Menanti Gebrakan ”Bidenomics”
Terpilihnya Biden sebagai presiden ke-46 AS tak akan banyak memengaruhi konstelasi global. Melemahnya pengaruh AS dalam kancah global harus dilihat dalam konteks perubahan situasi yang perlu respons berbeda tiap negara.
Perjalanan Joe Biden menuju kursi presiden Amerika Serikat sama sekali tidak mudah. Perhitungan suara pemilihan presiden AS kali ini bisa jadi paling menegangkan karena begitu tipisnya perbedaan suara. Terlebih lagi, kemenangannya tak menjamin sirnanya pembelahan politik antara kelompok Republik dan Demokrat, baik di parlemen maupun masyarakat luas.
Kekalahan Donald Trump tak serta-merta membuatnya melenggang dari Gedung Putih begitu saja. Sejatinya, Biden tak sekadar berkompetisi melawan petahana Trump di ajang pilpres. Lebih jauh lagi, dia bertarung dengan sebuah pandangan politik yang sejak 2016 telah mendapat dukungan luas. Kalaupun Trump pergi dari Gedung Putih, tak begitu dengan Trumpisme. Dia akan bercokol di arena politik AS dan sangat mungkin kembali pada Pemilu 2024.
Baca juga: Kemenangan Biden-Harris Sangat Krusial dan Perlu bagi Dunia
Terpilihnya Trump pada Pilpres 2016 mengejutkan banyak pihak. Pemilih AS waktu itu tengah jenuh dengan semangat globalisasi, pasar bebas, demokrasi, serta orientasi AS menjadi pemimpin dunia. Trump menawarkan alternatif pandangan nasionalistis, proteksionis, antiglobalisasi yang disertai kroniisme dan rasialisme. Kejenuhan serupa juga dialami pemilih di banyak negara.
Kekalahan Donald Trump tak serta merta membuatnya melenggang dari Gedung Putih begitu saja.
Publik terenyak dengan hasil referendum rakyat Inggris yang ingin keluar dari Uni Eropa (Brexit), yang diikuti kemenangan Boris Johnson sebagai perdana menteri. Akhir tahun lalu, kantor berita BBC melaporkan meningkatnya minat pemilih pada partai berhaluan nasionalis. Di Hongaria, Austria, dan Swiss, partai nasionalis memiliki suara lebih dari 25 persen di parlemen. Sementara di Denmark, Swedia, Finlandia, Estonia, Belgia, dan Italia, meraup lebih dari 17 persen.
Apa yang terjadi dalam peta politik di AS menjadi semacam fenomena global. Karena itu, kemenangan Biden sama sekali tak menjamin surutnya Trumpisme, baik di peta politik AS maupun global. Inilah tantangan nyata globalisasi ke depan.
”Bidenomics”
Biden mewarisi persoalan ekonomi amat kompleks. Pekerjaan rumah pertama adalah melanjutkan program pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Trump telah mengusulkan paket stimulus ekonomi senilai kurang lebih 3 triliun dollar AS yang masih dalam proses persetujuan Kongres. Program ini akan digunakan membantu usaha kecil, membayar klaim asuransi pengangguran, mendukung keuangan pemerintah lokal, hingga menyediakan vaksin.
Baca juga: Kiat Biden-Harris, Nurani dan Fokus
Melihat hasil pilpres ini, dikhawatirkan Senat yang masih dikuasai Partai Republik tak akan menyetujui proposal tersebut dan menempatkan Biden dalam posisi sulit. Kejadian deadlock seperti kebijakan Obamacare sangat mungkin terjadi kembali. Akibatnya, perekonomian AS akan lumpuh karena selama ini sangat mengandalkan paket stimulus.
Ada dua persoalan pokok yang dihadapi perekonomian AS di tengah transisi kepemimpinan ini. Pertama, kebijakan moneter sudah mencapai puncak, tak bisa dimainkan lagi. Mei lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengingatkan, bank sentral tak lagi bisa membantu pemulihan ekonomi dengan menambah likuiditas karena suku bunga sudah mendekati nol dan pembelian surat utang pemerintah sudah terlalu membebani neraca bank sentral.
Baca juga: A Prasetyantoko: Resesi dan Kerentanan Ekonomi
Sampai Maret, The Fed masih melakukan pembelian surat utang yang diterbitkan Kementerian Keuangan 350 miliar dollar AS per minggu. Namun, mulai Mei sudah dikurangi menjadi sekitar 50 miliar dollar AS saja. Padahal, pemerintah masih perlu tambahan penerbitan utang sekitar 3 triliun dollar AS dan pasar tak akan mampu menyerap.
Kejadian deadlock seperti kebijakan Obamacare sangat mungkin terjadi kembali.
Kedua, kebijakan fiskal sudah terlalu berat akibat beban stimulus yang begitu besar. Akibatnya, rasio terhadap produk domestik bruto AS sudah melewati 100 persen sejak pandemi. Sementara itu, risiko hadirnya serangan kedua Covid-19 akan membuat pertumbuhan AS terkontraksi kembali (double-dip).
Perekonomian AS kuartal III-2020 memang melonjak drastis 31 persen dari posisi minus 33 persen di kuartal II. Pertumbuhan yang diklaim sebagai tertinggi dalam sejarah AS ini sebenarnya bersifat semu. Selain karena dipompa stimulus sangat besar, kinerja tinggi terjadi karena dihitung dari periode sebelumnya yang terkoreksi tajam.
Baca juga: Biden dan Empat Tantangannya
Selain masalah domestik, Biden harus berjibaku memperbaiki posisi AS di kancah global. Pertama, menemukan titik temu ketegangan AS-China. Sejatinya, ketegangan sudah terjadi sejak Presiden Obama, khususnya terkait dugaan pencurian teknologi militer AS oleh China. Pada 2013, sewaktu Biden jadi wapres, terjadi pertemuan tingkat tinggi di antara kedua negara guna membahas cyber-security. Dengan demikian, kalaupun Biden mampu melenturkan diplomasi, masalah pokoknya sama sekali tak surut, apalagi hilang.
Kedua, mengembalikan peran AS di kancah global. Dengan semangat nasionalis dan antiglobalisasi, Trump telah menarik diri dari Kesepakatan Paris mengenai Perubahan Iklim, kesepakatan nuklir, Trans-Pacific Partnership, hingga dukungan ke WHO. Biden punya beban mengembalikan posisi AS sebagai pelopor diplomasi global. Selain karena upaya AS menjadi pemimpin global terbukti tak dapat dukungan internal, peta global juga telah berubah.
The Economist (3-9/10/2020) dalam tajuk ”Bidenomics” menggambarkan fakta realistis. Biden yang sudah berusia 77 tahun bukanlah sosok yang akan mampu mengubah banyak hal. Dia memenangi pemilihan calon presiden di kubu Demokrat justru karena posisinya yang sangat moderat dan kompromistis. Pendekatan Biden dalam mengelola perekonomian dikenal sangat pragmatis. Dalam hal kompetensi, Wakil Presiden Kamala Harris justru lebih bisa diandalkan.
Pengaruh global
Bagaimanapun pilpres AS tetap jadi perhatian global. Banyak pihak menantikan gebrakan presiden baru ini karena akan punya implikasi paling tidak dalam dua hal. Pertama, peta perdagangan global yang ditandai perbaikan relasi AS-China serta kebangkitan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Perang dagang yang dipromosikan Trump telah merusak perdagangan dunia serta merosotnya relevansi WTO.
Perang dagang yang dipromosikan Trump telah merusak perdagangan dunia serta merosotnya relevansi WTO.
