Perempuan dalam Pusaran Pandemi
Dalam jangka pendek, tak ada salahnya jika laki-laki mau berbagi beban secara lebih seimbang dengan perempuan dalam menangani tugas-tugas domestik.
”Dampak krisis tidak pernah netral-jender, dan Covid-19 bukan merupakan pengecualian”. Demikian kalimat pembuka yang dibuat oleh UN Women (entitas PBB untuk kesetaraan jender) di sebuah publikasinya.
Beberapa studi terkini mendukung sinyalemen ini. Salah satunya, studi UNDP dan Lembaga Demografi UI yang pada intinya menyatakan bahwa ada beberapa kelompok yang mengalami dampak lebih besar dibandingkan yang lain, di antaranya adalah perempuan.
UN Women mengidentifikasi beberapa situasi di pasar kerja global terkait perempuan akibat pandemi. Pertama, setidaknya 70 persen tenaga kesehatan di garda depan penanganan Covid-19 adalah perempuan. Jelas bahwa mereka merupakan kelompok yang sangat rentan. Belum lagi jam kerja berlebih yang menjadi tuntutan tak terelakkan di masa pandemi.
Beratnya beban tenaga kesehatan perempuan ini terasa ironis karena adanya kesenjangan penghasilan secara jender di sektor ini.
Beratnya beban tenaga kesehatan perempuan ini terasa ironis karena adanya kesenjangan penghasilan secara jender di sektor ini. UN Women mencatat, rata-rata tenaga kesehatan perempuan dibayar 28 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kesenjangan ini bahkan lebih tinggi daripada perbedaan upah secara umum menurut jenis kelamin (16 persen).
Kedua, pekerja perempuan dan usaha kecil yang dikelola perempuan juga merupakan kelompok yang paling terdampak. Di Eropa dan Asia Tengah, 25 persen perempuan kehilangan kerja akibat Covid-19. Untuk laki-laki, angkanya 21 persen.
Ketiga, secara keseluruhan terdapat 75 persen pekerja domestik berbayar (misalnya: asisten rumah tangga) yang kehilangan pekerjaan. Sekitar 80 persen mereka perempuan.
Keempat, pandemi dianggap berdampak signifikan terhadap beban perempuan untuk melakukan pekerjaan domestik (tak berbayar). Rata-rata perempuan menghabiskan 4,1 jam sehari untuk pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki 1,7 jam.
Terakhir, dampak pandemi yang tak sama secara jender ini dianggap akan dirasakan lebih lama dibandingkan dampak akibat pandemi itu sendiri. Jika tak diantisipasi sejak awal, dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat akan sangat besar dan perlu waktu lama untuk mengoreksinya.
Situasi Indonesia
Meskipun cakupan informasinya masih relatif terbatas, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis BPS awal November 2020 memberikan gambaran apa yang terjadi di pasar tenaga kerja, khususnya bagi perempuan. Akibat pandemi, angka pengangguran Indonesia naik dari 5,23 persen (2019) ke 7,07 persen (2020).
Kenaikan ini ternyata tak sama antara laki-laki dan perempuan. Untuk perempuan, angka pengangguran naik dari 5,22 persen menjadi 6,46 persen, lebih rendah dibandingkan laki-laki (dari 5,24 persen ke 7,46 persen).
Gambaran serupa juga terlihat dalam perkembangan angka setengah penganggur. Untuk perempuan, naik dari 6,25 persen ke 9.30 persen. Cukup besar, tetapi tak sebesar untuk angkatan kerja laki-laki, dari 6,52 persen ke 10,77 persen.
Ketiadaan tunjangan penganggur dan tingginya peranan sektor informal membuat banyak orang berstatus bekerja tetap miskin.
