Menyambut Jaminan bagi Pengangguran
Secara empiris dari semua program jaminan sosial, jaminan kehilangan pekerjaan paling rumit untuk diimplementasikan, baik dari segi tata kelola, organisasi, administrasi, maupun operasionalnya.
Salah satu isu paling sensitif dan selalu menjadi kontroversi sejak UU Cipta Kerja dibahas adalah soal pesangon. Pengusaha berikhtiar agar jumlah kewajiban pembayaran pesangon dikurangi dan dirasionalisasi, tak lagi 32 kali upah. Sementara buruh, yang diwakili organisasi serikat pekerja berkukuh tak boleh ada pengurangan pesangon. Pesangon versi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut mereka, harga mati dan tak boleh ditawar.
JKP sebagai kompromi
Setelah melalui serangkaian perdebatan dan negosiasi alot, akhirnya UU Cipta Kerja berhasil menemukan titik kompromi. Pekerja yang terkena PHK tetap dapat pesangon dan kompensasi PHK lainnya. Jumlah pesangon maksimum turun dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Pengusaha bertanggung jawab untuk 19 kali upah, sedangkan pemerintah 6 kali upah lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
JKP merupakan skema perlindungan dan program jaminan sosial baru terhadap korban PHK yang diintegrasikan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). JKP akan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan secara operasional akan diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan (TK). Program JKP tidak akan mengurangi, tetapi justru melengkapi pemberian manfaat jaminan sosial lain, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).
JKP merupakan skema perlindungan dan program jaminan sosial baru terhadap korban PHK yang diintegrasikan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional.
JKP akan diberikan kepada pekerja yang mengalami PHK agar dapat mempertahankan derajat kehidupan yang layak. Peserta JKP adalah setiap orang yang membayar iuran. Iuran peserta tak dibebankan ke pengusaha dan pekerja, tetapi akan dibayar oleh pemerintah.
Manfaat JKP berupa uang tunai (cash benefit), akses informasi pasar kerja (job placement information), dan pelatihan kerja (vocational training). Manfaat akan didapatkan peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu dan diberikan paling banyak enam bulan upah.
Munculnya program JKP sebagai kompromi atas kontroversi pesangon ternyata menimbulkan dilema di kalangan serikat pekerja. Sebagian besar buruh menyambut baik kehadiran program JKP, tetapi menolak pengurangan pesangon.
Baca juga: Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Kelompok buruh lain berpikir lebih realistik dan dapat memahami pengurangan jumlah pesangon. Mereka justru bergembira karena dikompensasi dengan hadirnya JKP. JKP identik dengan asuransi atau jaminan pengangguran yang selama ini disuarakan kaum buruh, sebagaimana dianjurkan di Konvensi ILO No mor 102 Tahun 1952.
Setidaknya ada empat argumen mengapa program JKP perlu diapresiasi. Pertama, JKP menjadi simbol bahwa program jaminan pengangguran secara resmi diadopsi dan diletakkan dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional sehingga tata kelolanya menjadi lebih baik, lebih pasti, terstruktur, dan akuntabel.
Melengkapi program jaminan sosial lainnya, JKP sudah sangat dibutuhkan dalam kondisi perekonomian memasuki era industrialisasi, di mana tenaga kerja kian besar ketergantungannya pada upah yang diterima. Program jaminan pengangguran sudah diimplementasikan banyak negara di Eropa dan Asia Pasifik yang telah memasuki era industri.
Kedua, dalam praktiknya, pemberian pesangon kepada korban PHK kerap merugikan pekerja. Banyak perusahaan membayar pesangon tak sesuai ketentuan sehingga acap menimbulkan sengketa dengan pekerja. Dalam sengketa ini, posisi tawar buruh sangat lemah dan selalu menjadi pihak yang kalah.
Baca juga: Nasib Buruh dalam Hitungan Hari
Ketiga, berdasarkan Sakernas BPS per 2018, ternyata hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai UU Ketenagakerjaan No 13/2003. Jadi, jumlah pesangon dalam UU No 13/2003 ibarat fatamorgana. Indah, menyenangkan, dan gagah dalam UU, tetapi realitasnya tak pernah dinikmati buruh secara utuh.
Keempat, hadirnya JKP menjadi momentum untuk kembalikan filosofi dan hakikat program JHT untuk kepentingan hari tua, yang selama ini difungsikan sebagai katup pengaman buruh saat mengalami PHK. PP No 60/2015 tentang JHT dan Permenaker No 19/2015 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT sudah saatnya direvisi agar spiritnya sejalan dengan amanat UU No 40/2004 tentang SJSN.
Program jaminan pengangguran sudah diimplementasikan banyak negara di Eropa dan Asia Pasifik yang sudah memasuki era industri.
Standar ILO
Meski prinsip-prinsip penyelenggaraan JKP sudah dicantumkan di UU Cipta Kerja, program ini tak otomatis bisa diimplementasikan segera. JKP butuh penjabaran dan aturan lebih teknis. Masih banyak isu atau pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan supaya program ini menjadi realitas.
