Saat ini media menghadapi ujian besar. Media yang mampu bertahan dan berinovasi saat perubahan digital serta melewati masa pandemi akan menyambut "musim semi". Pada saat itu media harus kembali ke fungsi dasarnya.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
·4 menit baca
Disrupsi digital dan situasi pandemi Covid-19 membuat kondisi sebagian industri media kesulitan. Sebagian mereka memilih tutup atau menciutkan operasi perusahaannya. Jika tatanan demokrasi menilai pers sebagai salah satu pilar demokrasi, dapat dikatakan bahwa pers adalah bagian yang tidak boleh tidak ada dalam suatu kehidupan manusia agar dunia politik dan ekonomi tertata dan menghasilkan check and balances.
Anthony J Pennings (2011) menyebutkan, konten media adalah public goods karena produk yang dihasilkan oleh konten media tak habis ketika dikonsumsi, dan lebih dari itu konten menghasilkan dampak-dampak tertentu pada kehidupan manusia, seperti pencerahan, pendidikan, dan demokrasi.
Julia Cage dalam bukunya, Saving the Media: Capitalism, Crowdfunding and Democracy (2016), menawarkan gagasan untuk mendukung ide media sebagai public goods. Menurut dia, model bisnis media perlu berubah dengan memadukan antara kepentingan bisnis dan kepentingan sebagai organisasi nonprofit.
Menurut dia, model bisnis media perlu berubah dengan memadukan antara kepentingan bisnis dan kepentingan sebagai organisasi nonprofit.
Cage yang merupakan guru besar ekonomi di Paris Institute of Political Studies mengatakan, masalah sebenarnya dari media hari ini bukanlah terletak pada medium (apakah itu cetak ataukah itu media online), melainkan pada kontennya.
Model bisnis yang ditawarkan Cage memperlakukan media bukan sebagai entitas bisnis, melainkan sebagai public goods, dan untuk itu media berhak menerima subsidi ataupun sokongan dari pihak lain (News as Public Goods, Nieman Reports Spring 2016). Cage juga mengingatkan para kapitalis yang masuk ke dalam media untuk tidak terlalu berharap mendapatkan keuntungan dari pasar modal.
Ia juga menekankan perlunya dibentuk yayasan untuk mendukung media itu. Hal lain yang juga diusulkan Cage adalah adanya pembagian kekuasaan yang lebih luas di media. Jadi, media tak lagi dimonopoli kekuasaannya oleh satu kepentingan tertentu saja, tetapi berbagi dengan kelompok lain yang tidak memiliki kepentingan bisnis atas industri media.
Ide ini terdengar utopis, tetapi dalam kenyataannya ini bisa dilakukan. Cage menyebut dua contoh yang sukses. Contoh pertama adalah sebuah grup konglomerat media bernama Bertelsmann di Jerman yang juga menjadi konglomerat besar di daratan Eropa dan juga di dunia. Pemegang saham terbesar di Bertelsmann adalah Bertelsmann Foundation, yang memiliki 110.000 karyawan.
Contoh kedua, koran The Guardian di Inggris yang dimiliki Guardian Media Group dan dikontrol oleh Scott Foundation sejak tahun 1936. Scott Foundation ini bertugas untuk menjaga independensi koran The Guardian.
Kuncinya inovasi
Sebenarnya dalam situasi gonjang-ganjing dunia media saat ini, salah satu elemen yang tak boleh dilupakan adalah bagaimana peran dari penelitian dan pengembangan untuk melihat peluang-peluang yang ada. Situasi yang penuh ketidakpastian—apalagi karena dampak Covid-19—memunculkan tantangan untuk menghasilkan inovasi baru. Mungkin juga termasuk dengan memurnikan motivasi di balik pendirian industri media, yaitu penekanan pada fungsi informasi, bukan pada fungsi-fungsi lainnya.
Situasi yang penuh ketidakpastian-apalagi karena dampak Covid-19-memunculkan tantangan untuk menghasilkan inovasi baru.
Dalam bahasa sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (2005), inilah journalistic field (ranah jurnalistik), di mana permainan sedang dijalankan dan para peserta dalam permainan harus mahir memanfaatkan kapital yang mereka miliki (kapital ekonomi, kapital sosial, kapital budaya, hingga kapital simbolis) untuk bisa memenangi permainan atas lawan-lawan yang ada dengan strategi penempatan kapital yang tepat.
Dalam situasi sekarang, mungkin saja dibutuhkan suatu habitus baru untuk menghadapi situasi yang berubah, dan orang diajak untuk keluar dari zona nyaman yang ada, serta bahu-membahu mencari jalan keluar bersama.
Memang, situasi yang kita hadapi di dunia pers seolah situasi zero sum game, atau survival of the fittest (siapa yang kuat, dia yang bertahan).
Namun, sesungguhnya mereka yang peduli dengan pers sebagai alat informasi (bukan alat politik meraih kekuasaan, bukan alat ekonomi untuk akumulasi kapital semata) akan diuji untuk bisa keluar dari ujian besar saat ini: bertahan dan berinovasi saat perubahan digital terjadi, dan bertahan dari dampak pandemi.
Mereka yang bisa bertahan dalam situasi ini akan menjadi situasi pada masa akhir musim gugur, yaitu musim semi, di mana tunas-tunas baru muncul dan akan menghasilkan bunga-bunga yang baru serta mewarnai dan memberi keharuman baru bagi lingkungan di sekitarnya.
Bukan mustahil di ujung musim gugur ini kita akan melihat kondisi yang lebih baik bagi media kita nantinya karena media harus kembali ke fungsi dasarnya, dan menyingkirkan kepentingan-kepentingan yang selama ini menyelubungi media serta menafikan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utamanya.
Ignatius Haryanto, Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara