Kasus alergi vaksin korona di Inggris dan Amerika Serikat menyurutkan keberanian sebagian orang. Menurut para ahli, vaksin Covid-19 cukup aman dan besar manfaatnya. Namun, pemberian vaksin harus dilakukan secara aman.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Kasus kejadian tak diinginkan berupa alergi vaksin Covid-19 di Inggris dan Amerika Serikat membuat sebagian orang menjadi ragu untuk menerima vaksinasi.
Pada penyuntikan hari pertama di Inggris, dua petugas kesehatan mengalami reaksi alergi. Menurut berita BBC, 9 Desember 2020, kedua orang itu memang memiliki riwayat alergi berat sehingga harus membawa zat adrenalin (epinephrine pen) ke mana-mana. Setelah dirawat, keduanya pulih kembali.
Badan Pengawas Produk Kesehatan dan Obat (MHRA) Inggris menyatakan, orang dengan riwayat reaksi anafilaksis atau alergi parah terhadap vaksin, obat atau makanan, sebaiknya tidak diberi vaksin virus korona Pfizer-BioNTech.
Di AS, demikian dikatakan CBSNews, 20 Desember 2020, alergi setidaknya dialami tiga petugas kesehatan di Alaska. Satu di antaranya mengalami reaksi anafilaksis serius. Padahal, dia tidak memiliki riwayat alergi. Reaksi alergi mereka juga telah diatasi dengan baik.
Kejadian tak diinginkan tak bisa dihindarkan sepenuhnya. ”Setiap obat ataupun vaksin tidak terlepas dari efek yang tidak diinginkan,” kata Stephen Evans, Guru Besar London School of Hygiene & Tropical Medicine, Inggris, seperti dikutip BBC. ”Disebut aman jika manfaatnya jauh lebih besar dibandingkan efek tidak diinginkan.”
Menurut Perhimpunan Alergi, Asma, dan Imunologi Amerika (ACAAI), setiap tahun ada 235 juta dosis vaksin disuntikkan di AS. Hanya satu per sejuta dosis yang memicu reaksi anafilaksis. Kematian akibat anafilaksis dari vaksin sangat jarang.
Hanya satu per sejuta dosis yang memicu reaksi anafilaksis. Kematian akibat anafilaksis dari vaksin sangat jarang.
Reaksi alergi terhadap vaksin lebih sering disebabkan oleh komponen vaksin dibandingkan agen pemicu kekebalan. Komponen vaksin itu antara lain gelatin yang berfungsi sebagai penstabil, protein telur, ragi, lateks (pada tutup botol atau alat suntik), neomisin, dan timerosal.
Namun, vaksin Pfizer disebut tidak menggunakan pengawet ataupun penstabil karena itu perlu disimpan pada suhu minus 70 derajat celsius. Hasil uji klinis vaksin Pfizer, dari sekitar 22.000 sukarelawan yang disuntik kurang dari 1 persen memiliki kemungkinan reaksi alergi terhadap vaksin. Menurut para ahli, risiko itu sangat kecil dibandingkan manfaat vaksin.
ACAAI dan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS menyatakan, risiko orang-orang dengan alergi terhadap obat, makanan, hirupan, gigitan serangga, dan lateks terkait vaksin Pfizer-BioNTech sama dengan masyarakat umum. Hanya mereka dengan riwayat reaksi alergi berat terhadap polietilen glikol tidak direkomendasikan untuk divaksinasi.
Menurut Direktur Pusat Penelitian dan Evaluasi Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS Peter Marks, polietilen glikol, bahan dalam vaksin Covid-19 buatan Pfizer serta Moderna, diperkirakan sebagai penyebab reaksi alergi.
CDC menjelaskan, setelah divaksinasi, orang bisa mengalami sejumlah efek samping yang merupakan reaksi normal terkait respons kekebalan tubuh dan proses pembentukan antibodi, misalnya nyeri atau bengkak di tempat suntikan, demam, kelelahan, sakit kepala, serta sedikit flu. Hal itu akan hilang dalam beberapa hari.
CoronaVac
Berbeda dengan vaksin Pfizer dan Moderna yang dibuat dari potongan kode genetik (mRNA) protein paku SARS-CoV-2, CoronaVac dibuat dari virus utuh yang diinaktivasi.
Laporan Fengcai Zhu dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Jiangsu, Nanjing, China, dan kolega di jurnal The Lancet Infectious Diseases, 17 November 2020, menyatakan, CoronaVac mampu memicu respons kekebalan tubuh pada orang dewasa sehat berusia 18-59 tahun.
Saat uji klinis gabungan tahap 1 dan 2, satu sukarelawan mengalami reaksi alergi parah dalam waktu 48 jam setelah dosis pertama. Diperkirakan terkait dengan vaksin. Sukarelawan itu dirawat dan pulih dalam tiga hari. Pada suntikan kedua, sukarelawan tersebut tidak menunjukkan reaksi alergi. Sebagian besar sukarelawan lain hanya mengalami reaksi ringan seperti nyeri di tempat suntikan dan demam yang reda setelah 48 jam.
Titer antibodi yang diinduksi CoronaVac berkisar 23,8-65,4. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan antibodi yang terbentuk pada penderita Covid-19 (rata-rata 163,7). Namun, para peneliti yakin CoronaVac dapat memberi perlindungan cukup baik terhadap Covid-19 berdasarkan pengalaman dengan vaksin enterovirus 71 dan cacar air serta data dari uji praklinis terhadap kera.
Kesimpulannya, CoronaVac ditoleransi dengan baik dan menimbulkan respons kekebalan tubuh terhadap SARS-CoV-2. Hal ini mendukung persetujuan penggunaan darurat CoronaVac di China dan uji klinis fase 3. Sementara efikasi atau kemanjuran CoronaVac untuk melindungi dari Covid-19 masih diteliti.
Hal senada dikemukakan Ketua Tim Uji Klinis Tahap 3 CoronaVac di Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil dalam seminar daring tentang vaksin, Selasa (15/12/2020). Menurut dia, sejauh ini uji klinis aman. Efek samping hanya sedikit bengkak dan nyeri di tempat suntikan dan demam ringan.
Jika kelak vaksin disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk memastikan keamanan, sebaiknya vaksinasi dilakukan sesuai rekomendasi CDC dan ACAAI, yakni dilaksanakan di fasilitas layanan kesehatan yang dilengkapi dengan peralatan dan obat yang memadai, seperti epinefrin, antihistamin, stetoskop, alat pengukur tekanan darah dan detak jantung. Setelah disuntik, orang perlu menunggu 20-30 menit untuk dipantau kemungkinan efek samping. Seandainya terjadi reaksi anafilaksis, epinefrin berfungsi sebagai pengobatan lini pertama.