Indonesia, antara Quad dan SCO
Perjanjian pertahanan Australia dan Jepang dan latihan militer AS, Australia, Jepang, dan India merupakan upaya untuk menavigasi ketegangan dengan China yang semakin asertif.
Kesepakatan prinsip perjanjian pertahanan Australia dan Jepang dalam Reciprocal Access Agreement antara PM Australia Scott Morisson dan PM Jepang Yoshihide Suga di Tokyo (17/11/2020) tampaknya mengonfirmasi perubahan geopolitik dunia.
Meskipun baru akan ditandatangani pada 2021, perjanjian ini kelak secara de facto merupakan pembentukan suatu pakta pertahanan baru. Bagi Jepang, pakta ini yang kedua, setelah disepakatinya perjanjian Status Forces Agreement dengan Amerika Serikat pada 1962.
Berdasarkan peta proyeksi (Gerardus) Mercator, dunia terbagi dua: Utara (bagian atas) dan Selatan (bawah). Dalam konteks sosio-ekonomi, Utara-Selatan dipopulerkan sebagai kelompok negara kaya dan negara berkembang. Dalam konteks politik-ideologi, pasca-Perang Dunia II, dunia terkelompok dalam blok Barat (demokratis-kapitalis) dan Timur (sosialis-komunis).
Persaingan untuk merebut dominasi dunia antara AS dan sekutunya, NATO, dan Uni Soviet dan Pakta Warsawa-nya, membawa dunia ke dalam Perang Dingin. Rivalitas keduanya hampir menyulut Perang Dunia III (insiden rudal Kuba 1962) dan perang proksi (antara lain di Afghanistan), dan berakhir dengan runtuhnya Tembok Berlin (1989) dan bubarnya Uni Soviet (1991).
Berdasarkan peta proyeksi (Gerardus) Mercator, dunia terbagi dua: Utara (bagian atas) dan Selatan (bawah).
Dari Timur-Barat ke Utara-Selatan
Di bawah Reciprocal Access Agreement (RAA) yang dinegosiasikan sejak 2014, Australia dan Jepang sepakat untuk menyederhanakan (streamlines) pengaturan penggelaran pasukan secara lebih cepat dan tanpa birokrasi panjang (red tape). Perjanjian ini mengatur penggunaan basis-basis pertahanan, pembiayaan pembagian bersama bahan bakar dan amunisi, klaim atas kecelakaan, dan tingkah laku selama berlangsungnya latihan militer.
Meski dikatakan perjanjian ini merupakan dukungan terhadap ”a free, open, inclusive and stable Indo-Pacific” (Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, inklusif, dan stabil), RAA tidak pelak merupakan upaya untuk menavigasi ketegangan (navigate tensions) dengan China yang semakin asertif. Apalagi pada 3-6 November lalu Quadrilateral Security Dialogue/Quad (AS, Australia, Jepang, dan India) baru melaksanakan latihan militer Malabar di kawasan ini.
Sekalipun terbatas, perkembangan ini jelas menunjukkan Quad sedang memperkuat posisinya di kawasan Indo-Pasifik, di bagian selatan bumi.
Munculnya China sebagai negara adidaya—dengan kemampuan ekonomi, militer, dan diplomasinya (Dian Wirengjurit, ”Mendayung di Antara Tiga Karang”, Kompas, 18/7/2020)—juga mengubah tatanan geopolitik di Indo-Pasifik, termasuk Laut China Selatan (LCS).
Pada 2001, China membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang anggotanya mencakup Rusia dan pecahan Uni Soviet (Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan), sedangkan India dan Pakistan bergabung pada 2017. Meski bukan sebuah aliansi dan merupakan organisasi kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan, dalam praktiknya sejak 2003 SCO secara reguler mengadakan latihan militer bertajuk ”Misi Perdamaian”.
Dalam kaitan latihan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2007 mengatakan, ”Mulai hari ini, tugas seperti ini, tugas tempur, akan dilakukan secara berkala. Para pilot kami sudah terlalu lama menganggur” (NYT, 17/8/2007).
Meskipun dinyatakan bahwa SCO adalah organisasi yang ”tidak berpihak, tidak konfrontatif, dan tidak ditargetkan pada pihak ketiga mana pun”, sulit disangkal bahwa kegiatan semacam ini secara implisit diarahkan kepada AS, untuk tidak mencoba-coba ”bermain” di dunia bagian utara.
Dengan tema tetap memerangi terorisme, dalam Misi Perdamaian 2020 yang diadakan pada Agustus lalu dikerahkan tidak kurang dari 10.000 personel dengan menggunakan ”perangkat keras militer paling canggih”. Untuk pertama kali pula latihan ini diikuti oleh seluruh delapan negara SCO.
Untuk pertama kali pula latihan ini diikuti oleh seluruh delapan negara SCO.
