Penanggalan yang Tersayat Menyambut Matahari Baru
Selalu ada matahari baru di ufuk timur, pertanda hidup harus terus. Terus sampai ke batas paling mustahil dari perjalanan manusia. Selamat Tahun Baru 2021.
Ketika ingin merobek lembar terakhir kalender di dinding, mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba membayang lebih dari 77 juta orang harus tumbang, tak mampu menahan gempuran badai virus terburuk dalam sejarah peradaban manusia.
Lembar-lembar kalender yang terpajang sejak Januari 2020 adalah catatan-catatan duka, yang entah kapan akan berakhir. Aku tak begitu yakin, ketika kau menggantung kalender baru tahun 2021, semua tragedi ini akan berakhir.
Bahkan ketika vaksin ditemukan dan diinjeksikan ke dalam tubuhmu, aku juga belum benar-benar percaya bahwa badai ini akan reda. Ada sayat-sayat luka yang makin hari makin menganga dan membuat diri oleng ketika berdiri di atas gigir jurang yang terjal.
Ketakyakinan itu diperburuk oleh realitas absurd yang terus-menerus membetot kepalaku. Gambar-gambar tentang jenazah yang jumlahnya melebihi 1,7 juta berdesak-desakan di pemakaman.
Baca juga: Isyarat Hujan di Bulan Desember
Kematian yang begitu cepat dan tiba-tiba selalu menjadi ruang asing, yang hampir-hampir tak mampu kau jangkau dengan akal-pikiranmu. Bahkan untuk berziarah pun kau tak mampu melakukannya. Padahal, bukankah hanya itu yang bisa kita persembahkan untuk menghormati kematian?
Apa artinya matahari baru di timur jika harapan pun hampir-hampir kau tak memilikinya? Setiap pagi kudengar para pendeta mengumandangkan mantra suci untuk memuja cahaya: //Om Aditya sya param jyoti/rakta teja namo’stute/sweta pangkaja madhyastha/bhaskara ya namos’tute// (Om Tuhan dalam wujud Matahari, yang memberi kebahagiaan dan kesempurnaan/Engkau yang memerah di pagi hari, hamba memuja-Mu/Engkau mengambang dengan cahaya putih yang suci, hamba memuja-Mu/Engkaulah Sang Pemberi Cahaya kepadaku).
Sesungguhnya, kau tak hanya menanti matahari baru, yang selalu terbit di timur, tetapi juga menghormatinya sebagai pembawa harapan. Sesuatu yang selalu dibutuhkan untuk menjaga optimisme hidup, meneguhkan daya juang, pada lembar-lembar berikutnya dalam biografi kita masing-masing. Kini, optimisme dan daya juang itu seolah meredup justru pada saat kau dan aku menghadapi peristiwa terpenting dalam sejarah hidup manusia.
Apakah gunanya mantra suci seorang pendeta di tengah keredupan hati manusia? Barangkali kau ragu. Mantra bekerja dengan cara yang tak terjangkau oleh pikiranmu. Ia menyusup dari kedalaman hati untuk seterusnya menggema sebagai wujud rasa takzim dan syukur segenap makhluk, karena telah diberikan keberlimpahan hidup.
Kau tahu, cahaya yang berpendar dari matahari adalah kesyukuran pertama yang dikumandangkan dalam sejarah peradaban manusia. Jauh sebelum penanggalan tersusun seperti saat ini, kelompok-kelompok suku di masa lalu, menjadikan matahari sebagai kiblat hidup.
Baca juga: Makanan Terindah Oh Masa Lalu
Pada sebuah kota bernama Heliopolis, wilayah Yunani yang berada di Mesir, kira-kira pada tahun 1539-1075 SM, terdapat sebuah kuil penting untuk memuja Re, Dewa Matahari.
Konon, para pendeta di kuil itu begitu ”berkuasa” sehingga sangat menentukan kehidupan spiritual dan kerajaan pada masa itu. Mereka memuja matahari sebagai pemberi cahaya, yang dipercaya sebagai awal mula seluruh kehidupan di dunia.
Orang-orang Mesir Kuno sebenarnya sudah mengenal sebutan Atum untuk menyebut Dewa Matahari sebagai pencipta. Atum dipercaya sebagai representasi dewa pencipta yang lahir dari serpih-serpih matahari. Dua kepercayaan ini kemudian bertemu dan melahirkan sebutan Re-Atum.
Menurut kepercayaan ini, proses penciptaan alam semesta bermula dari Re, yang kemudian dari tubuhnya lahir dewa-dewa lainnya. Lewat lubang hidungnya lahir Dewa Shu (dewa udara kering), serta dari mulutnya lahir Dewi Tefnut (dewi udara basah).
Bahkan, kepercayaan ini menurunkan Re dalam beberapa wujud, Khepri (saat fajar); Aten (puncak langit); dan Atum (saat terbenam). Atum direpresentasikan sebagai sosok tua yang berjalan memakai tongkat, yang akan meregenerasi ulang setiap malam hari.
