Natal juga menjadi momen untuk merefleksikan kehadiran teknologi komunikasi yang terus saja melaju tak terkendali. Kebutuhan akan teknologi komunikasi modern itu sesuatu yang pasti, ada pandemi atau tidak ada pandemi.
Oleh
STEPH TUPENG WITIN
·5 menit baca
Pada hari Natal, 25 Desember 1948, Romo Soegijapranata (1896-1963) tetap menjalankan tugasnya sebagai pemimpin umat Katolik. Dalam masa perang itu, saban hari siapa saja bisa mati terbunuh. Romo Soegija selalu diliputi perasaan harap-harap cemas. Dia menerima beberapa kabar buruk soal orang-orang yang terbantai.
Menurut catatan Anhar Gonggong dalam Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara (2012), setelah Yogyakarta diduduki Belanda dan karena sulitnya perekonomian, Romo Soegija menganjurkan umat Katolik agar tidak bermewah-mewahan dalam merayakan Natal. Anjuran Romo Soegija tersebut merupakan intisari perayaan Natal yang sejalan dengan konteks masa perang itu.
Narasi natal sekurang-kurangnya merefleksikan dua hal yang relevan. Pertama, Natal adalah sebuah momen radikal di mana Allah memilih jalan sahaja untuk masuk ke dalam sejarah dunia.
Kesahajaan jalan Allah itu direpresentasikan melalui simbol sosok Tuhan Yesus, seorang bayi lemah, Yusuf dan Maria yang berasal dari dusun terpencil Nazareth, goa Betlehem yang kotor, palungan tempat makan domba yang berbau dan para gembala yang menerima warta kelahiran Kristus. Allah membahasakan solidaritas, bela rasa, dan pemihakan pada kaum kecil yang selalu tersingkir dalam persaingan hidup.
Kedua, melalui Natal, Allah merajut kembali relasi dengan manusia yang terputus akibat dosa. Allah berkomunikasi secara langsung dengan manusia, citra-Nya sendiri walau dicemari lumpur dosa. Martabat manusia disucikan dan eksistensinya dimuliakan.
Maka pemusnahan hidup manusia atas nama apapun dan perusakan lingkungan dengan dalih apa pun adalah dosa.
Allah hendak mengatakan bahwa manusia tetap berharga di mata-Nya. Jalan kemanusiaan ini merupakan dukungan bagi keberlanjutan hidup manusia di tengah dunia, tempat ia menenun hidup. Sebuah ajakan bagi segenap manusia agar merawat kehidupan (manusia dan lingkungan) karena Tuhan telah menyucikannya. Maka pemusnahan hidup manusia atas nama apa pun dan perusakan lingkungan dengan dalih apa pun adalah dosa.
Natal tahun 2020 yang dirayakan di tengah masa pendemi Covid-19 menginspirasi kita untuk memperbarui praktik hidup beragama di tengah masyarakat. Dalam kumpulan esai Tumbal (1994), Romo Mangunwijaya mengkritik keras cara hidup beragama manusia yang terlalu ritual atau memisahkan antara ritual dan hidup aktual.
Padahal, ritual keagamaan adalah instrumen untuk mendorong manusia agar semakin mempunyai kekuatan dan keberpihakan pada masyarakat yang termarjinalkan. Ritual keagamaan tidak hanya sebatas membangun kesalehan privat-egoistik, tetapi juga mesti menggerakkan setiap orang untuk membangun kesalehan sosial melalui kepekaan yang kritis dengan membaca tanda-tanda zaman dan terlibat mencari jalan penyelesaian yang manusiawi.
Jalan kemanusiaan ini merupakan panggilan untuk berpartisipasi dalam ranah kehidupan berbangsa. Partisipasi berasal dari kata Latin: pars artinya bagian. Setiap orang dengan latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam berupaya menyumbangkan bagian (pars) masing-masing untuk membangun kemaslahatan bersama (bonum commune).
Kiblat ini akan tergapai ketika Tanah Air Indonesia menjadi rumah bersama yang damai dan tenteram. Setiap anak bangsa saling menerima, mengasihi, dan bersaudara. Neti, gambaran perempuan generasi pasca-Indonesia yang tumbuh dalam era teknologi serba canggih dalam novel Burung-Burung Rantau (2016) karya Mangunwijaya, melukiskan Tanah Air sebagai tempat penindasan diperangi, tempat perang diubah menjadi kedamaian. Tempat kawan manusia diangkat menjadi manusiawi oleh siapa pun yang ikhlas berkorban.
