Bahaya Isolasi Diri
Para politisi mesti menyadari bahwa kesaksian hidup mereka yang tulus jauh lebih penting dari orasi manipulatif yang kerap dipertontonkan hanya demi meraih kekuasaan.
”Autoaislamiento” atau isolasi diri seakan menjadi begitu sakti. Ia dianggap sebagai kata kunci menghindari menyebarnya virus yang sudah terlanjur menjangkiti seseorang.
Tetapi apa yang terjadi ketika isolasi diri ini dipahami secara pincang dan menjebak? Atau, mengapa isolasi diri yang sejatinya positif bisa disalah tafsir hingga berujung fatal?
Segelintir kaum milenial memahami isolasi diri sebagai dukungan terhadap tendensi menyendiri di apartemen. Di sana kontak fisik diperkecil, tetapi dengan kelengkapan teknologi, seseorang bisa berkomunikasi melampaui batas fisik. Tak heran, di tengah covid-19, rental apartemen di Jakarta naik secara drastis (Tempo.co 22/3).
Tetapi, apakah isolasi diri dibarengi dengan sikap kritis? Apakah ada kematangan diri yang mampu menghadirkan keputusan bijak ketika diterpa masalah krusial? Apakah mereka mampu membedakan penyelesaian yang fokus pada masalah (problem focused coping) dan penyelesaian secara emosional (emotional focused coping), yang keduanya tergantung pada substansi permasalahan?
Tetapi, apakah isolasi diri dibarengi dengan sikap kritis?
Ketaksanggupan membedakan dua hal ini, hal mana diulas penulis dalam buku Successful Aging, Sukses di Usia Senja, 2020, merupakan salah satu sebab terjadinya aksi bunuh diri. Kaum milenial melihat secara statis dan stagnan permasalahan yang dihadapi. Pilihan terburuk pun diambil. Padahal secara dinamis, solusi mestinya masih terbuka lebar.
Orang lanjut usia, juga menderita akibat isolasi diri. AAARP Foundation, sebuah yayasan berkedudukan di AS yang fokus pada masalah lansia mengungkapkan penderitaan akibat penafsiran keliru tentang isolasi diri. Pada 2018, sudah terdapat 1 dari 5 lansia menderita akibat isolasi sosial. Di tengah pandemi angka itu meningkat. Ketakutan akan penyakit bawaan orang lansia, maka mereka diisolasi. Ruang gerak mereka dibatasi hal mana memunculkan frustrasi mendalam.
Ada hal yang lebih mencemaskan. Hal ini berkaitan dengan pemahaman tentang kepemilikan atas sebuah kebenaran. Di tengah aneka tawaran, tidak sedikit orang yang memilih mengurung diri dalam keyakinan tertentu yang dianggapnya palign benar. Di luar itu hanyalah kejahatan dan kekafiran. Karena itu usaha memisahkan diri dari masyarakat sekular dianggap pilihan satu-satunya. Komunikasi pun dibatasi malah sirna sama sekali. Kepada dunia luar tidak ada tawar menawar selain melawan.
Realitas seperti ini sangat mencemaskan. Mengacu pada 5 volume buku The fundamentalism Project, 1995, oleh Martín E Marty y R Scott Appleby (ed) disebutkan, isolasi diri pada keyakinan diri atau golongan menjadi hal yang mengkhawatirkan. Di sana konsep struktural yang mencakup pemikiran dan aksi dianggap mengandung kebenaran satu-satunya. Pada saat bersamaan, ia menutup diri terhadap aneka dialog konstruktif.
Gerakan fundamentalistik seperti ini mengkhawatirkan. Pasalnya kerap ia menelisik masuk dan memakai agama sebagai benderanya. Sejarah kelam membenarkan bahwa agama besar, seperti Kristen, Islam, Buddha, Sikh, Yahudi, Hindu, dan Shinto, kerap terpapar pemikiran isolastik yang fundamentalistik.
Ketika ”sukses” menyelinap masuk dalam zona agama, isolasi diri berujung brutal yang kerap mortal. Dengan berpihak pada tafsiran hurufiah dari teks Kitab Suci, kekerasan dilegalkan dan dibaluti dengan janji surga, demikian tulis Sánchez Parodi, dalam El fundamentalismo en la política (1998).
Logika kehidupan
Apa yang perlu dilakukan agar isolasi diri dipahami secara tepat dan tidak membias?
Pertama, butuh sikap kritis dan komunikatif. Sikap kritis mengandaikan sebuah keberanian untuk menggunakan semua potensi yang ada dalam diri. Manusia yang multidimensional tidak pernah berhenti mengekalkan satu dimensi sambil ingkar pada ragam yang lainnya.
Meski demikian kerap terjadi kepincangan hal mana dikritik oleh Erich From. Dalam bukunya: La revolución de la esperanza. Hacia una tecnología humanizada, 1970, ia mengkritik ketakmatangan secara intelektual yang kerap menghinggapi orang. Mereka ketiadaan kerangka orientasi (frame of reference) yang akhirnya takluk sambil mendevosikan kepercayaannya pada figur populer dalam diri orang tertentu.
Agar tidak terjerumus pada hal ini maka dibutuhkan keterbukaan dialogis.
Agar tidak terjerumus pada hal ini maka dibutuhkan keterbukaan dialogis. Keterbukaan menyempurnakan konsepsi tertentu yang diawali oleh kesediaan mengadu persepsi berbeda. Di sana setiap dialog dilakukan oleh kesadaran kebenaran yang hakiki selalu berada dalam proses pencarian terus-menerus.
Kedua, isolasi diri akan cepat terkikis ketika pendidikan ditopang oleh kesaksian sosial politik yang kuat. Manuel Paz dalam artikelnya ”Fundamentalismo religioso versus racionalismo y modernidad”, 2020, mengungkapkan adanya keterkaitan antara fundamentalisme agama dan politik. Jelasnya, di banyak negara, agama kerap dimanipulasi demi tujuan politis tertentu.
Untuk itu kemauan politik mestinya menjadi begitu utama. Para politisi mesti menyadari bahwa kesaksian hidup mereka yang tulus jauh lebih penting dari orasi manipulatif yang kerap dipertontonkan hanya demi meraih kekuasaan. Atas dasar ketulusan maka kebijakan yang diambil termasuk dalam menentukan politik pendidikan akan difokuskan untuk mengembangkan karakter yang kuat diri siswa agar mereka mampu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.
Ketiga, isolasi diri seperti pada masa Covid-19 seperti ini seharusnya dilihat sebagai sebuah solusi temporal. Adalah penting mengambil jedah sesaat demi mengadakan refleksi atas aksi. Yang seharusnya diambil sebagai langkah permanen adalah kesediaan untuk terus mempertajam wawasan dan meningkatkan komunikasi.
Tuntutan seperti ini adalah logika kehidupan. Sebagai makhluk hidup, membuka diri demi mempertajam wawasan adalah tuntutan untuk hidup. Pada sisi lain menutup diri akan membawa kematian oleh ketiadaan oksigen sebagai spirit dasarnya. Kian kritis dan dewasanya masyarakat meyakinkan bahwa logika kehidupan ini jauh lebih kuat daripada intrik sepintas isolasi diri yang banyak kali kandas.
(Robert Bala, Diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol)