Dalam komunikasi publik, kombinasi pemetaan isu yang lengkap, pendekatan yang menyentuh, serta kepemimpinan empatik yang dialogis bisa mendorong sosialisasi vaksin yang efektif.
Oleh
ANANG RIZKANI NOOR
·4 menit baca
Belum lama ini Presiden Jokowi mengingatkan jajarannya agar berhati-hati menangani komunikasi pemberian vaksin Covid-19 secara massal, jangan sampai bermasalah seperti komunikasi UU Cipta Kerja.
Presiden juga mengingatkan masalah vaksinasi kompleks karena berkaitan dengan persepsi masyarakat. Oleh karena itu, diminta agar direncanakan dengan matang sebelum dilaksanakan.
Peringatan ini relevan mengingat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 masih rendah. Hasil survei September-Oktober oleh LaporCovid bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UI, Magister Manajemen Bencana UPN Yogyakarta, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana menunjukkan, dari 2.109 responden, 69 persen ragu dan tak bersedia menerima vaksin hasil pengembangan Bio Farma dengan Sinovac.
Pada periode sama Kementerian Kesehatan bersama Indonesian Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI), Unicef, dan WHO juga mengadakan survei di 34 provinsi, 508 kabupaten/kota dengan 115.000 responden. Hasilnya, 27 persen ragu menerima vaksin dan 8 persen menolak.
Sebelum melaksanakan komunikasi publik vaksin perlu persiapan.
Sebelum melaksanakan komunikasi publik vaksin perlu persiapan. Ibarat maju perang, perlu persiapan agar tak asal menembak, menghamburkan peluru, tapi sasaran meleset.
Langkah awal yang diperlukan adalah memahami isu. Dari survei terlihat, banyak yang meragukan keamanan dan kehalalan vaksin. Ada juga yang mempertanyakan apakah ini hasil propaganda dan konspirasi menebar ketakutan untuk dapat keuntungan. Dari sisi distribusi, masyarakat ingin mengetahui siapa yang menjadi prioritas untuk mendapatkan vaksin, kapan dibagikan, dan bagaimana cara pembagiannya.
Isu-isu tersebut sensitif dan mudah dipelintir di era post-truth ketika orang mencari berita yang membenarkan pandangannya. Maka, pemahaman isu perlu diperdalam lagi untuk mengetahui kelompok mana berkata apa, di wilayah mana, dan bagaimana hubungan antarkelompok tersebut.
Di Inggris terungkap data menarik bahwa yang menolak vaksin juga beririsan dengan yang menolak masker. Detail seperti ini bisa membantu dalam merumuskan pesan yang efektif. Sayangnya, di sini survei vaksin dengan survei kepatuhan protokol kesehatan terpisah.
Pemetaan isu juga berguna untuk membantu pengorganisasian tim pelaksana. Luasnya wilayah sosialisasi bisa disiasati dengan menyusun prioritas berdasarkan sensitivitas isu, kelompok audiens, dan wilayahnya.
Lebih jauh, perlu diatur agar di level tertentu jelas siapa bicara apa, agar tugas tak bertumpuk pada seseorang, atau malah tak ada yang mengerjakan.
Tujuan utama sosialisasi vaksin adalah menggerakkan warga datang ke puskesmas menerima vaksin. Maka, pesan perlu dibentuk agar bisa menggerakkan warga. Pendekatan storytelling atau bercerita dikenal sebagai salah satu cara komunikasi yang efektif. Ia menyederhanakan konsep abstrak menjadi sederhana, menyentuh hati, dan mudah dihubungkan dengan penerima pesan.
Di Kanada, Perdana Menteri (PM) Justine Trudeau telah menggunakan pendekatan storytelling. Dengan sebuah karakter lego, ia bercerita kepada anak-anak, apa itu virus korona dan bagaimana mencegah agar tak tertular. Menarik, karena penjelasannya diperhatikan pula oleh orangtua yang menemani sang anak.
PM India Narendra Modi dalam sebuah episode siaran langsung di radio lebih memilih bercerita daripada pidato. Menurut Modi, salah satu berkah pandemi adalah orang India lebih mencintai negaranya. Dengan banyak waktu luang di rumah, melalui internet, mereka jadi tahu bahwa cherry blossoms juga bisa ditemukan di India, tidak harus pergi ke Jepang.
Pendekatan storytelling ini bisa dipakai untuk memicu dialog, komunikasi dua arah.
Kepemimpinan dan empati
Pendekatan storytelling ini bisa dipakai untuk memicu dialog, komunikasi dua arah. Setiap pihak tidak hanya bicara, tapi juga saling mendengarkan. Dari UU Cipta Kerja kita belajar bahwa ketika aspirasi tak hadir, penolakan bisa berkembang menggerus kepercayaan publik.
Harald Hornmoen dan Colin McInnes (2018) dalam Social Media Communication During Disease Outbreak: Findings and Recommendations melihat Pemerintah Inggris dan Norwegia saat menangani ebola 2014- 2015 tak mampu memanfaatkan medsos untuk berkomunikasi secara horizontal atau langsung dengan masyarakat tanpa distorsi. Penyebabnya, kebiasaan pemerintah berbicara vertikal, memberikan pernyataan, lalu dikutip media massa.
Hambatan ini bisa diterobos oleh Jessica Ardern, PM Selandia Baru, yang berdialog langsung dengan warga melalui Facebook Live, medsos yang populer di sana. Meskipun isi imbauannya tegas untuk memutus rantai penularan, ia mengemukakannya dengan simpatik sehingga didukung warga. Gaya komunikasi ini ikut menyumbang keberhasilan Selandia Baru menangani pandemi.
Dalam komunikasi publik, audiens bukan hanya sebagai obyek, ia dinamis dan memiliki harapan. Kombinasi pemetaan isu yang lengkap, pendekatan yang menyentuh, serta kepemimpinan empatik yang dialogis bisa mendorong sosialisasi vaksin yang efektif.
Anang Rizkani Noor,Praktisi dan Pemerhati Komunikasi