Patriotisme
Patriotisme Natal yang relevan dan signifikan masa kini adalah solidaritas dengan yang lemah, hina, miskin, dan tertindas. Kelompok ini dilukiskan Mangunwijaya dalam kumpulan cerita pendek Rumah Bambu (2000) sebagai orang-orang kalah yang terpaksa mengisi spasi antara kelahiran dan kematian dengan hanya bertahan serta menelan kepahitan dan kekalahan.
Mereka tersingkir dan dipinggirkan akibat buasnya jagat kapitalistis yang didominasi orang-orang kaya dan kroni-kroninya. Walau dilabeli orang-orang kecil, kalah dan tak mampu, mereka menghadirkan nilai kesetiaaan, pengorbanan, solidaritas, harapan, religiositas, dan kejenakaan di antara mereka.
Ada pesan solidaritas kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat primordial.
Mungkin saja kenyataan ini dianggap sepele oleh sebagian orang. Maka, Natal mesti membuka mata hati dan mengasah nurani yang sekian lama ditumpulkan oleh kebuasan zaman. Ada pesan solidaritas kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat primordial.
Siapa pun mesti selalu tergerak hati nuraninya untuk mengulurkan tangan kepada sesama yang menderita. Bantuan, walau sangat kecil, sangat bermakna bagi mereka yang sangat membutuhkan (Setyo Budiantoro: 2000).
Natal juga menjadi momen untuk merefleksikan kehadiran teknologi komunikasi yang terus saja melaju tak terkendali. Kebutuhan akan teknologi komunikasi modern itu sesuatu yang pasti, mau ada pandemi atau tidak ada pandemi. Teknologi komunikasi itu menembus sekat atau tembok sekuat apa pun, baik tembok ratapan di Yerusalem maupun tembok China.
Akan tetapi, teknologi semaju apa pun dia hanya alat yang sekadar membantu kerja manusia. Dia tidak akan menggantikan relasi kemanusiaan (human connection) sebagai sesuatu yang melekat dengan keberadaannya di tengah dunia. Alat-alat komunikasi tersebut mesti membantu kita untuk lebih manusiawi.
Hidup manusia modern sekarang ini ditentukan oleh huruf ”e”: e-library, e-mail, e-book, e-elektronik, dan sebagainya. Namun, kemajuan teknologi komunikasi semodern apa pun selalu menyisakan sisi negatif. Orientasi hidup para generasi milenial sangat kuat pada teks, tetapi sangat lemah pada konteks. Fakta ini terkait meaning, makna.
Hidup yang bermakna berimbang (balance) mesti diletakkan pada konteks. Konteks yang bermakna akan menerangi intensi yang menuntun kita melakukan sesuatu yang bernilai abadi. Natal mesti mendorong kita merekoneksi kembali relasi-relasi manusiawi yang sekian lama terlupakan yang salah satunya disebabkan dominasi teknologi komunikasi modern.
Alat-alat komunikasi modern tidak pernah boleh dan tidak pernah akan meniadakan relasi kemanusiaan.
Alat-alat komunikasi modern tidak pernah boleh dan tidak pernah akan meniadakan relasi kemanusiaan. Mestinya alat-alat komunikasi itu semakin merekatkan relasi antarmanusia, bukan menegasikannya.
Akhirnya, pendidikan menjadi tonggak ziarah menuju masa depan (education is the future) sebagai senjata ampuh melawan hoaks dan berita palsu (era post truth). Pendidikan sebagai proyek masa depan mesti menggerakkan kita untuk merajut jejaring toleransi antar-sesama makhluk.
Kita butuh keterbukaan untuk dapat belajar memperkaya wawasan dari orang lain dan semangat pengorbanan untuk membahagiakan orang lain. Basisnya adalah kasih yang tulus. Semua agama mengajarkan hal tersebut. Damai hanya sekadar omong kosong besar di tengah badai represi hoaks, fitnah, narasi kebencian, dan provokasi makar yang menghancurkan bangunan keluarga bangsa.