Setiap 10 Desember, warga dunia merayakan Hari Hak Asasi Manusia. Hari HAM Sedunia 2020 mengusung tema "Recover Better, Stand Up for Human Rights".
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tema yang berarti "pulih lebih baik, menegakkan hak asasi manusia (HAM)" itu, tak terpisahkan dari pandemi Covid-19 yang menyerang warga di 220 negara/kawasan sedunia. Tak bisa dipungkiri, pandemi membuat HAM sebagian warga terabaikan. Jika penyebaran virus korona baru bisa ditekan, kehidupan pulih kembali, negara atau siapapun harus menghormati HAM warganya, termasuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.
Logo Hari HAM sedunia 2020 berupa lingkaran berwarna biru, berbentuk tangan dengan lima jari, yang melambangkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Indonesia sebagai warga dunia berkomitmen pula untuk menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM warganegaranya, antara lain, dengan memasukkan pengaturan HAM dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Nomor 39/1999.
Namun, harus diakui masih banyak persoalan HAM, terutama terkait perlindungan dan penegakan HAM di negeri ini. Belum semua pelanggaran HAM pada masa lalu terselesaikan. Di sisi lain, masih terjadi pelanggaran pada masa kini. Padahal, nyaris seluruh pimpinan negeri ini, termasuk Presiden Joko Widodo pada periode pertama dan kedua, selalu menjanjikan untuk dapat menghormati, memajukan, memenuhi, menegakkan, dan melindungi HAM warganegaranya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melaporkan, hingga akhir November 2020 masih 12 perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum dituntaskan. Kasus itu terjadi antara tahun 1965 hingga 2014. Human Rights Watch dalam laporannya tahun 2020 juga menyebutkan, Indonesia menghadapi ancaman serius di bidang penegakan HAM pada tahun 2019.
Jajak pendapat Litbang Kompas akhir November lalu juga merekam sikap publik yang masih skeptis terkait penegakan HAM saat ini. Lebih dari separuh responden (63,3 persen) menilai perlindungan HAM masih berjalan di tempat. Sebagian dari kelompok responden juga menilai perlindungan HAM di Indonesia bahkan memburuk (Kompas, 14/12/2020).
Harus diakui, HAM bukan persoalan yang menarik perhatian seluruh rakyat Indonesia. Isu ini lebih banyak diikuti warga berpendidikan menengah ke atas, yang cenderung kritis dan skeptis melihat perkembangan HAM. Pernyataan Presiden Jokowi, maupun para Presiden sebelumnya, untuk menghormati dan menegakkan HAM, belum sepenuhnya terbukti. Ibaratnya, HAM baru sebatas diperbincangkan.
Pemerintah berusaha menghargai HAM warganegara, antara lain, dengan membentuk Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Pengadilan HAM, selain mengamandemen Konstitusi dan membuat UU. Penghormatan terhadap HAM tak cukup dengan pembuatan aturan atau lembaga, apalagi cuma retorika. HAM harus mewujud dalam keadilan, yang bisa benar-benar dirasakan rakyat.