Kedua, arah program pemulihan ekonomi AS terutama besaran stimulus akan menentukan likuiditas pasar global dan ekspektasi investor di banyak negara. Jika paket stimulus disetujui, akan ada suntikan likuiditas dalam jumlah besar di pasar modal AS yang akan mengalir ke pasar keuangan di negara berkembang.
Pasar modal Indonesia yang sangat tergantung likuiditas asing tentu akan dapat limpahan positif meski bersifat jangka pendek. Paling tidak nilai tukar dan indeks harga saham gabungan akan lebih hijau sehingga memberi energi positif bagi pemulihan ekonomi domestik.
Baca juga: Baca juga: Terpilihnya Biden-Harris Membawa Dunia Memasuki Fajar Baru
Bagi kita sebenarnya dampak yang lebih dinantikan adalah efek jangka panjang, khususnya dalam investasi asing langsung (FDI) dan perdagangan. Pada 2019, AS masuk dalam 10 negara terbesar investasi langsung ke Indonesia dengan nilai sekitar 989 juta dollar AS.
Dari sisi perdagangan, AS pasar ekspor nonmigas terbesar setelah China. Hingga Agustus 2020 nilai ekspor kita ke AS mencapai 11,8 miliar dollar AS atau 12 persen dari total ekspor. Sementara impor kita pada periode yang sama senilai 4,9 miliar dollar AS atau setara dengan 6 persen dari total impor kita.
Kita mengalami surplus perdagangan cukup besar dengan AS.
Kita mengalami surplus perdagangan cukup besar dengan AS. Karena itulah, Presiden Trump memasukkan kita dalam daftar negara yang terancam sanksi pencabutan fasilitas ekspor dalam bentuk pembebasan bea masuk impor (Generalized System of Preferences). Di bawah pemerintahan Biden tampaknya tak akan terjadi perubahan penting dalam hal fasilitas ekspor ini sehingga secara umum akan terjadi status quo dalam relasi perdagangan kita.
Secara umum Biden tak akan melakukan banyak gebrakan, baik dari sisi kebijakan dalam negeri maupun luar negeri, sehingga dampaknya pada perdagangan global serta implikasinya pada hubungan dagang dengan Indonesia tak akan banyak berubah. Meski begitu, pemerintahan Biden akan memilih diplomasi santun.
Dengan demikian, ada banyak kesepakatan yang diharapkan tercapai, baik terkait hubungan dengan China maupun peranan WTO. Secara tidak langsung, tentu saja kita akan diuntungkan den tercapainya konsensus perdagangan secara global.
Harus diakui, konflik AS dengan China menyangkut persoalan yang fundamental dan Biden tak akan masuk pada substansi persoalannya, seperti akutnya defisit perdagangan AS terhadap China, persaingan kemajuan teknologi dan perebutan pengaruh geopolitik. Meski begitu, kita berharap tak terjadi konfrontasi yang semakin memperlebar perbedaan kepentingan antarnegara.
Baca juga: AS-China, Mau Dibawa ke Mana
Dampak Trumpisme di peta politik global telah begitu nyata, apalagi semakin banyak pula negara menganut pandangan serupa. Suasana keterpecahbelahan tak hanya dialami masyarakat AS, tetapi juga berimplikasi ke peta global. Dalam hal ini, masalah yang diciptakan kebijakan Trump tak mudah dipulihkan.
Perubahan arah
Munculnya Trumpisme atau pandangan politik nasionalis-populis merupakan fenomena global pascakrisis finansial 2008. Krisis dan hadirnya populisme merupakan disrupsi di bidang ekonomi dan politik. Peradaban manusia juga mengalami disrupsi teknologi yang muncul dalam industri 4.0. Pandemi Covid-19 merupakan puncak dari serentetan disrupsi itu dan jadi momentum penataan ulang secara menyeluruh (great reset) peradaban global.
