Aksi terorisme, termasuk yang terjadi di Sigi, bukanlah perang suku atau perang agama. Terorisme adalah paham kriminal. Siapa pun bisa menjadi korbannya. Aparat tidak mungkin melawan sendiri tanpa dukungan masyarakat.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
”Salus populi suprema lex esto”. Pepatah dalam bahasa Latin itu berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Adagium tersebut kini populer di negeri ini.
Pepatah yang dilontarkan filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), itu bermakna dalam, lalu kian dipopulerkan oleh filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes (1588- 1679) dan John Locke (1632-1704), serta Baruch Benedict de Spinoza (1632-1677), filsuf asal Portugis. Penyelenggara negara, apa pun bentuk negaranya, harus mengutamakan keselamatan rakyat. Tanpa rakyat, tiada lagi negara.
Salus populi suprema lex esto, atau salus populi suprema est, mendapatkan konteks saat dunia dilanda pandemi Covid-19. Virus korona jenis baru menyebar di 220 negara/teritori, termasuk Indonesia. Hingga Selasa (1/12/2020) siang, mengutip data Worldometer.info, ada 63,64 juta warga dunia yang terinfeksi Covid-19, dengan sekitar 1,47 juta korban meninggal dan 18,14 juta kasus masih aktif. Di Indonesia, jumlah kasus Covid-19 terus meningkat. Penyelenggara negara di mana pun saat ini berjibaku untuk menyelamatkan rakyatnya dari pandemi.
Di Indonesia, pepatah itu juga mendapatkan konteks, pekan lalu, ketika beredar kabar empat warga Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dibunuh oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kelompok teroris itu juga membakar sejumlah rumah warga.
Perburuan terhadap pelaku teror di Sigi oleh TNI dan Polri terkendala medan yang sulit. Presiden Joko Widodo meminta aparat menuntaskan kasus terorisme itu, dan menyampaikan dukacita mendalam kepada korban. Tindakan biadab di Sigi itu dinilai bertujuan memprovokasi dan meneror masyarakat untuk merusak persatuan dan kerukunan. Tidak ada tempat di Tanah Air ini bagi terorisme (Kompas, 29/11-1/12/2020).
Tidak ada tempat di Tanah Air ini bagi terorisme.
Indonesia rawan menjadi lokasi aksi terorisme internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2011 mendefinisikan terorisme sebagai paham perbuatan kriminal untuk menyebarkan ketakutan di masyarakat, dan ada elemen internasional. Kelompok MIT yang menebarkan teror di Sigi diduga juga terkait jaringan internasional. Kelompok ini dibentuk tahun 2012, dipimpin oleh Santoso, yang ditembak Satuan Tugas Tinombala pada pertengahan 2016. Kini, MIT dipimpin Ali Kalora, beranggotakan belasan orang saja.
Di dunia, kelompok terorisme yang terafiliasi dengan Alqaeda sebenarnya mulai melemah. Aksi terorisme, termasuk bom bunuh diri, antara tahun 2001 dan 2018 mengakibatkan tak kurang dari 33.000 warga terbunuh. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Agustus lalu merilis data korban/saksi terorisme di negeri ini sebanyak 489 orang. Korban dan pelaku bisa jadi saling mengenal atau berlatar belakang yang sama.
Aksi terorisme, termasuk yang terjadi di Sigi, bukanlah perang suku atau perang agama. Terorisme adalah paham kriminal. Siapa pun bisa menjadi korbannya. Aparat tidak mungkin melawan sendiri tanpa dukungan dari masyarakat. Tindakan tegas terhadap pelaku terorisme harus dilakukan, tetapi rakyat juga perlu bangkit melawannya dengan berbagai cara. Negeri ini bukan rumah bagi terorisme.