Pandemi Covid-19 Mengancam Kelompok Marjinal
Pandemi mengancam kemajuan pengendalian penyakit menular. Bagi Indonesia yang memiliki beban tinggi kasus HIV-AIDS, tuberkulosis, dan malaria, hal ini penting diperhatikan. Perlu upaya komprehensif untuk mengatasinya.
Pandemi tidak hanya mengancam akses pelayanan kesehatan dan obat bagi orang dengan HIV-AIDS (ODHA), penderita tuberkulosis, dan malaria, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup sehari-hari.
Penyebabnya, mereka umumnya masyarakat marjinal dan bekerja di sektor informal. Pandemi membuat mereka kehilangan sumber pendapatan. Jangankan pergi ke fasilitas layanan kesehatan untuk kontrol dan mendapat obat, untuk hidup sehari-hari saja mereka kesulitan pangan dan terancam kehilangan tempat tinggal.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan dunia (WHO), Indonesia menempati peringkat tertinggi ketiga terkait angka kejadian tuberkulosis. Insidensi tuberkulosis di Indonesia tahun 2018 adalah 316 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 845.000 penderita tuberkulosis pada 2018, tetapi baru terlaporkan 569.899 kasus. Artinya, masih banyak penderita yang belum terjangkau diagnosis dan pengobatan.
Menurut WHO, setiap tahun, sekitar 1,7 juta orang meninggal akibat tuberkulosis di dunia. Kematian akibat tuberkulosis di Indonesia 92.700 orang per tahun atau sekitar 11 orang per jam.
Estimasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, ada 543.100 orang dengan HIV-AIDS. Yang terdiagnosis 398.784 orang, pernah diobati 249.263 orang, dan yang masih mendapat terapi ARV 135.400 orang.
Baca juga : Resistensi Antiretroviral dan Ancaman Covid-19
Tanpa ada pandemi pun pengendalian HIV-AIDS dan tuberkulosis untuk mencapai sejumlah target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menjadi tantangan di Indonesia.
Sementara itu, sejumlah wilayah, terutama Indonesia timur, masih endemis malaria. Kemenkes mencatat, tahun 2019 ada 250.644 kasus malaria.
Kondisi layanan kesehatan
Penilaian kesiapan layanan kesehatan untuk HIV, TB, malaria, dan imunisasi anak tahun 2018 yang didanai Bank Dunia, AusAid, Dana Global (GF), dan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (Gavi) mendapati, layanan untuk HIV, pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PMTCT), tuberkulosis, dan malaria lebih banyak berlangsung di fasilitas layanan kesehatan pemerintah.
Pendanaan untuk mengatasi masih tergantung bantuan internasional, yakni Dana Global untuk Mengatasi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (GFATM). Untuk meningkatkan cakupan, perlu penguatan dengan menambah alokasi dana dari pemerintah pusat dan daerah.
Pendanaan untuk mengatasi masih tergantung bantuan internasional, yakni Dana Global untuk Mengatasi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (GFATM). Untuk meningkatkan cakupan, perlu penguatan dengan menambah alokasi dana dari pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, partisipasi swasta perlu didorong untuk memberi layanan kesehatan terkait HIV, tuberkulosis, dan malaria.
Pandemi menyebabkan pengalihan perhatian, alat dan tenaga kesehatan, serta dana untuk mengatasi Covid-19. Ditambah gangguan rantai pasokan obat, hal itu akan mengancam kualitas layanan kesehatan dan menyebabkan kemunduran pencapaian penanggulangan HIV, tuberkulosis, dan malaria.
Baca juga : Perkembangan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Saat Ini
Di sisi lain, pasien tidak berani datang ke puskesmas dan rumah sakit karena khawatir terpapar virus penyebab Covid-19. Dosis obat yang terlewat bahkan putus obat bisa memperburuk kondisi pasien tuberkulosis ataupun HIV dan meningkatkan resistensi obat. Itu meningkatkan kerentanan tertular Covid-19.
Pandangan Vineet Bhatia dan kolega dari WHO Regional Office of South-East Asia (SEARO) yang dimuat di WHO South-East Asia Journal of Public Health, September 2020, memaparkan, bangsal isolasi pasien tuberkulosis yang resisten obat dan rumah sakit yang memiliki fasilitas isolasi pernapasan kini diprioritaskan untuk merawat pasien Covid-19.
Pasien tuberkulosis yang dirawat di rumah sakit harus berbagi persediaan ventilator yang terbatas dengan pasien Covid-19 yang mengalami gagal napas. Dikhawatirkan angka kematian akan meningkat pada pasien yang kebutuhan ventilatornya tidak dapat dipenuhi.
Pembatasan jam kerja puskesmas dan fokus rumah sakit untuk menangani Covid-19 juga mengurangi akses diagnosis dan pengobatan penderita malaria.
Masalah lain yang menghambat pasien HIV dan tuberkulosis untuk kontrol dan mengambil obat ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) adalah kondisi sosial ekonomi yang merosot drastis diterjang badai pandemi. Meskipun obat diperoleh secara gratis, mereka tak mampu membayar ongkos transportasi ke puskesmas atau rumah sakit. Lebih parah lagi, mereka tidak mampu membayar iuran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat untuk periksa ke rumah sakit.
Baca juga : Pandemi Hambat Akses Layanan HIV/AIDS
Sejumlah rumah sakit yang sebelumnya menangani ODHA kini difokuskan melayani pasien Covid-19. Layanan untuk HIV dipindahkan ke rumah sakit lain. Tenaga kesehatan yang menangani pun berganti. Bagi yang tidak biasa menangani, masih ada stigma pada ODHA. Pendamping dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Nining Ivana, menuturkan, sempat ada perempuan hamil ditolak oleh tenaga kesehatan karena positif HIV (Kompas, 2/12/2020).
Hasil survei Jaringan Indonesia Positif (JIP) didukung Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mengatasi HIV-AIDS (UNAIDS) dan WHO mendapati, meski secara umum tidak mengalami masalah akses layanan kesehatan, banyak ODHA terdampak secara sosial ekonomi. Survei dilaksanakan dua kali, akhir Maret dan akhir Agustus, dengan lebih dari 1.000 responden dari 196 kabupaten/kota di Indonesia (Kompas, 1/12/2020).
Jumlah ODHA yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangan meningkat. Kalau di bulan Maret ada 236 orang, Agustus naik menjadi 474 orang. Yang kehilangan sumber pendapatan naik dari 275 orang menjadi 458 orang. Pada Agustus, 200 responden mengaku tidak mampu lagi membayar sewa rumah dari sebelumnya hanya 48 orang. Hanya 54 persen ODHA yang mendapat bantuan sosial, baik dari pemerintah, organisasi komunitas, maupun lembaga swadaya masyarakat.
Masalah yang krusial pada populasi kunci ialah populasi yang berisiko tinggi terkena HIV-AIDS, seperti transpuan (waria), pekerja seks, pengguna napza jarum suntik, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, banyak yang tidak memiliki dokumen kependudukan. Hal itu menyulitkan mereka mendapat bantuan pemerintah dan layanan kesehatan. Karena itu, penting ada terobosan dari pemerintah yang memungkinkan populasi kunci mendapatkan dokumen kependudukan.
Upaya mengatasi
Pemerintah menyediakan obat ARV dan tuberkulosis secara gratis melalui puskesmas atau rumah sakit. Stok obat yang sempat terganggu di awal pandemi kini berangsur normal. Kemenkes juga menyosialisasikan aturan peresepan obat bagi pasien untuk dua bulan, bukan dua minggu seperti sebelum pandemi. Hal ini untuk mengurangi kunjungan pasien ke fasyankes.
Hambatan untuk datang ke fasyankes seharusnya bisa diatasi dengan kemajuan teknologi. Misalnya, telekonsultasi melalui aplikasi telepon pintar ataupun pesan singkat. Di DKI Jakarta, sudah tersedia layanan pengiriman obat meskipun belum semua fasyankes melakukan.
Baca juga : Tugas Berat Mengakhiri Beban Tuberkulosis
Pemerintah perlu meningkatkan upaya dan memperluas layanan pengiriman obat di seluruh wilayah. Penting untuk memperbaiki layanan HIV pada populasi risiko tinggi, juga tuberkulosis, sehingga tidak putus obat. Ini untuk mencegah peningkatan kasus resistensi obat yang bisa menghambat eliminasi penyakit.
Menurut WHO SEARO, perlu pendekatan komprehensif dan lintas sektor. Selain akses pada layanan kesehatan, untuk meminimalkan dampak sosial ekonomi dan mencegah kurang gizi akibat pandemi, sistem dukungan pasien seperti bantuan tunai dan pangan juga perlu dibuat lebih efisien dalam mengindentifikasi penerima bantuan serta menghilangkan hambatan birokrasi.