Fakta itu seolah menunjukkan dampak pandemi pada perempuan di pasar kerja tak sebesar laki-laki. Kenyataannya tak demikian. Seperti gambaran umum di negara berkembang, status pengangguran tak secara baik mencerminkan ”penderitaan ekonomi”. Ketiadaan tunjangan penganggur dan tingginya peranan sektor informal membuat banyak orang berstatus bekerja tetap miskin.
Oleh karena itu, perlu dilihat indikator lain. Salah satunya, status pekerja. Dalam kurun 2019-2020, persentase perempuan yang bekerja di sektor formal ternyata turun dari 39,2 persen menjadi 34,6 persen, lebih besar daripada laki-laki. Hal itu konsisten dengan temuan UN Women bahwa secara global unit usaha yang terdampak pandemi sebagian besar mempekerjakan perempuan.
Data ini menunjukkan, pandemi memaksa banyak tenaga kerja perempuan keluar dari sektor formal, beralih ke sektor informal. Selain karena terbatasnya lapangan kerja formal di masa pandemi, sektor informal jadi pilihan karena memiliki pengaturan waktu lebih fleksibel sehingga memungkinkan perempuan mengalokasikan waktu dan perhatian ke urusan domestik dan pekerjaan.
Budaya yang menganggap pekerjaan domestik tanggung jawab perempuan diduga berperan besar dalam ketimpangan alokasi waktu antara laki-laki dan perempuan. Meski di masa pandemi banyak laki-laki yang (bekerja) di rumah, alokasi waktu mereka untuk pekerjaan domestik masih jauh lebih rendah dibandingkan perempuan.
Selain menyebabkan banyak pekerja formal perempuan beralih ke informal, pandemi juga membuat banyak perempuan berstatus bukan angkatan kerja memutuskan terjun ke pasar kerja. BPS mencatat tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan naik dari 51,81 persen (2019) ke 53,13 persen.
Kenaikan 1,32 poin ini sangat besar karena periode sebelum 2018-2019, kenaikan hanya 0,01 persen. Perekrutan pekerja baru di masa pandemi sangat terbatas sehingga kuat dugaan mereka masuk ke sektor informal.
Bersama-sama pekerja formal yang terpaksa beralih ke sektor informal, masuknya angkatan kerja perempuan baru ke sektor tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pekerja informal dan pekerja tidak penuh. Akibat pandemi, proporsi pekerja informal naik dari 55,86 persen ke 60,47 persen. Sementara, jumlah pekerja tak penuh bertambah 9,15 juta.
Yang diperlukan adalah penajaman skema untuk memberi perhatian lebih besar pada kelompok yang terdampak lebih besar.
Skema khusus
Berbagai skema bansos dan stimulus ekonomi yang dirancang dan diimplementasikan pemerintah di masa pandemi (2020) sebenarnya sudah cukup lengkap. Semua sisi dibidik, mulai dari upaya mempertahankan daya beli hingga menjaga agar dunia usaha tetap bisa beroperasi, termasuk usaha kecil/mikro dan informal. Yang diperlukan adalah penajaman skema untuk memberi perhatian lebih besar pada kelompok yang terdampak lebih besar.
Penyusunan desain implementasi yang sensitif terhadap perbedaan dampak antarkelompok jadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Dengan demikian, program itu diharapkan tak hanya mampu memecahkan masalah ekonomi jangka pendek, tetapi juga meminimalkan dampak jangka panjang pandemi.
Salah satu alternatif, bantuan khusus (di luar skema umum) untuk usaha mikro dan kecil yang dikelola perempuan. Juga skema bantuan bagi rumah tangga yang dikepalai perempuan dan tenaga kesehatan perempuan.
Masyarakat juga mesti ikut berperan, karena apa yang terjadi pada perempuan di pasar kerja juga berpengaruh terhadap rumah tangga. Dalam jangka pendek, tak ada salahnya jika laki-laki mau berbagi beban secara lebih seimbang dengan perempuan dalam menangani tugas-tugas domestik.
(EDY PRIYONO
Dosen FEB Universitas Indonesia
dan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden)