Problematika Guru Honorer
Menggaji guru honorer secara layak dan mendapat perlindungan negara membutuhkan kebijakan lintas tiga kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebentar lagi, tepatnya tanggal 25 November, kita akan memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Meskipun persoalan tentang guru bukan melulu guru honorer, sejumlah masalah berkaitan dengan kesejahteraan dan kejelasan status guru honorer di Republik ini akan selalu menjadi topik panas di setiap peringatan HGN.
Harus diakui bahwa peran guru honorer dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangat strategis karena banyak wilayah di Indonesia masih mengalami kekurangan guru, tetapi pemerintah tak punya cukup anggaran untuk menggaji mereka atau mengangkat guru aparatur sipil negara (ASN). Di sejumlah daerah, rasio guru-murid masih di bawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri.
Baca juga: Pendidikan Bertumpu pada Guru Honorer
Solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, guru honorer bisa belasan tahun menjadi guru kontrak.
Bahkan, guru honorer bisa belasan tahun menjadi guru kontrak.
Sistem perburuhan
Sistem itu sebenarnya adalah sistem yang selama ini ditentang oleh para buruh dalam dunia industri, karena dalam sistem kontrak berjangka, pemberi kerja tidak perlu dibebani oleh beban jangka panjang yang melekat pada pegawai tetap. Mereka bisa memutus kontrak ketika masanya sudah berakhir. Oleh karena itu, kasus-kasus guru honorer yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) oleh yayasan pemberi kerja kerap tidak jelas alasan PHK-nya dan mereka hanya mendapatkan pesangon 1-3 bulan gaji yang jumlahnya tidak seberapa karena gajinya memang kecil.
Ironisnya, sistem ini justru dijalankan pemerintah, di mana dunia pendidikan memakai sistem perburuhan, Akibatnya, ketika ada sengketa antara guru dan pihak pemberi kerja, seperti pihak yayasan, penyelesaiannya tidak menggunakan Undang-Undang (UU) No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tetapi menggunakan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Baca juga: Guru Belum Diperlakukan Secara Profesional
Ketika guru diputus kontraknya sepihak atau dipecat, pihak yayasan kerap kali tidak memberikan pesangon sesuai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, ketika kontrak kerja dilakukan dengan pemerintah daerah, penyelesaiannya sulit juga menggunakan UU Ketenagakerjaan.
Gugatan kepada pihak pemberi kerja pernah dilakukan oleh 116 guru dari Yayasan Pendidikan Pondok pesantren Al Zaytun, Indramayu (Jawa Barat), dengan didampingi LBH Bandung para guru tersebut berhasil memenangkan gugatan hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, putusan pengadilan yang memerintahkan pembayaran pesangon para penggugat sulit di eksekusi, bahkan Kantor Agama Kabupaten Indramayu pun tidak mampu menjadi mediator apalagi pengawas terhadap kasus PHK besar-besaran ini.
Ketika guru mengadu, tidak diberikan solusi. Juga tidak ada keberanian pemerintah mengingatkan pihak yayasan bahwa Kanwil Agama dapat mencabut izin yayasan pendidikan yang melanggar hukum dan tidak mematuhi putusan pengadilan. Terhitung sejak putusan MA ikrah tahun 2019, hingga akhir 2020 ke-116 guru tersebut belum mendapatkan hak-haknya.
Baca juga: Pengangkatan Guru Honorer Menjadi PPPK Dipermudah
Kasus yang menimpa 116 guru Al Zaytun membuktikan betapa lemahnya posisi para guru honorer/guru kontrak ketika bersengketa dengan pihak yayasan. Padahal para guru tersebut sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun di Ponpes Al Zaytun.
Ketika guru mengadu, tidak diberikan solusi.
