditarikan untuk menyambut tamu-tamu kerajaan sebagai tanda penghormatan.
Dalam bahasa Jawa, tayub berasal dari kata ”tata” dan ”guyub”, artinya penataan pada hidup agar mendatangkan persatuan dan persaudaraan. Oleh sebab itulah, seni tayub selalu terdiri dari penari perempuan yang disebut ”tandak” atau ”waranggana” dan penari lelaki disebut ”pengibing”.
Dalam fungsi ritual, bahkan kau akan menemukan makna yang lebih dalam dari tayub. Tarian berpasangan ini biasanya dipentaskan saat-saat menjelang nandur pari (menanam padi). Beberapa buku tua menyebut tayub berhubungan dengan ritual membelah tanah sebagai tanda kesuburan, yang menjadi cikal-bakal kemakmuran peradaban. Tandak menjadi simbol Ibu Pertiwi (tanah) dan pengibing adalah Bapak Angkasa ketika bertemu keduanya melahirkan hujan sebagai perlambang kesuburan.
Oleh sebab itulah, dalam tradisi agraris, tayub menjadi penanda ritual menanam padi. Belakangan fungsi ritual ini bergeser menjadi fungsi yang lebih sosial, di mana relasi antarlelaki dan perempuan menjadi penanda kekompakan, keharmonian di dalam menjalankan laku persatuan serta persaudaraan.
Pernahkah kau berpikir bahwa sebagai perempuan, Drupadi juga menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana dalam seni tayub. Ia adalah tandak yang jatuh sebagai pertaruhan ”harga diri” para lelaki.
Baca juga: Metamorfosis Drestarata
Sejak muda belia di Kerajaan Panchala, ia telah dipertaruhkan oleh Raja Panchala Drupada, yang tak lain adalah ayahandanya, dengan dalih menemukan jodohnya yang paling tepat. Siapa pun ksatria yang bisa membidik sasaran secara tepat, dia berhak atas tubuh Drupadi.
Keributan pertama terjadi ketika sekelompok brahmana ingin turut serta dalam sayembara, padahal ajang itu dikhususkan buat para ksatria. Keributan itu berhasil diatasi, tetapi keributan lain menyusul ketika Karna menjadi yang pertama memanah tepat sasaran.
Drupadi menolak Karna karena ia hanyalah anak seorang kusir, bukan ksatria murni. Anehnya, sayembara itu dimenangkan seorang brahmana miskin yang tak lain adalah Arjuna, yang sedang dalam penyamaran. Ia adalah putra ketiga dari keluarga Pandawa. Lagi-lagi tak bisa dihindari keributan pun muncul….
Setelah pulang ke Indraprasta, tanpa mempertimbangkan apa-apa, Kunti ”bersabda” kepada kelima anaknya agar hasil perjalanan mencari sedekah dibagi sama rata. Drupadi terenyak, tetapi ia tak berdaya karena ”sabda” yang sudah diucapkan pantang ditarik.
Kau pasti tahu, dalam epos Mahabaratha itu, Drupadi akhirnya diperistri oleh kelima Pandawa. Deraan tak berhenti di situ. Ketika raja Indrapasta, Yudistira, ditantang bermain judi oleh sepupunya, Duryadana, Drupadi dipertaruhkan. Sebagai perempuan, ia tak bisa menolak, bahkan tak diberi hak bersuara. Ketika Dursasana menyeretnya menuju arena judi dan kemudian dipermalukan di hadapan para pembesar Hastina, tak ada satu pun yang berusaha menolongnya.
Tak berhenti sampai di situ, sebagai istri para Pandawa, ia pun harus mengikuti masa-masa tersulit dalam hidupnya karena dibuang ke tengah hutan selama 12 tahun. Sebegitu nistakah nasib seorang dewi sehingga ia harus menjalani laku penderitaan demi penderitaan. Bahkan, ketika mengiringi para suaminya dalam perjalanan melakukan wanaprasta (memasuki masa bertapa), ia menjadi yang pertama meninggal dunia.
Baca juga: Pelajaran Menulis!
Seni itu seorang dewi. Ia disimbolkan dengan Saraswati, seorang dewi rupawan yang memiliki tangan empat dan berdiri anggun di atas bunga teratai yang sedang mekar. Keempat tangannya memegang lontar (buku), genitri (tasbih), Wina (kecapi), dan damaru (gendang). Keempat artefak ini tak lain merupakan perlambang keindahan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan, yang akan mengantarkan manusia meraih kebijaksanaan dalam hidup.
Drupadi adalah seorang dewi yang tak hanya cantik, tetapi juga menjadi titik keseimbangan para Pandawa. Ia rela menjadi yang pertama mengembuskan nyawa saat menemani kelima putra Pandu itu melakukan perjalanan suci menuju Nirwana.
Samirah adalah seorang penari tandak. Setelah mengabdikan diri sepenuh hati kepada dewi seni, hidupnya bergelimang penderitaan. Tak hanya berlarat-larat menjalani hari-hari di sebuah kamar kos yang sempit, ia bahkan menggunakan tubuh keseniannya untuk menyabung nyawa di jalanan.
Sekarang kau mungkin bertanya, mengapa seni dekat dengan penderitaan? Ketika akan membuat seruling, Sri Kresna bertanya kepada sebatang bambu.
”Aku perlu hidupmu. Apakah engkau bersedia?”
”Hidupku yang seperti apakah?” tanya bambu.
”Aku akan memotongmu.”
”Tidak ada cara lainnya?”
”Tidak ada.”
”Jika itu kehendakmu…,” kata bambu berserah.
Meski saat Kresna memotong dan kemudian membuat lubang-lubang di sekujur tubuhnya bambu menangis tersedu, ia pasrahkan dirinya menjalani laku penderitaan. Tak lama kemudian bambu itu mengeluarkan suara yang merdu. Setiap orang yang mendengarnya terharu, bersimpati, dan mencurahkan rasa cintanya.
Suatu hari seorang pengikut Kresna bertanya kepada bambu.
”Apa rahasiamu sehingga Kresna begitu menyangimu?”
”Aku cuma mengosongkan tubuhku, Tuhan bisa melakukan apa pun di dalamnya,” jawab bambu.
Sejak itu para pengikut Kresna mengerti, mereka harus mengosongkan diri dari sifat-sifat keduniawian untuk membiarkan Tuhan bekerja di dalam dirinya. Pengosongan diri itulah, agar kau tahu, adalah jalan penderitaan sebagaimana dilakoni oleh sebatang bambu.
Sebelum benar-benar masuk Nirwana, Drupadi menjalani laku penghinaan dan penderitaan tak terperi, sebagaimana pula telah dijalani oleh Samirah. Semoga laku penderitaan itu mengantarkannya menuju kehidupan rohani yang lebih tinggi, dan Tuhan akan menjemputnya sebagai sukma bidadari keindahan.