Pada masyarakat India dikenal sosok penting bernama Surya, sebutan untuk pemujaan terhadap Matahari. Mantra yang kau eja tadi berasal dari kitab suci Weda yang diturunkan sebagai pengetahuan kira-kira abad 1500-500 SM. Setidaknya mantra itu menjadi catatan penting, betapa matahari menempati posisi sentral dalam peradaban bangsa ini.
Baca juga: Maudy Berbicara kepada Pohon
Bahkan pada masyarakat Saura di India Utara, Dewa Surya diperlakukan sebagai dewa utama. Pada kenyataannya pun sampai kini, termasuk pada masyarakat Hindu di Indonesia, pemujaan terhadap Dewa Surya dilakukan setiap pagi, yang dikenal dengan ritual Surya Sewana.
Surya Sewana dilakukan oleh semua pendeta sebagai pemujaan terhadap Dewa Surya pada pagi hari saat-saat matahari memerah di ufuk timur. Pemujaan itu bertujuan membersihkan diri dengan perantara cahaya matahari pagi untuk memperoleh kekuatan batin, fisik, dan pikiran dalam melakukan perjalanan hidup sampai matahari benar-benar terbenam.
Pemujaan terhadap Dewa Surya juga terepresentasikan dalam Panca Sembah, yang menjadi inti dari persembahyangan orang-orang Hindu di Indonesia. Panca Sembah tak lain merupakan lima persembahan yang wajib dilakukan saat menggelar puja setiap hari.
Setelah pertama-tama memuja kebesaran Tuhan sebagai Ida Sang Hyang Widhi Wasa, umat kemudian memuja kebesaran Dewa Surya sebagai Siwa-Raditya, yang memberi kelimpahan kehidupan lewat cahaya. Bahkan, Bumi telah menerima cahaya matahari sebagai energi hidup, di mana serpih-serpih cahaya itu pun telah kau nikmati pula sebagai energi hidupmu.
Pemujaan terhadap matahari sebagai sumber cahaya mungkin juga kau kenal lewat agama tradisional masyarakat Jepang, Shinto. Dalam mitologi setempat, Matahari dikenal sebagai Amaterasu atau Dewi Matahari.
Pemujaan terhadap matahari bahkan berujung pada perunutan silsilah para kaisar Jepang, yang konon memiliki garis keturunan dari Amaterasu. Amaterasu disebutkan tak lain dari kakak Tsukuyomi (Dewa Bulan) dan Susanoo (Dewa Badai dan Laut).
Sebagai kami (dewa) terpenting dalam ajaran Shinto, Amaterasu menjadi pusat pemujaan di Jepang. Secara populer, walau relasinya masih perlu dicek, orang-orang China menyebut Jepang sebagai negeri tempat matahari terbit, lantaran posisinya berada di sebelah timur.
Baca juga: Ada Apa dalam Sate Lilit?
Pada abad ke-6 Masehi, Pangeran Shotoku yang banyak menyerap pengaruh dari China, kemudian menyebut negerinya dengan Nihon atau Nippon, negeri tempat asal-muasal matahari.
Pengisahan beberapa mitologi yang mengandung kepercayaan ini, sengaja aku beber di hadapanmu, karena ia bersangkut erat dengan penciptaan sistem penanggalan yang kini kau gantung atau letakkan di atas meja kerjamu.
Sistem kalender Masehi yang banyak dianut oleh berbagai bangsa di dunia, berasal dari masa empat abad silam. Kalender Masehi atau disebut pula Gregorian, pertama dikenalkan pada tahun 1542, yang disusun berdasarkan siklus revolusi Bumi terhadap Matahari.
Sistem ini sebenarnya adaptasi dari sistem yang telah disusun saat masa pemerintahan Kaisar Julius Caesar, yang menghitung waktu Bumi memutari Matahari berjumlah 365,25 hari. Caesar menambahkan satu hari di bulan Februari setiap empat tahun sekali, yang kini dikenal dengan tahun kabisat. Tetapi setelah digunakan, terjadi kesalahan perhitungan dalam kalender Julian ini.
Pada tahun 1570-an, kalender Julian melenceng dari tanggal matahari sebanyak 10 hari. Ini membuatnya tidak sinkron dengan musim dalam setahun. Bahkan dikhawatirkan, perhitungan ini membuat Hari Paskah terus menjauh dari tanggal yang seharusnya.
Oleh sebab itu, Paus Gregorius XIII membuat sistem penanggalan yang baru, yang kemudian kau kenal dengan kalender Gregorian atau Masehi. Kalender Masehi sepenuhnya menggunakan matahari sebagai pusat perhitungan hari.