Pihak yayasan pendidikan sebagai pemberi kerja kerap kali mengikat para guru dengan sebuah perjanjian kerja yang sepihak dan tidak adil, tetapi para calon guru honorer itu tidak berdaya. Akibatnya, posisi guru honorer lemah. Bisa dipecat sewaktu-waktu dan bergaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR) karena belum ada ketentuan standar upah minimum untuk seorang guru yang berpendidikan sarjana S-1 di sekolah-sekolah swasta.
Bahkan, saya pernah memiliki pengalaman mengadvokasi seorang guru honorer perempuan yang meminta hak gajinya ketika sedang cuti melahirkan, tetapi bukannya gaji yang diterima, justru surat pemecatan yang didapat. Pemberi kerja berpendapat bahwa gaji guru honorer yang cuti melahirkan dilimpahkan untuk membayar guru pengganti sehingga yang bersangkutan tidak dapat haknya dan semua sudah tertuang dalam perjanjian kerja yang ditandatangani si guru.
Baca juga: Guru Honorer Mendamba Sejahtera lewat PPPK
Kasus seperti ini banyak menimpa guru-guru honorer. UU Ketenagakerjaan tidak cukup kuat untuk melindungi guru karena pendiri sekolah berbeda dengan pengusaha. Yayasan adalah organisasi sosial yang berharap untuk dibantu keuangannya. Sementara pengusaha adalah orang kaya yang berkelebihan uang sehingga mendirikan perusahaan.
Agar guru terlindungi walau dikontrak setiap tahun, manajemen yayasan harus diperbaiki. Misalnya, mengadakan tabungan potongan gaji sebesar 5 persen dari gaji per bulan. Karena itu, setelah habis kontrak setahun itu, guru memiliki tabungan di yayasan sebesar 60 persen, yang dirasakan seakan menerima pesangon dari perusahaan.
Guru juga bisa terlindungi dengan pembuatan regulasi baru yang memperbaiki peraturan tentang izin operasional dan akreditasi yang memasukkan persyaratan akreditasi dan izin operasional sekolah. Regulasi baru itu ialah adanya kewajiban yayasan membuat Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang menyatakan kesanggupan memberi kompensasi finansial atau memotong gaji dan menyimpan sebagai tabungan yang akan dikembalikan pada waktu guru berakhir tugasnya di suatu sekolah.
Baca juga: Balada Guru Honorer di Masa Pandemi
Pemerintah bisa menutup paksa yayasan atau tidak memberi izin operasional jika yayasan melanggar hukum dan tidak mematuhi putusan pengadilan. Jadi, dikunci saja melalui akreditasi dan izin operasional dengan SPTJM, dan wajib memberi kompensasi dengan cara tersebut.
Agar guru terlindungi walau dikontrak setiap tahun, manajemen yayasan harus diperbaiki.
Guru honorer dan suara pemilu
Pemilihan kepala daerah (pilkada) akan digelar pada Desember 2020 yang akan datang, biasanya persoalan guru honorer akan selalu mengemuka ketika terjadi perhelatan politik atau suksesi kepemimpinan, termasuk pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Janji meningkatkan kesejahteraan selalu mengemuka sebagai magnet menarik suara guru honorer yang jumlahnya lebih besar dari para guru tetap di yayasan pendidikan dan para guru ASN di sekolah-sekolah pemerintah.
Namun, setelah pemilihan umum (pemilu) usai, permasalahan guru honorer tetap belum terselesaikan karena pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara umum tidak memiliki konsep yang jelas dalam menyelesaikan masalah guru honorer.
Baca juga: Prioritaskan Guru Honorer dengan Sertifikasi Pendidik
Padahal, penyelesaian masalah guru honorer sejatinya bukan soal mengangkat atau tidak mengangkat mereka menjadi pegawai. Ini adalah soal memperjelas sekolah mana yang masih memerlukan tambahan guru, sekolah mana yang sudah cukup. Penerimaan dan penempatan guru seharusnya berbasis pada kepentingan ini sehingga terencana dan solutif.
Dengan kata lain, penerimaan guru di sekolah-sekolah swasta maupun negeri seharusnya mengacu pada sebuah rencana sistematis dan terstruktur. Ada rencana penerimaan sekian orang berdasarkan kebutuhan, lalu rencana itu dianggarkan dananya, kemudian diproses penerimaannya. Untuk sekolah-sekolah negeri, misalnya, ukuran kebutuhan dapat mengacu pada guru ASN yang akan pensiun di sekolah tersebut tiga tahun lagi, misalnya, sehingga rencana pengangkatan guru menjadi terukur, baik dalam jumlah maupun mata pelajarannya.
Jangan sampai guru yang pensiun mata pelajaran yang diampu Bahasa Indonesia, tetapi guru yang diangkat mata pelajaran Matematika, akibatnya sekolah tetap kekurangan guru Bahasa Indonesia dan kelebihan guru Matematika. Jika terjadi kelebihan guru ASN di suatu sekolah, yang akan terkena PHK pastilah guru honorernya.
Baca juga: Horor Hidup Guru Honorer
Proses perekrutan penerimaan guru honorer kerap kali tidak terencana. Akibat selanjutnya, tidak ada mekanisme yang baku dan tertib dalam proses perekrutan. Ada sebagian guru honorer yang berkualitas, tapi tidak sedikit yang berkualitas rendah. Mereka direkrut bukan berbasis pada kompetensi, tapi karena punya hubungan baik dengan sekolah perekrut atau merupakan kenalan dari salah satu pejabat di sekolah itu.
Jika terjadi kelebihan guru ASN di suatu sekolah, maka yang akan terkena PHK pastilah guru honorernya.
Gaji di bawah UMR
Secara kewenangan dan tanggung jawab, gaji untuk honorer merupakan tanggung jawab daerah. Namun, pada kenyataannya selama bertahun-tahun masalah gaji untuk guru honorer masih menjadi problematika yang belum bisa diselesaikan. Hingga hari ini, kita masih menemukan gaji para guru honorer di bawah standar upah minimum regional (UMR), padahal salah satu syarat menjadi guru harus berpendidikan minimal strata 1 (S-1) atau sarjana, tetapi tahun 2020 ini masih banyak guru honorer bergaji jauh di bawah UMR meskipun mereka berpendidikan tinggi.
Mengutip pada hasil survei singkat tentang gaji guru honorer yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada jaringan anggotanya di sejumlah daerah pada 2020, terlihat besaran gaji per bulan yang diterima guru honorer di Indonesia berkisar antara Rp 600.000 sampai Rp 4,2 juta. Besaran gaji honorer sangat bergantung pada kemampuan daerah dan sekolah.
Baca juga: Sampai Kulit Keriput Tetap Saja Honorer
Kalau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) suatu daerah besar, APBD dapat dialokasikan untuk memberikan gaji layak bagi guru-guru honor di daerahnya. Misalnya, guru honorer atau KKI pada sekolah sekolah-negeri di DKI Jakarta yang mendapatkan gaji sebesar UMR, yaitu Rp 4,2 juta per bulan.
Sementara kota/kabupaten lain besaran gaji guru honorer sangat variatif. Misalnya, Kota Tangerang Selatan (Banten), Lombok (NTB), dan Kabupaten Lumajang (Jawa Timur) besaran gaji guru honorernya hanya Rp 600.000-Rp 900.000. Adapun di Kabupaten Kepulauan Tanibar (Maluku), Kota Jambi, dan Kabupaten Bogor besaran gaji guru honorer Rp 1 juta-Rp 2 juta.
Para guru SMA/SMK di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya gaji guru honorer tercatat Rp 2 juta lebih. Sekolah swasta level menengah di DKI Jakarta mampu membayar para guru honornya Rp 3,3 juta.
Menggaji guru honorer secara layak membutuhkan kebijakan lintas tiga kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya, kementerian-kementerian terkait akan terus berkoordinasi agar hak para guru honorer bisa dipenuhi, yaitu dapat hidup layak bersama keluarganya dan ada perlindungan negara ketika mengalami PHK sepihak.
Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)