Dalam konteks implementasi JKP, ILO sudah menerbitkan panduan yang jadi standar acuan bagi negara anggota. Standar ini tertuang dalam dua konvensi: Konvensi ILO 102 Tahun 1952 mengenai Standar Minimal Jaminan Sosial (K102) dan Konvensi 168 Tahun 1988 mengenai Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran (K168).
Baca juga: Mencermati Angka Pengangguran
Merujuk standar ILO, aspek-aspek yang perlu klarifikasi dan derivasi lebih lanjut terkait JKP meliputi: cakupan kepesertaan, syarat kualifikasi peserta, durasi tunjangan, tingkat atau besaran tunjangan, kelanjutan tunjangan, masa tunggu, dan besaran iuran.
Sesuai Konvensi 102, cakupan kepesertaan jaminan pengangguran sekurang-kurangnya 50 persen dari semua karyawan yang tercatat di perusahaan, baik publik maupun swasta. Adapun dalam Konvensi 168 sekurang-kurangnya 85 persen dari semua karyawan, bahkan termasuk peserta pemagangan.
K168 juga mengatur ketentuan untuk pekerja musiman dan pekerja baru. Malaysia, Vietnam, dan Thailand mewajibkan seluruh pekerjanya ikut dalam program ini. Semakin banyak pekerja ikut, akan terwujud prinsip pooling of risk dan menjaga kelangsungan pendanaan program.
Baca juga: Subsidi Gaji Dorong Daya Beli Masyarakat
Untuk mencegah penyalahgunaan, ILO mensyaratkan kualifikasi tertentu untuk peserta yang berhak mendapat tunjangan.
Dalam konvensi ILO, kualifikasi pengangguran yang ditanggung meliputi: (1) pengangguran itu harus tak dikehendaki (involuntary unemployment), (2) pengangguran harus bersifat sementara (temporary unemployment), (3) penganggur yang akan dapat benefit ini harus telah memiliki pekerjaan sebagai sumber penghidupannya (bukan untuk yang baru mau bekerja), (4) penganggur harus tetap mampu bekerja, (5) penganggur harus tetap bersedia bekerja kembali, dan (6) penganggur harus bersedia menerima pekerjaan yang cocok.
Sementara K168 menyebutkan, peserta yang memenuhi syarat/kualifikasi untuk dapat tunjangan: peserta benar kehilangan pekerjaan dan sudah membayar minimal 6-12 bulan iuran. Konvensi ILO 168 menyatakan, tunjangan dapat dikecualikan karena perilaku buruk atau berhenti sukarela tanpa alasan sah.
Di Malaysia, tunjangan dikecualikan untuk pengunduran diri sukarela, berakhirnya kontrak, kesalahan karena perilaku buruk, dan pensiun wajib. Penerima tunjangan harus mampu bekerja, mau bekerja, dan aktif mencari kerja.
Di Vietnam, tunjangan ditangguhkan jika peserta tak memberitahukan pencarian kerja yang mereka lakukan setiap bulan. Tunjangan pengangguran akan dihentikan jika peserta diketahui telah dapat pekerjaan, melaksanakan wajib militer, atau menerima uang pensiun bulanan.
Di Malaysia, tunjangan dikecualikan untuk pengunduran diri sukarela, berakhirnya kontrak, kesalahan karena perilaku buruk, dan pensiun wajib.
ILO juga memberi pedoman terkait durasi dan besaran tunjangan. K102 menyebutkan tunjangan bersifat berjangka dan temporer, minimal 45 persen dari upah. Diberikan selama 13 pekan hingga 12 bulan, termasuk perawatan medis.
Adapun di Konvensi 168, tunjangan yang diberikan minimal 50 persen dari upah yang diberikan secara berjangka selama 26 pekan dalam jangka waktu pengangguran atau 39 pekan hingga 24 bulan, termasuk perawatan medis. Pembayaran tunjangan pengangguran umumnya dilakukan mingguan agar memudahkan pengecekan secara periodik apakah yang bersangkutan telah dapat pekerjaan baru.
Baca juga: Polemik UU Cipta Kerja
ILO juga memberlakukan masa tunggu (waiting period) maksimal tujuh hari setelah seseorang berhenti dari pekerjaannya sebelum dapat tunjangan pengangguran. Masa tunggu diperlukan karena tingginya moral hazard, rumitnya penyelesaian pengangguran, dan besarnya biaya tunjangan sehingga diharapkan jika banyak pengangguran bisa diselesaikan dalam masa tunggu (kembali bekerja), proses dan pembiayaannya bisa ditekan seminimal mungkin.
Di Malaysia, besar tunjangan diberikan dalam persentase menurun (80, 50, 40, 40, dan 30 persen) dari upah selama 3-6 bulan maksimal, setelah melewati masa tunggu 7 hari.
Di Vietnam, 60 persen dari upah rata-rata enam bulan berturut-turut sebelum pekerja menganggur, dengan masa tunggu 15 hari. Di Thailand, diberikan berdasarkan alasan pengangguran: dipecat (50 persen dari gaji bulanan) selama 6 bulan, habis kontrak dan berhenti sukarela (30 persen dari gaji bulanan) selama 3 bulan.
Aspek krusial
Masalah paling krusial dan sangat menentukan masa depan program JKP dalam jangka panjang adalah aspek pendanaan. Perlu kehati-hatian dan penghitungan aktuarial yang komprehensif agar kesinambungan program terjaga. Pengalaman negara lain yang lebih dulu menyelenggarakan program jaminan pengangguran, pembiayaan, atau iuran lazimnya ditanggung tripartit (pemerintah, pengusaha, pekerja).
Di Malaysia, iuran jaminan pengangguran 0,4 persen dengan komposisi pengusaha (0,2 persen), pekerja (0,2 persen) dari plafon maksimum upah 4.000 ringgit. Vietnam memberlakukan iuran 2 persen dari upah/gaji kotor, dengan pembagian beban pengusaha (1 persen) dan pekerja (1 persen). Di Thailand iuran 1,25 persen dari upah sebulan (maksimum upah 15.000 bath) dan pembebanannya pemerintah (0,25 persen), pengusaha (0,5 persen), dan pekerja (0,5 persen).
Untuk konteks Indonesia, UU Cipta Kerja mengatur sumber pendanaan JKP dari modal awal pemerintah, rekomposisi iuran program jaminan sosial, dan/atau dana operasional BPJS Ketenagakerjaan. Modal awal pemerintah ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun, bersumber dari APBN. Mengandalkan modal pemerintah dengan kapasitas APBN terbatas jelas tak memadai, sementara pengusaha dan pekerja sudah disepakati oleh pembuat UU tak akan dikenai tambahan iuran.
Masalah paling krusial dan sangat menentukan masa depan program JKP dalam jangka panjang adalah aspek pendanaan.
Untuk memastikan program JKP berkelanjutan, UU memberi dua sumber pendanaan alternatif untuk dioptimalkan: rekomposisi iuran program jaminan sosial dan/atau dari dana operasional BPJS-TK. Rekomposisi iuran jaminan sosial peluangnya hanya bisa diambil dari iuran program yang bersifat asuransi (JKK dan JKM), tak mungkin dari iuran program yang bersifat tabungan (JHT dan JP) karena pasti ditolak buruh.
Iuran JKK Penerima Upah saat ini terdiri dari lima kluster berdasarkan jenis risiko kerja: 0,24 persen (risiko sangat rendah), 0,54 persen (rendah), 0,89 persen (sedang), 1,27 persen (tinggi) dan 1,74 persen (sangat tinggi). Sementara iuran JKM 0,3 persen dari upah sebulan. Kedua jenis iuran ini selama ini ditanggung pengusaha, tanpa ada pembatasan upah sebagai dasar pembayaran iuran.
Untuk menetapkan berapa penyesuaian iuran yang diperlukan untuk program JKK dan JKM seyogianya dilakukan kajian komprehensif. Ini untuk menjaga agar kedua program tetap secure dan sustain. Pemerintah melalui PP No 82/2019 baru menaikkan benefit kedua program itu. Namun, dari persentase eksisting, kita bisa merekomendasi besaran iuran JKK dan JKM yang dapat dikurangi dan kemudian dialihkan menjadi iuran JKP, masing-masing maksimal 0,1 persen, sehingga total menjadi 0,2 persen (mirip beban pengusaha di Malaysia) dari upah sebulan tanpa pembatasan upah sesuai prinsip gotong royong.
Bagaimana dengan sumber iuran JKP yang berasal dari dana operasional BPJS-TK? Jika merujuk PP No 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, peluangnya sangat kecil. Sebab, sebagai penyelenggara, BPJS TK seyogianya berhak dapat dana operasional dari penyelenggaraan program JKP, sebagaimana yang selama ini diperoleh dari persentase akumulasi iuran JKK, JKM, JHT dan JP, serta hasil pengembangannya (masing-masing maksimum 10 persen).
Ada dua opsi untuk dapat sumber iuran dari dana operasional BPJS-TK: persentase biaya operasional JKP dialokasikan lebih rendah dibanding program lain atau BPJS-TK wajib beroperasi lebih efisien. Hasil efisiensi sebagian dihibahkan untuk program JKP.
Secara empiris dari semua program jaminan sosial, JKP paling rumit untuk diimplementasikan, baik dari segi tata kelola, organisasi, administrasi, maupun operasionalnya. Program ini akan sulit sekali diselenggarakan tanpa adanya mekanisme pasar kerja yang efektif.
Mekanisme ini butuh hadirnya pusat informasi pasar kerja, yang akan menyediakan informasi lowongan kerja, kebutuhan tenaga kerja, pendaftaran pencari kerja, dan administrasi penempatan tenaga kerja yang harus diselenggarakan atau dikelola oleh suatu instansi khusus untuk itu.
(Amri Yusuf, Pemerhati Masalah Jaminan Sosial)