Baca juga: Mak Erot dan Sindrom Maskulinitas
Berbeda dengan kalender Saka, yang memadukan sistem lunar (bulan) dan solar (matahari), kemudian dikenal sebagai tahun surya-candra. Kalender Saka dari India yang dibawa Aji Saka saat mendarat di Rembang pada 14 Maret 78, kemudian dimodifikasi oleh kalender Bali.
Perhitungan kalender Bali, menggunakan sistem surya-candra modifikasi, dengan memasukkan unsur-unsur perjalanan bulan dalam mengelilingi Bumi. Biasanya, dikenal dengan istilah Sapta Wara dan Panca Wara dan lebih populer dengan sebutan pawukon.
Kendati begitu, revolusi Bumi terhadap Matahari tetap menjadi pusat perhitungan hari dan bulan, selain revolusi Bulan terhadap Bumi. Sistem surya-candra kemudian diterjemahkan oleh satu lontar sangat terkenal bernama Wariga di Bali.
Pada Wariga kau tak hanya bisa menandai hari, tetapi lebih detail pada hari-hari baik untuk menggelar upacara atau bahkan hari baik untuk menanam padi dan memelihara hewan. Perhitungan pasang surut air laut sangat bisa ditandai dengan perhitungan secara pasti, yang dipengaruhi oleh gravitasi Bulan.
Kakek dulu, dikenal sebagai ahli Wariga, di mana banyak warga datang kepadanya untuk menanyakan kapan hari baik untuk menikahkan anak atau sekadar untuk memulai membangun rumah.
Jika kau hari-hari ini menanti matahari terbit dari timur untuk menyemai harapan baru, seharusnya tidak menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Jika seluruh media esok pagi, ketika memasuki tahun 2021, memunculkan gambar-gambar matahari terbit di ufuk timur, sekali lagi sesungguhnya bukan sesuatu yang benar-benar baru. Lembar-lembar sejarah yang kemudian disimplifikasi dalam kertas kalender, telah mencatat bahwa hari baru itu selalu digantungkan kepada sosok matahari.
Baca juga: Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Matahari pertama di pagi hari tahun 2021 akan menjadi hari paling menentukan dalam perjalanan waktu. Bumi akan memulai perjalanan baru dalam misinya mengelilingi matahari, yang akan terjadi selama 365 hari. Bulan pun demikian, dewi dengan wajah kemerahan ini akan memutari Bumi selama 27,3 hari.
Saat Bulan merevolusi Bumi akan tampak beberapa perubahan pada bagian yang terkena cahaya matahari. Oleh sebab itu, bentuk Bulan akan berubah-ubah yang disebut dengan perubahan fase. Pada saat perubahan fase ini, perjalanan Bulan mengelilingi Bumi menjadi lebih lama 29,5 hari.
Ketika Bumi dan Bulan memulai lagi ”perjalanan baru”, kau dan aku ingin merayakan tahun baru 2021 dengan penuh suka-cita, mungkin bahkan dengan ledakan kembang api di langit dalam berbagai wujud artistik yang mengagumkan.
Mungkinkah itu kita lakukan di tengah duka-cita tak berujung, di tengah berita dan cerita tentang keluarga, sahabat, dan orang-orang yang kita kenal, bertumbangan satu per satu?
Ketika aku bercerita kepadamu hari ini, saudaraku terkasih jurnalis kawakan Banu Astono tiba-tiba pergi untuk selamanya. Sebelumnya, mungkin banyak saudara atau kerabatmu meninggal karena serangan virus mematikan ini.
Apakah kita harus menyerah, padahal Bumi harus berputar mengitari Matahari agar kehidupan tak berhenti? Jangan membayangkan Bumi berhenti berjalan sebab itu akan menjadi sejarah buruk bagi keberlangsungan jagat raya.
Betapapun utopianya, harapan selalu menjadi cakrawala seperti kata-kata dari penyair legendaris WS Rendra.
Ketika para leluhur manusia menemukan sistem penanggalan, yang kemudian berguna untuk memahami keagungan Semesta raya, mereka tak kenal menyerah. Pembaruan dan penyempurnaan terus-menerus dikerjakan untuk menemukan sistem yang benar-benar valid dan kontekstual dalam membaca dan memahami watak alam semesta.
Rasanya kita tak akan berhenti hanya sebagai pewaris, kita harus terus maju dan bila perlu bersitatap muka dengan tragedi agar benar-benar menemukan kesempurnaan sejati.
Betapapun utopianya, harapan selalu menjadi cakrawala seperti kata-kata dari penyair legendaris WS Rendra berikut ini://Kesadaran adalah matahari/Kesabaran adalah bumi/Keberanian menjadi cakrawala/Dan perjuangan/adalah pelaksanaan kata-kata// (Paman Doblang, 22 April 1984).
Selamat Tahun Baru 2021. Selalu ada matahari baru di ufuk timur, pertanda hidup harus terus. Terus sampai ke batas paling mustahil dari perjalanan manusia.