Gerakan Great Reset ini banyak dipelopori Forum Ekonomi Dunia (WEF) melalui upaya menciptakan konsensus baru tentang bagaimana peradaban global ditata, meliputi tata kelola ekonomi, politik, dan sosial. Kristalina Georgieva, Direktur Eksekutif IMF, pada peluncuran Great Reset menuturkan, setiap nyawa korban Covid-19 merupakan utang yang harus dibayar peradaban manusia lewat perubahan mendasar bagaimana kita hidup. Ke depan perekonomian harus lebih memperhatikan lingkungan (greener), lebih adil (fairer), dan lebih banyak mengadopsi teknologi (smarter).
Baca juga: Normal Baru dan Amnesia Lingkungan
Dalam situasi seperti ini, terpilihnya Biden sebagai presiden ke-46 AS tak akan banyak memengaruhi konstelasi global. Melemahnya pengaruh AS dalam konstelasi global harus dilihat dalam konteks perubahan situasi yang perlu respons berbeda tiap negara. Justru ini peluang negara kelompok menengah seperti Indonesia untuk lebih progresif tampil di kancah global dengan menawarkan solusi mengatasi Covid-19 sekaligus mendefinisikan tatanan pascapandemi.
Dalam situasi seperti ini, terpilihnya Biden sebagai presiden ke-46 AS tak akan banyak memengaruhi konstelasi global.
Korea Selatan diakui memiliki strategi besar yang bagus dalam menangani Covid-19 ini melalui inisiatif Green New Deal. Pada pasca-Perang Dunia (PD) II AS bersama negara-negara di Eropa merupakan pelopor New Deal yang diikuti dengan arus besar globalisasi disokong oleh berbagai lembaga multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan kemudian WTO. Langkah yang diambil Korsel tentu tak akan sama dengan langkah AS dan sekutunya pada pasca-PD II, tetapi bisa menjadi model yang bisa direplikasi banyak negara dalam rangka menciptakan perekonomian ramah lingkungan.
Pemerintah Korsel sudah meluncurkan Korea Green Growth Trust Fund sebagai instrumen pembiayaan rekonstruksi perekonomian. Tahap awal telah diluncurkan paket kebijakan 95 miliar dollar AS guna membiayai investasi hijau seperti mobil listrik, mobil hidrogen.
Baca juga: Apa Kabar Mobil Listrik Nasional
Model lain yang bisa diadopsi banyak pihak—pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat—adalah adopsi teknologi. WEF mencatat pertanian berbasis teknologi (smart farming) berpotensi menciptakan 395 pekerjaan dan 10 triliun dollar AS peluang bisnis baru di 2030. Teknologi bisa membuat perekonomian lebih inklusif melalui aplikasi di berbagai sektor.
Di sektor keuangan, teknologi berpotensi membuat akses pada keuangan kian mudah dan murah sehingga fungsi intermediasinya meningkat. Indonesia punya potensi menerapkan teknologi finansial guna meningkatkan inklusi dan intermediasi, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Covid-19 bukan sekadar krisis kesehatan atau ekonomi, melainkan juga krisis peradaban yang memerlukan pencarian bentuk baru cara manusia hidup, berpolitik, dan mengelola sumber daya ekonomi. Peta global juga akan berubah; China akan jadi kekuatan ekonomi terbesar dunia, tetapi tak serta-merta akan menggantikan posisi AS di peta percaturan global.
Mungkin saja setelah ini akan muncul kekuatan baru yang terfragmentasi di berbagai bidang keunggulan yang bervariasi. Negara di Asia, termasuk Indonesia, perlu mendefinisikan keunggulan unik sehingga jadi model yang bisa direplikasi negara lain.
Pendek kata, Biden bukanlah obat mujarab bagi AS, apalagi dunia. Kemenangannya tak akan mengubah banyak hal, di dalam maupun luar negeri. Sepertinya juga tak akan ada gebrakan dalam kebijakan ekonominya. Meski begitu, kehadirannya sangat penting untuk menciptakan suasana beradab dalam upaya global pencarian titik keseimbangan baru dalam berbagai hal pascapandemi
A Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.