Agar relevan dengan perkembangan zaman, semua pemimpin agama dituntut terus memberikan perspektif baru, bahkan menafsir ulang teks-teks suci. Perspektif baru ini diharapkan bisa mengakomodasi perkembangan hak-hak sipil.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pernyataan Presiden Macron soal terorisme menuai kritik dari pemimpin negara Islam. Perlu dicari koridor bersama agar bisa saling memahami dan menenggang rasa.
Presiden Joko Widodo mengecam pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron bahwa insiden pembunuhan yang menewaskan empat orang di Perancis adalah serangan tipikal teroris Islam. Menurut Jokowi, pernyataan Macron itu telah melukai perasaan umat Islam di dunia dan bisa memecah belah persatuan antarumat beragama di dunia (Kompas.id, 1/10/2020).
”Terorisme adalah terorisme. Teroris adalah teroris. Terorisme tidak ada hubungannya dengan agama apa pun. Terakhir, Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi beragama untuk membangun dunia yang lebih baik,” kata Presiden seusai menggelar pertemuan dengan pemimpin agama di Istana Merdeka, Sabtu (31/10/2020).
Insiden di Perancis ini berawal ketika Samuel Paty menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada muridnya selama pelajaran kebebasan berpendapat. Paty pun dibunuh di Paris. Lalu, pada 29 Oktober 2020, tiga warga Perancis ditikam di Gereja Basilika Notre Dame di Nice. ”Indonesia mengecam keras terjadinya kekerasan di Paris dan Nice yang telah memakan korban jiwa,” ujar Presiden Jokowi.
Pesan Presiden Jokowi dan kritik pemimpin negara Islam lain terhadap pernyataan Macron sangat jelas. Begitu juga pertanyaan Presiden Macron dengan dalih kebebasan berekspresi.
Namun, tidak berarti keduanya terpisah sehingga tidak bisa dicari titik temu. Di sinilah kita melihat pentingnya pertemuan Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada 2019. Mereka menandatangani dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme serta terorisme.
Pertemuan seperti itu mesti ditindaklanjuti dengan pertemuan yang melibatkan para pemimpin agama di tiap negara. Mengingat pertemuan semacam ini dapat meluaskan pandangan, pemahaman, serta perspektif baru beragama hingga muncul rasa saling memahami dan menghargai.
Agar bisa relevan menghadapi perkembangan zaman, semua pemimpin agama dituntut terus memberikan perspektif baru atau bahkan menafsirkan ulang teks-teks suci. Perspektif baru tersebut diharapkan bisa mengakomodasi dan menyesuaikan dengan perkembangan hak-hak sipil, termasuk kebebasan berpendapat.
Kesamaan pandangan, baik dari segi perspektif baru beragama maupun hak-hak sipil warga, ini penting untuk menemukan koridor atau batasan bersama yang dapat diterima warga dan pemimpin di tiap negara. Model separasi seperti di Barat atau negara agama, seperti Iran, ternyata masih sering menimbulkan gejolak. Perlu diskusi bersama menyangkut hubungan agama dengan negara yang bisa diterima semua sistem kenegaraan modern untuk menghilangkan rasa saling curiga.