Faktor India dan Indonesia
Menariknya, saat ini India tampaknya mulai tidak ”nyaman” dalam SCO dan semakin merapat ke Quad, yang dibentuk pada 2007 atas inisiatif PM Jepang Shinzo Abe. Quad bukan merupakan aliansi, melainkan lebih merupakan forum strategis informal yang berkepentingan terhadap ”rule-based order” di kawasan Indo-Pasifik.
Quad, yang bertujuan membentuk suatu ”busur demokrasi Asia” (Asian arc of democracy), berkeinginan dapat mencakup semua negara di Asia Tengah, Mongolia, kedua Korea, negara-negara Asia Tenggara, atau ”semua negara di periferi China, kecuali China”.
Condongnya India ke Quad akan mudah dipahami karena India dan China sejak 1962 terlibat konflik perbatasan ”abadi” di wilayah Kashmir, bukan hanya dengan Pakistan, di wilayah Shaksgam Valley dan Aksai Chin. Sejak itu kedua negara terlibat dalam sejumlah konfrontasi militer; terakhir di kawasan Galwan Valley pada Mei-Juni 2020.
Sebagai salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, posisi India ini masih dinilai ”canggung” mengingat negara demokrasi terbesar di dunia ini masih menjadi anggota pada kedua forum. India menghadapi kesulitan ”… untuk menyeimbangkan antara SCO di bawah kepemimpinan China dan Quad di bawah kepemimpinan Amerika” (Vaibhav Kullashri, The Kootneeti, 8/7/2020).
Dalam konteks ini, posisi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan terletak di simpang dua samudra menjadi sangat atraktif. Dalam pidatonya di New Delhi pada 22 Agustus 2007, PM Shinzo Abe, penggagas forum empat negara ini, menyampaikan visinya agar Quad menjadi ”confluence of the two seas” (pertemuan dua samudra).
Maka, tidak heran apabila kunjungan Menlu AS Mike Pompeo ke Jakarta, Oktober lalu, ditafsirkan untuk ”membujuk” Indonesia masuk dalam Quad. Di lain pihak, diketahui pula, sejak kunjungan Sekjen SCO Dmitry Mezentzev ke Jakarta pada 2015, forum negara Asia Tengah ini ”berminat” terhadap Indonesia.
Maka, tidak heran apabila kunjungan Menlu AS Mike Pompeo ke Jakarta, Oktober lalu, ditafsirkan untuk "membunuh" Indonesia masuk dalam Quad.
Persaingan Utara-Selatan (baca: Quad-SCO) memang tidak sepenuhnya mencerminkan pola pembagian Indo-Pasifik seperti pada peta Mercator. Namun, di kawasan Indo-Pasifik, pergeseran persaingan Utara-Selatan tampaknya semakin berbentuk. Masuknya Indonesia ke dalam Quad akan membuat peta Selatan menjadi utuh tidak terputus, dengan tiga negara demokrasi terbesar bergabung; tetapi bergabungnya Indonesia ke dalam SCO akan ”mengacaukan” peta Mercator.
Menurut studi Huong Le Thu (ASPI Strategist, 7/12/2018), 50 persen responden yang ditanya ”apakah Anda mendukung Quad?” menjawab ”tidak sekarang, tapi mungkin suatu hari nanti”. Quad dan SCO mungkin sedang ”bermain” di Indo-Pasifik, di mana Indonesia merupakan pusat gravitasi.
Apabila responden paham dengan konsistensi dan postur politik bebas-aktif Indonesia, jawaban atas pertanyaan itu pasti sudah tahu ”tidak sekarang, dan tidak akan pernah”. Dengan demikian, bagian Selatan dalam peta proyeksi Mercator akan tetap tidak utuh.
Dinamika Geopolitik dan Hubungan Internasional terkini di kawasa Indo-Pasifik dalam merespon kebijakan China yang menciptakan ketegangan di kawasan.
Kesepakatan prinsip perjanjian pertahanan Australia dan Jepang dalam Reciprocal Access Agreement antara PM Australia Scott Morisson dan PM Jepang Yoshihide Suga di Tokyo (17/11/2020).
Munculnya China sebagai negara adidaya—dengan kemampuan ekonomi, militer, dan diplomasinya juga mengubah tatanan geopolitik di Indo-Pasifik, termasuk Laut China Selatan (LCS).
Pada 2001, China membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang anggotanya mencakup Rusia dan pecahan Uni Soviet (Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan), sedangkan India dan Pakistan bergabung pada 2017.
Meski bukan sebuah aliansi dan merupakan organisasi kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan, dalam praktiknya sejak 2003 SCO secara reguler mengadakan latihan militer bertajuk ”Misi Perdamaian”.
RAA tidak pelak merupakan upaya untuk menavigasi ketegangan (navigate tensions) dengan China yang semakin asertif. Apalagi pada 3-6 November lalu Quadrilateral Security Dialogue/Quad (AS, Australia, Jepang, dan India) baru melaksanakan latihan militer Malabar di kawasan ini.
(Dian Wirengjurit Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional)