Jika saja ada pemilihan pahlawan atau ”people of the year” di Indonesia tahun ini, tak ragu saya akan memilih para dokter dan tenaga kesehatan yang berdedikasi dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Oleh
DEDDY MULYANA
·5 menit baca
Setiap memperingati Hari Pahlawan, kita merindukan pemimpin yang mampu menginspirasi dan memotivasi kita untuk bekerja keras demi mencapai cita-cita bersama. Afrika Selatan pernah memiliki Nelson Mandela sebagai presiden, Amerika pernah punya Steve Jobs sebagai inovator teknologi, dan kita pun pernah punya BJ Habibie sebagai ilmuwan. Namun, pasca-Habibie, kita defisit sosok berkarisma tinggi, apalagi sebagai negarawan.
Sejak dekade 1990-an, masyarakat kita kerap dicekoki dengan para pahlawan artifisial yang dikonstruksi televisi swasta dan belakangan media sosial. Mereka terutama adalah para pesohor, khususnya artis. Sejalan dengan teori agenda setting (McCombs dan Shaw, 1972) dalam komunikasi massa, apa pun yang mereka lakukan menjadi perbincangan khalayak, termasuk tindakan remeh, seperti pacaran, belanja, liburan, dan perceraian. Segelintir pesohor melakukan tindakan sensasional untuk tetap populer di masyarakat, seperti menjual celana dalam seharga Rp 50 juta lewat Instagram.
Sungguh ironis, perkembangan teknologi komunikasi yang memudahkan kita melakukan pertukaran pikiran demi kemajuan bersama malah digunakan banyak kelompok dan individu untuk menyebarkan pesan murahan, hoaks, dan fitnah untuk mengadu domba dan bahkan merusak moralitas masyarakat.
Televisi swasta dan media sosial seharusnya lebih banyak menyebarkan pesan konstruktif, semisal menonjolkan orang berjasa dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dokter dan tenaga kesehatan yang menangani pasien yang tertular Covid-19. Banyak dokter dan perawat mengorbankan begitu banyak tenaga, waktu, dan bahkan nyawa mereka. Hingga pekan terakhir Oktober 2020, lebih dari 130 dokter dan lebih dari 130 tenaga kesehatan meninggal dunia karena tertular penyakit mematikan ini.
Tak sedikit perawat yang stres, putus asa, dan depresi karena pandemi Covid-19. Survei (April-Mei 2020) yang dilakukan tim peneliti Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia terhadap 2.132 perawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas yang menangani pasien Covid-19 dari Aceh hingga Papua menunjukkan, 55 persen (1.172 perawat) mengalami kecemasan dan depresi dengan berbagai gejala; 1,4 persen berpikir untuk bunuh diri; 87 persen kehilangan nafsu makan; 70 persen cemas, tegang, dan khawatir; 68 persen sakit kepala; 57 persen tak dapat tidur nyenyak; dan 55 persen ketakutan (Kompas, 4/8/ 2020).
Di era pandemi ini, apresiasi terhadap dokter, khususnya yang menangani pandemi Covid-19, perlu dilakukan oleh pemerintah, alih-alih suara mereka dibuat sayup, seperti dilukiskan Profesor Djoko Santoso (Kompas, 30/10/2020). Dedikasi mereka begitu tinggi. Terbukti kini, stereotip mengenai dokter sebagai orang yang kejar setoran atau kejar tayang tidak selalu benar.
Kesuksesan seorang dokter memang tidak selalu harus ditandai dengan kesuksesan material. Sebagian dokter malah lebih tertarik menjadi peneliti dan mengembangkan keilmuan ketimbang berpraktik yang memberikan imbalan materi. Mereka piawai meneliti dan memublikasikan hasilnya dalam jurnal ilmiah atau buku ilmiah dan menyampaikan temuan penelitiannya dalam forum-forum ilmiah, terutama di dunia internasional.
