70 Tahun Persahabatan Indonesia dan China
Banyak hal yang sudah dicapai dari 70 tahun hubungan Indonesia dan China, tetapi perjalanan belum selesai.
Tampak jelas Indonesia dan China sudah menua bersama dengan segala ragam dinamikanya. Sebagai sahabat, pedih suka kita lalui bersama. Dalam perjalanannya, persahabatan ini tentu diwarnai pasang surut, ada kalanya kita saling berpelukan erat, tetapi pada saat yang berbeda menjaga jarak. Hal ini muncul karena ternyata kita tidak selalu seragam dalam berpikir, mengingat kepentingan yang kita bawa jelas berbeda, tetapi semua tetap dalam kerangka pertemanan yang sudah terbangun lama.
Ada kalam hadis yang berbunyi “Uthlubul ‘ilma walau bishshiin” tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, maka dengan geliat ekonomi China yang sangat agresif di beberapa dekade terakhir, seharusnya membuat kita Indonesia untuk menengok China dalam rangka menuai manfaat dan pelajaran.
Ketika kita menggandeng satu sahabat tentu bukan artinya kita harus mengesampingkan peranan sahabat yang lain. Sudah mengalir dalam DNA kita untuk menjadi inklusif dan terbuka dan bahkan ini beresonansi luas ke ASEAN yang mengadopsi pendekatan ini dalam hubungan kerja samanya. Sikap terbuka, baik secara regional maupun bilateral, ini menjadi napas Indonesia dan ASEAN sehingga banyak teman yang berebut untuk masuk dan bercengkerama.
Hubungan antarnegara yang saling bertautan hingga kini tak lepas dari prinsip gravitasi dalam ekonomi dan perdagangan internasional. Model ini menyiratkan bahwa untuk dapat membina hubungan jangka panjang dan berkesinambungan, faktor jarak dan juga pasar menjadi penentu utama.
Dilihat dari sisi kekuatan pasar, tidak bisa dinafikan bahwa Indonesia dan China memiliki pasar yang luar biasa besar sehingga saling tarik menarik.
Dilihat dari sisi kekuatan pasar, tidak bisa dinafikan bahwa Indonesia dan China memiliki pasar yang luar biasa besar sehingga saling tarik menarik. Namun, yang juga tidak kalah pentingnya adalah variabel kedekatan. Indonesia secara geografis memang tidak terlalu berjarak, tetapi ternyata yang lebih mendekatkan kita adalah faktor jarak nongeografis. Kedekatan budaya, pendidikan, serta sejarah yang membuat kedua negara ini kuat terhubung.
Sejarah kerja sama erat bermula sejak era Presiden Soekarno dan Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18–25 April tahun 1955 yang dihadiri juga oleh Perdana Menteri Zhou En Lai semakin mempertegas hubungan itu. Pola iteratif ini kemudian membangun ikatan yang lebih kuat antara Indonesia dan China meski sempat beku pada tahun 1967.
Namun, segera setelah normalisasi pada tahun 1990, hubungan Indonesia dan China menjadi semakin progresif. Pada era Presiden Joko Widodo, kerja sama Indonesia China semakin mewujud pasti yang salah satunya ditandai oleh high level economic dialogue yang bertujuan untuk lebih mempererat hubungan kemitraan strategis antara kedua negara dalam berbagai bidang kerja sama ekonomi, seperti perdagangan dan investasi, infrastruktur, energi, dan keuangan.
Untuk Indonesia, China adalah pasar yang terbuka lebar, sebagaimana yang tersaji dalam data ekspor Indonesia yang China hampir selalu memuncaki klasemen. Bahkan, pada masa pandemi ini, ketika China mulai bangkit dan mengakselerasi ekonominya, Indonesia turut terdampak.
Moncer-nya kinerja ekspor Indonesia selama pandemi salah satunya berasal dari geliat permintaan China kepada barang baku dan barang penolong dari Indonesia dan mayoritas negara ASEAN demi mendorong industrinya yang masih sub-optimal selama pandemi. Serenceng produk-produk ekspor andalan Indonesia ke China, antara lain minyak nabati, batu bara, ferro alloy, dan produk kertas.
Bagaimana dengan impor? Ternyata setali tiga uang. China juga memuncaki daftar negara asal impor Indonesia, sebagaimana juga negara ini memuncaki daftar dunia. Dengan efisiensi produksi, China menjadi pabrik besar dunia, menyediakan hampir segala jenis produk yang dibutuhkan. Beberapa produk impor asal China yang dominan adalah permesinan, elektronik, komponen elektrik, alloy steel, serta filamen.
Jika melihat data, memang kita hampir selalu tekor dengan China.
Lantas bagaimana keseimbangannya? Jika melihat data, memang kita hampir selalu tekor dengan China. Namun, sebagian besar dari produk yang kita impor adalah untuk barang baku dan barang keperluan industri. Di satu sisi, memang menyakitkan melihat tekornya neraca dagang kita, tetapi di sisi yang lain, kita bisa melihat ongkos produksi dari industri yang berangsur turun akibat mendapatkan barang modal dan barang baku yang memadai dan murah.
Dengan demikian, meski tekor dengan China, kita bisa untung besar di tempat yang lain. Ini adalah cara perdagangan internasional bekerja dalam satu rantai produksi yang saling terhubung. Nyatanya, selama pandemi justru neraca dagang kita surplus tebal hingga 19,69 miliar dollar AS, tertinggi sejak 2012.
Lebih lanjut, kita tidak mungkin membahas perdagangan tanpa membahas investasi karena keduanya secara simultan saling terhubung. Potensi Investasi China ke Indonesia cukup besar, bahkan berdasarkan laporan terbaru dari Fitch Solutions, proyek infrastruktur China di ASEAN tercatat paling banyak dikerjakan di Indonesia. Nilai proyek China di Indonesia sebesar 93 miliar dollar AS atau 36 persen dari keseluruhan proyek infrastruktur China yang dikerjakan di Asia Tenggara.
Salah satu proyek paling besar yang sedang dikerjakan China di Indonesia adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air Sungai Kayan senilai 17,8 miliar dollar AS. Selain itu, beberapa Proyek China yang cukup signifikan, di antaranya adalah proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), Bendungan Pelosika di Sulawesi Tenggara, serta proyek Jembatan Surabaya Madura yang terinspirasi oleh Chongqing Chaotianmen Yangtze River Bridge.
Bahkan, pada tahun 2020, kedua negara telah bekerja sama secara erat, dalam bentuk pengiriman bantuan, seperti alat pelindung diri (APD), testing kit, dan peralatan medis lainnya. Pandemi justru memunculkan peluang tumbuhnya sektor baru yang saat ini industri farmasi kedua negara juga telah menjalin kerja sama yang cukup erat.
Meski sudah cukup progresif, tetap ada pekerjaan rumah. Yang menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi Indonesia adalah tentunya untuk meningkatkan daya saing serta penetrasi produk kita di pasar China. Meski menjadi negara terbesar di ASEAN, dari sisi peringkat lalu lintas perdagangan dengan China, Indonesia harus takluk dari Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ini adalah pekerjaan terbesar kita sebagai bangsa dan tentunya pemerintah sudah mawas diri serta awas atas segala hambatan dan peluang yang mendera.
Indonesia bisa mengisi peluang tersebut sehingga bisa lebih berpartisipasi dengan jaringan rantai produksi China.
Investasi pemerintah di infrastruktur, pembangunan ekosistem berkelanjutan melalui Omnibus Law adalah beberapa langkah pemerintah untuk bisa menangkap peluang yang terserak. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo, pandemi yang kita alami sekarang justru menghadirkan peluang. Efisiensi kerja dan limpahan manfaat dari jaringan rantai produksi regional yang sedang mencari keseimbangan baru, jangan sampai momentum ini terlepas lagi.
China dalam hal ini bisa menghadirkan peluang limpahan momentum tersebut, apalagi mereka memang sedang menanjak ke level yang selanjutnya, yaitu mencipta produk yang berteknologi tinggi. Dengan demikian, mereka meninggalkan ceruk peluang yang menganga lebar di produk yang kategorinya menengah ke bawah.
Indonesia bisa mengisi peluang tersebut sehingga bisa lebih berpartisipasi dengan jaringan rantai produksi China. Hal ini juga bisa terlihat dari data trade complementary index yang menunjukkan bahwa produk Indonesia dan China semakin lama semakin komplementer alias bisa saling melengkapi.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan mandek dalam kategori produk menengah ke bawah ini? Jawabannya adalah tergantung usaha kita sendiri. Belajar dari China, mereka pernah menjadi negara tier kedua dalam jaringan rantai produksi Jepang sebagaimana dideskripsikan dalam model angsa terbang Akamatsu (Akamatsu Flying Geese Model).
Namun, sebagaimana yang kita lihat, China kini sudah bisa mencorong sendiri dengan jaringan produksi mereka sendiri dan bahkan menjadi kiblat produksi baru. Jika kita mampu menangkap tumpahan kapasitas teknis dan teknologi sebagai akibat keterlibatan kita dengan rantai produksi tersebut, bukan tidak mungkin nanti Indonesia juga akan menjadi kutub baru dunia dalam hal produksi barang-barang yang bernilai tambah tinggi.
Banyak hal yang sudah dicapai dari 70 tahun hubungan Indonesia dan China, tetapi perjalanan belum selesai. Ke depan, Indonesia masih bisa berharap banyak dari China sebagaimana China juga bisa mengandalkan Indonesia untuk saling menguatkan dalam konteks perdagangan dan partisipasi dalam rantai produksi regional. Karena sebagaimana pepatah Barat mengatakan bahwa a friend in need is a friend indeed.
(Agus Suparmanto Menteri Perdagangan Republik Indonesia)
Konten ini merupakan kolaborasi Harian Kompas dan Kedutaan Besar China