Media sosial alternatif, seperti Parler, Gib, MeWe, Newsmax, dan Rumble, mulai digunakan sebagai pelampiasan ketidakpuasan atas platform medsos arus utama. Namun, apakah medsos alternatif semacam itu akan bertahan lama?
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Merasa terpinggirkan dari gegap gempita di berbagai platform media sosial ternyata mulai mengusik pikiran beberapa orang untuk mulai mencari platform baru agar bisa bersuara lebih bebas lagi. Mereka mulai mendengungkan gerakan untuk melirik media sosial alternatif karena platform yang ada dirasa mengekang kebebasan pendapat.
Pemilihan umum di Amerika Serikat beberapa waktu lalu menjadi pendorong mereka untuk beralih ke platform alternatif. Mereka ingin menghukum platform seperti Twitter, Facebook, dan Youtube yang memoderasi konten beberapa tokoh. Apakah mereka bisa kuat melawan arus utama?
Kemunculan media sosial alternatif sebenarnya sudah agak lama, tetapi beberapa pekan lalu media ini makin dilirik setelah beberapa kalangan di Amerika Serikat menyatakan akan mundur dari akun-akun media sosialnya. Mereka, antara lain, pembawa acara Fox Business, Maria Bartiromo; pembawa acara Fox News, Sean Hannity; penyiar radio kondang Mark Levin; aktivis kelompok kanan Laura Loomer; Senator Ted Cruz; dan anggota kongres, Devin Nunes.
Maria, dalam salah satu pesan di Twitter, mengatakan, ia akan meninggalkan Twitter dalam waktu dekat dan berpindah ke Parler. Parler adalah salah satu platform media alternatif. Ia juga mengajak orang untuk segera membuat akun di Parler. Kabarnya, jumlah orang yang mengunduh Parler melonjak begitu kaum yang digolongkan konservatif ini membuat ajakan tersebut.
Parler adalah media sosial yang berfungsi mirip dengan Twitter, yaitu blog mikro. Akun ini diluncurkan pada 2018. Media alternatif ini muncul setelah dirasa banyak sensor yang dilakukan oleh para pengelola media sosial yang ada saat ini. Mereka mengaku kecewa karena platform yang ada tidak menjamin kebebasan bersuara.
Parler kabarnya sudah diunduh sekitar 3,3 juta di Apple Store dan di Google Store sekitar 7,3 juta secara global. Platform ini mendapat perhatian terutama dari pendukung Presiden Donald Trump, kaum konservatif, kelompok kanan, gerakan antisemit, dan para pemuja teori konspirasi. Mereka yang ”ditolak” di Twitter juga bergabung dalam platform ini. Kabarnya, Trump juga sempat mempromosikan (endorse) salah satu media sosial alternatif.
Di samping itu, ada beberapa media sosial yang dikategorikan alternatif, seperti Gib, MeWe, Newsmax, dan Rumble. Platform ini mulai mendapat tempat seiring dengan kekecewaan sejumlah orang setelah beberapa unggahan Trump diberi label dan disebut sebagai informasi palsu atau berbahaya. Mereka melihat langkah itu tidak menjamin kebebasan berpendapat.
Mereka kemudian melakukan migrasi media sosial. Migrasi ini menjadi semacam protes terhadap platform media sosial yang telah mapan. Media sosial alternatif itu dikabarkan mulai mendapat perhatian karena penggunanya bertambah pesat. Para pengguna sepertinya mendapat tempat untuk ”berteriak” lebih bebas daripada di platform yang sudah eksis selama ini.
Semangat untuk menghukum platform yang telah ada dan digunakan oleh warganet selama ini menjadi motivasi mereka untuk mengajak pindah ke media sosial alternatif. Salah satu pengguna Parler, misalnya, mengatakan, ratusan ribu pengikutnya di Twitter telah ikut pindah ke Parler. Di samping itu, mereka lebih menghargai media alternatif karena menjamin kebebasan berpendapat dan transparansi.
Meski demikian, apakah ini menjadi tren sementara atau bisa langgeng?
Ada beberapa pendapat menanggapi kecenderungan ini. Ada yang mengatakan gerakan tersebut belum jelas ujungnya. Kecenderungan yang ada memperlihatkan mereka melawan langkah moderasi konten yang cenderung merugikan kepentingan mereka. Ada juga yang mengatakan gerakan ini hanyalah simbol belaka dan tak akan bertahan lama.
Meski demikian, sejumlah ahli lain mengatakan, kehadiran media alternatif sangat berbahaya dan bisa memunculkan berbagai problem, seperti berkumpulnya kaum ekstremis, konten yang ada cenderung mengajak melakukan tindak kekerasan, dan paham radikal bakal makin berkembang di platform tersebut. Oleh karena itu, mereka mengingatkan, migrasi yang dilakukan oleh banyak orang ke platform alternatif perlu diwaspadai.
Ahli lain menyoroti potensi keterbelahan masyarakat yang bakal makin kuat sejalan dengan kemunculan media sosial alternatif. Platform itu menjadi tempat berkumpul bagi kaum frustrasi, tidak menerima kekalahan, dan ingin menang sendiri. Keterbelahan ini tidak sehat bagi kehidupan perpolitikan sebuah negara. Negara dan kehidupan bernegara akan berjalan mundur jauh ke belakang jika keterbelahan terus-menerus terjadi dan mendapat tempat.
Kritik lain adalah keberadaan media sosial alternatif dengan kecenderungan seperti itu makin mempermudah perekrutan anggota kelompok ekstrem. Orang atau organisasi yang ingin mencari pengikut makin mudah mendapatkan calon-calon anggota. Sedikit saja konten yang mengundang sentimen dan simpati terhadap kepentingan kelompok-kelompok frustrasi, maka akan menarik beberapa orang untuk bergabung.
Hanya saja gerakan seperti ini akan mengikuti hukum alam. Mereka yang banyak polah akan kehabisan energi hingga akhirnya lelah sendiri. Platform-platform yang pernah menjadi tempat gerakan kanan ternyata tidak ada yang selamat. Mereka tidak memiliki sumber daya yang mencukupi karena investor tak mau ada yang mendekat. Akibatnya, pengelola platform ini tak kuat untuk berinovasi dan menyuguhkan layanan yang menarik.
Pada akhirnya para pengguna akan mentok karena pengalaman saat mereka menggunakan media sosial alternatif itu bakal dirasa buruk karena tak ada inovasi. Mereka tak puas. Jadilah platform ini sekadar simbol perlawanan. Euforia mereka hanya sebentar sebagai pelampiasan terhadap sesuatu yang menurut mereka dirasa tidak adil.
Selama ini, kenyamanan menggunakan aplikasi tetap menjadi faktor penentu apakah seseorang bertahan di sebuah platform atau lari dari platform. Media sosial alternatif kemungkinan sulit untuk memberikan layanan paripurna sehingga pengguna enggan mau bertahan.