Pun, tak sedikit dokter yang mengelola fakultas kedokteran untuk mendidik para calon dokter, sambil mengembangkan program-program kesehatan masyarakat, tanpa membuka praktik. Ada juga dokter yang memimpin fasilitas kesehatan dengan penuh pengabdian. Saya mengetahui seorang dokter senior berstatus PNS, kepala sebuah rumah sakit sebuah kabupaten di Jawa Barat, yang belum memiliki rumah pribadi.
Kita yakin masih banyak dokter di Indonesia yang berdedikasi, seperti mereka yang memerangi pandemi Covid-19 dengan segala risikonya. Sebelum era pandemi pun tidak sedikit dokter yang berdedikasi dengan cara mereka masing-masing. Sebagai contoh, tanpa mengerdilkan para dokter pengabdi lainnya di berbagai pelosok, seorang dokter yang patut diteladani adalah dr Gamal Albinsaid.
Demi membantu meningkatkan lingkungan yang bersih, dr Gamal meminta bayaran berupa sampah kepada para pasiennya, terutama para pemulung. Atas pengabdian dokter asal Malang itu, tahun 2014 saat masih berusia 24 tahun, ia mendapatkan penghargaan dari Pangeran Charles yang ia terima langsung di Inggris. Salah satu pendiri Klinik Asuransi Sampah ini menyisihkan 511 wirausaha peserta dari 90 negara (merdeka.com).
Di negara lain pun, banyak dokter yang berdedikasi luar biasa. Salah satunya adalah Paul Kalanithi, seorang dokter keturunan India di Amerika yang mati muda. Buku yang ditulisnya, When Breath Becomes Air (2017), melukiskan hal itu. Pada usia 36 tahun, menjelang kelulusannya sebagai dokter bedah syaraf, Paul didiagnosis sebagai penderita kanker paru yang tak dapat dioperasi. Ada saat-saat berselang-seling ketika ia menjadi dokter yang menangani pasien yang sedang sekarat dan ketika ia justru menjadi pasien yang berjuang untuk bertahan hidup.
Sejak menjadi mahasiswa kedokteran yang lugu, Paul melakukan pencarian mengenai apa yang membuat hidup ini bermakna. Ia memutuskan belajar di Universitas Stanford untuk menjadi dokter syaraf yang berfokus pada identitas manusia, otaknya. Sebelumnya ia menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Yale, lalu menjadi seorang pasien, dan seorang ayah yang punya anak dari seorang istri bernama Lucy Goddard, sesama mahasiswa kedokteran di Yale.
Dedikasi Paul Kalanithi begitu kuat kepada bidang bedah syaraf yang digelutinya, tidak peduli apakah kariernya kelak akan membuatnya kaya atau tidak. Dalam bukunya ia menuturkan, antara lain: ”Pada tahun keempat di sekolah kedokteran, saya melihat satu per satu teman sekelas saya yang memilih spesialisasi yang kurang menantang (seperti radiologi atau dermatologi) untuk residensi mereka.
Dedikasi Paul Kalanithi begitu kuat kepada bidang bedah syaraf yang digelutinya, tidak peduli apakah kariernya kelak akan membuatnya kaya atau tidak.
Merasa heran, saya mengumpulkan data dari beberapa sekolah kedokteran elite dan melihat bahwa kecenderungannya sama: menjelang akhir studi medisnya, kebanyakan mahasiswa cenderung berfokus pada spesialisasi gaya hidup—dengan waktu lebih manusiawi, gaji lebih besar, dan tekanan lebih rendah—idealisme yang mereka uraikan dalam esai mereka saat mengajukan lamaran untuk sekolah kedokteran melunak atau menghilang.
Kita berharap bahwa jika kelak pandemi Covid-19 di negara kita usai, para dokter dan perawat akan tetap berdedikasi kepada masyarakat kita, sebagaimana juga saat pandemi. Jika saja ada pemilihan pahlawan atau ”people of the year” di Indonesia tahun ini, tak ragu saya akan memilih para dokter dan tenaga kesehatan yang berdedikasi dalam mengatasi pandemi Covid-19.