Jangan ada penyalahgunaan data pribadi warga, baik oleh perseorangan, korporasi, maupun pemerintah. Sekecil apa pun pemanfaatan data pribadi, karena diakui dalam UUD 1945, harus mendapat persetujuan pemiliknya.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun, termasuk negara.
Pasal 28H Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 memastikan setiap warga negara Indonesia memiliki hak pribadi dan orang lain tidak boleh sembarangan mengambil hak pribadi itu, tanpa meminta persetujuan dari pemiliknya. Hak pribadi itu bisa dimaknai luas, tidak hanya terkait harta kekayaan, tetapi juga data pribadi. Selama ini, data pribadi warga, harus diakui, belum sepenuhnya terlindungi.
Buktinya, di media massa dan dalam percakapan sehari-hari, kita masih menemukan keluhan warga yang mendapat telepon, pesan digital, atau surat elektronik menawarkan barang atau jasa dari yang baik hingga yang tak senonoh. Bagaimana pihak luar mendapatkan data pribadi kita? Padahal, kita tak pernah berhubungan dengan pihak yang menggunakan data itu. Data pribadi yang berserakan di publik itu bisa disalahgunakan untuk kejahatan. Data pribadi warga diperjualbelikan (Kompas, 13-15/5/2019). Tak terlindungi.
Kondisi ini berbeda dengan negara tetangga, Singapura, yang sejak 2012 memiliki Personal Data Protection Act (PDPA). Uni Eropa (UE) pun sejak 1995 berusaha melindungi data pribadi warga negara anggotanya dengan instrumen hukum perlindungan data secara direktif dan dikukuhkan menjadi General Data Protection Regulation (GDPR) oleh Parlemen UE tahun 2016.
Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers, melalui buku berjudul Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2019) menuliskan, data pribadi seseorang yang terhubung jaringan internet diprediksi menjadi masalah dunia, saat internet of things (IoT) diperkenalkan pada 1999.
Tahun 2020, sekitar 30 miliar perangkat keras dan perangkat lunak di dunia diperkirakan tersambung IoT. Bisa saja, data pribadi siapa pun disedot dan disalahgunakan. Tahun 2018, pimpinan Facebook Mark Zuckerberg minta maaf atas kebocoran data pribadi jutaan pengguna media sosial itu. Ia juga menjalani pemeriksaan di parlemen Amerika Serikat.
Kesadaran untuk melindungi data pribadi warga tumbuh di kalangan pemerintahan. Apalagi, saat ini Kementerian Dalam Negeri sudah merekam sekitar 98 persen data kependudukan secara elektronik. Pemerintah dan DPR mulai membahas pula Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi serta menempatkan data pribadi sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM), seperti diatur dalam konstitusi.
Upaya pemerintah dan DPR untuk melindungi data pribadi warga itu pantas diapresiasi, apalagi perlindungannya sudah diamanatkan dalam konstitusi.
Jangan ada penyalahgunaan data pribadi warga, baik oleh perseorangan, korporasi, maupun pemerintah. Sekecil apa pun pemanfaatan data pribadi, karena diakui dalam UUD 1945, harus mendapat persetujuan pemiliknya.
Penegakan hukum harus dilakukan jika masih ada penyalahgunaan data pribadi warga. Data pada era digital ini bagai permata yang bisa dipakai menyejahterakan bangsa.