Politik uang dewasa ini sudah melucuti martabat rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Rakyat hanya diperlakukan sebagai angka mati yang nilainya hanya seharga sembako
Oleh
J Kiristiadi
·4 menit baca
Memilih kucing dalam karung adalah kiasan yang mengungkapkan memilih sesuatu untung-untungan. Jika mujur, memperoleh jenis kucing persia, turkish van, anggora, dan sejenisnya. Namun, jika sial, mendapatkan kucing kurap, kucing kudisan, atau jenis lain, tetapi masih tetap kucing.
Pada pilkada serentak, 9 Desember 2020, pemilih tidak hanya berjudi dengan keberuntungan karena yang terpilih pasti bukan kucing, melainkan makhluk yang sepenuhnya dikendalikan para cukong dan investor yang beternak kekuasaan.
Fenomena politik percukongan dipaparkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam forum membahas pilkada dan korupsi dana Covid-19. KPK menyebutkan sekitar 82 persen kandidat kepala daerah di pilkada didanai pemburu rente. Dana biasanya untuk ”membeli” perahu parpol.
Mahar menjadi jauh lebih besar jika kandidat ingin mendapatkan dukungan parpol sebanyak-banyaknya. Kandidat juga harus mengeluarkan dana untuk logistik kampanye, mesin parpol, tim sukses, sukarelawan, konsultan politik, lembaga survei, dan untuk politik uang (Kompas TV, 4/11/2020).
Politik uang dewasa ini sudah melucuti martabat rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Rakyat hanya diperlakukan sebagai angka mati yang nilainya hanya seharga sembako (sembilan bahan pokok). Fenomena ”dehumanisasi modern” menjadi semakin eskalatif karena para bandar semakin serakah. Investasi politiknya merambah hingga ke wilayah pelaksana pemilu, mulai dari pusat sampai daerah.
Mimpi rakyat di awal reformasi adalah mendapatkan pemimpin daerah yang berkualitas. Sosok yang punya kompetensi etis, piawai, serta mampu mengelola nilai-nilai moral dan etika, memiliki jiwa kepemimpinan, cakap dan paham tentang manajemen organisasi, terampil berkomunikasi, mem-persuasi, dan bernegosiasi. Namun, mimpi itu ternyata jauh panggang dari api. Praktik pilkada langsung selama 15 tahun membuahkan mimpi buruk.
Revolusi demokrasi
Oligarki politik tak datang mendadak. Tekanan represif rezim otoritarian selama puluhan tahun sudah jauh melampaui ambang batas derita rakyat: setelah rezim represif runtuh, euforia masyarakat jadi overdosis. Ibarat pegas yang ditindih terlalu lama, tiba-tiba tekanan dilepas, daya lenting pegas berbanding lurus dengan bobot tekanan.
Masyarakat ingin daulat rakyat segera diwujudkan. Konsekuensinya proses demokrasi dilakukan ”revolusioner”. Perubahan konstitusi berlangsung hanya sekitar dua tahun.
Semangat ”serba cepat” terus berlanjut. Hampir semua produk regulasi hampir tanpa paradigma jelas. Tatanan kekuasaan negara dan pemerintahan benar-benar dijungkirbalikkan. Proses pelembagaan institusi negara dan politik sangat terlambat. Ekses ”revolusi demokrasi”, prosedur, dan struktur politik lebih diutamakan. Kultur politik sebagai roh demokrasi diabaikan.
Euforia reformasi juga mendorong daerah-daerah tertentu, terutama yang mempunyai sumber daya alam, seperti Riau, Kalimantan, Aceh, dan Papua, menyuarakan kemerdekaan. Tuntutan diakomodasi dalam regulasi UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah; mengatur desentralisasi yang substansinya tidak sejalan dengan konstitusi.
UUD 1945 menegaskan susunan pemerintahan adalah negara kesatuan. Namun, Pasal 4 UU No 22/1999 sangat berwatak federasi. Dikutip: ”Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat; daerah-daerah tersebut masing-masing, berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain”.
Menyadari kekeliruan itu, UU No 22/1999 direvisi dengan menerbitkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena UU itu tanpa narasi besar, di tengah perjalanan semangat ”revolusioner” kumat lagi. Pilkada dilakukan secara langsung. Gagasan itu didorong pemilihan presiden langsung tahun 2004 yang dianggap sukses.
Pilkada langsung yang dimulai tahun 2005 sampai dengan 2020 berlangsung lebih dari 1.600 kali. Praktik demokrasi lokal sebanyak itu alih-alih memperdalam demokrasi, tetapi malah menjebak demokrasi dalam kubangan politik uang, politik dinasti dan oligarki, politisasi birokrasi, politik kekerabatan, serta korupsi. Mata rantai komando pemerintahan sangat lembek, bahkan hakim Mahkamah Konstitusi kena suap.
Pengalaman pahit itu membuahkan kesadaran menyempurnakan UU No 32/2004. Revisi menghasilkan UU No 22/ 2014, antara lain, pilkada langsung dikembalikan jadi kewenangan parlemen lokal. Namun, menjelang RUU itu disahkan, sejumlah parpol menolak.
Sebagian masyarakat juga menuntut pilkada langsung. Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1/2014 yang menjadi UU No 1/2015 yang mengembalikan pilkada secara langsung.
Demokrasi pascareformasi tanpa narasi besar yang memuliakan kehidupan bersama mengakibatkan kuasa oligarki semakin merajalela. Dalam agenda politik negara pasca-Pilkada 2020, narasi besar harus berkiblat pada konstitusi dan ideologi negara. Kumandangnya tidak hanya retorika atau permainan kata, tetapi juga strategi arah politik perundang-undangan menuju tatanan manajemen kekuasaan pemerintahan yang semakin demokratis serta memperkuat sistem presidensial.
Pintu masuknya adalah pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan enam alternatif yang sangat berguna sebagai pedoman, terutama opsi keempat. Disebutkan bahwa pemilu serentak nasional memilih anggota DPR, DPD, presiden-wapres, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah. Pada demokrasi tanpa narasi yang besar, pemilu hanya merupakan jalan lempeng menuju rezim yang zalim.