Merayakan Tempe dalam Lagu
Dalam lagu, tempe dicatat sebagai makanan rakyat, sehat, lezat, murah. Kini, tempe menjadi masalah karena kedelai sedang tidak murah. Apakah perlu dibuat lagu ”revisi” tentang tempe?
Tempe memang bisa dikatakan langka sebagai tema lagu dalam musik pop kita. Akan tetapi, setidaknya tempe dan tahu pernah dirayakan dalam lagu. Tempe disebut dalam lagu sebagai makanan rakyat, sehat, murah, dan lezat.
”Tahu tempe kacang dele
Itu makanan utame
Dimasak pake minyak kelape
Hidangan rakyat jelate...”.
Itulah bait pertama lagu ”Tahu Tempe” ciptaan M Jusuf yang dinyanyikan oleh Oslan Husein. Diiringi Orkes Wijaya Kusuma, lagu ini termuat di album Hanya Ada Satu Oslan Husein produksi perusahaan rekaman Irama tahun 1965. Pada bait pertama sudah jelas disebut tempe sebagai makanan berbahan kedelai dan menjadi makanan rakyat jelata. Kemerakyatan tempe dan kelezatan rasanya dinyanyikan pada bait berikutnya.
Lagu ditulis dengan lirik berupa sketsa sosial tentang bagaimana tempe dikonsumsi dan digemari masyarakat. Tempe mudah didapat di sembarang warung. ”Ooh mau beli/ Banyaklah di warung nasi/ Lihat si Ro’i pengen beli sampe antri”. M Jusuf menulis lagu dengan lirik jenaka. Begitu pula Oslan Husein yang berasal dari ranah Minang itu menyanyikannya dengan gaya komedik, menggunakan logat Betawi. ”Tahu tempe cabe rawit/ Bikin mulut komat-kamit/ Nasinya panas, kecapnya manis/ Bibir pedes sampai mringis...”.
Pada bait terkahir disebut bahwa tempe adalah ”makanan kite” dan ”adanya di Indonesia...”. Bait terakhir ini terasa adanya kebersamaan sebagai warga negara Indonesia, dengen tempe sebagai simbol perekat sosial.
Tempe tahu juga disebut Oslan Husein dalam lagu ”Sandang Pangan”. Tempe dalam lagu yang juga ciptaan M Jusuf ini menjadi representasi gaya hidup sederhana, ”Patutlah anda semuanya/ Jadilah Anda sederhana/ Tahu tempe cukup baginya/ Nyamanlah rasanya...”. Selain tempe, kesederhanaan itu juga diwakili oleh kain batik. Tahu, tempe, dan batik menjadi bagian dari tema lagu yang bicara tentang etos kerja sungguh-sungguh, hidup tidak berlebihan, di negeri yang murah sandang pangan.
Latar politis
Lahirnya lagu ”Tahu Tempe” tidak lepas dari latar situasi politik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno era 1960-an. Syaiful Nawas dalam catatan di sampul album menyebut bagimana Bung Karno beberapa kali menegaskan, ”Indonesia dengan rakyatnya tidak akan lapar karena Indonesia banyak makanan.”
Bung Karno bahkan menulis lirik lagu ”Bersuka Ria” untuk menegaskan bahwa rakyat tidak akan lapar dan bahwa Indonesia banyak makanan. Lagu dimuat di album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso, terbitan Irama, 1965. Bung Karno juga memberi restu dengan membubuhkan tanda tangan pada sampul album. Bung Karno menuliskan (dalam ejaan lama), ”Saja restui. Setudju diedarkan Soekarno 14/4 ’65.”
Dalam lagu ada pantun yang dinyanyikan bersama oleh Rita Zaharah, Bing Slamet, Titiek Puspa, dan Nien (Lesmana). ”Siapa bilang Bapak dari Blitar/ Bapak kita dari Prambanan/ Siapa bilang rakyat kita lapar/ Indonesia banyak makanan...”. Pada bait lain, ditulis pantun jenaka, yang terkait dengan makanan. ”Pagar kawat pagar berduri/ Cat basah jatuh di kabel/ Kalau niat mencari istri/ Saya pilih yang pinter nyambel...”. Lagu dimainkan dalam irama lenso yang digunakan dalam tari lenso kesukaan Bung Karno.
Seperti merespons pernyataan Bung Karno tentang kecukupan pangan di Indonesia, Oslan Husein menyanyikan lagu bertema maknanan rakyat. Selain ”Tahu Tempe” Oslan juga membawakan lagu-lagu karya M Jusuf yaitu ”Nasi Jagung”, ”Sepiring Nasi”, dan ”Singkong Rebus”. Kesemuanya bicara tentang keragaman makanan rakyat. Ada benang merah di antara lagu-lagu tersebut, yaitu rasa lezat, sehat, dan mudah dijangkau rakyat banyak secara ekonomi, serta mudah didapat.
Dalam ”Singkong Rebus” disebut ”Makanan rakyat bermanfaat/ Menimbulkan daya semangat/ Terkenal bagi rakyat desa/ Juga yang tinggal di kota”. Adapun dalam ”Nasi Jagung” disebut warna nasi jagung yang kuning putih dan rasanya enak gurih, terlebih jika ditambah sayur kacang. ”Mari Bung jangan bingung/ Badan sehat dan untung/ Makanlah nasi jagung/ Itu dia yang paling ulung...”.
Sjaiful Nawas dalam catatan di album menggarisbawahi bahwa lagu-lagu tersebut menggambarkan persoalan pangan, dan seluk beluk kehidupan. Meski ada latar politis, lagu karya M Jusuf yang dinyanyikan Oslan Husein itu tidak sampai jatuh sebagai jargon politis. Lagu-lagunya tetap menjadi hiburan populer.
Tembang
Tempe pernah populer sebagai lelagon atau tembang berbahasa Jawa dalam ”Tahu Tempe” ciptaan Sunarto Ciptosuwarso. Tembang ini terekam di album Kembang Kacang, disuguhkan oleh karawitan Riris Raras Irama pimpinan Sunarto Ciptosuwarso. Diproduksi Kusuma Records, Semarang, tembang ini mulai popular pada era 1970-an.
Seperti dalam lagu Oslan Husein, tembang ”Tahu Tempe” juga mencatat bahan tempe, yaitu kedelai, rasa yang lezat, serta harga murah. Kita kutip potongan syairnya: ”Nadyan barang sepele/ Nanging nyata enak/ Kabeh-kabeh mbutuhake/ Jalaran murah regane/ Blanja sithik bisa sampe...”. Terjemahannya kurang lebih: Meski tampak sederhana, sepele, akan tetapi tempe terbukti berasa lezat, dibutuhkan masyarakat luas. Lalu, disebut juga tempe berharga murah sehingga terjangkau untuk mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Satu hal lagi yang dicatat di tembang ini, tempe cukup memenuhi kebutuhan pangan. Kemurahan dan kelezatannya membuat keluarga rukun.
Lagu tentang tempe dan tahu juga lahir pada era populernya musik campursari pada era 1990-an. Nur Afni Octavia membawakan lagu ”Tahu Opo Tempe” ciptaan Manthous. Kali ini tahu dan tempe berfungsi sebagai kunci pantun. Artinya, lagu bertumpu pada kata tahu dan tempe sebagai ide pengembangan isi pantun. Lagu ini tetap menyebut kedelai sebagai bahan pembuat tahu dan tempe.
Lirik lagu ditulis jenaka, dalam bentuk parikan atau pantun pergaulan. Seperti pada pantun, dua baris pertama berupa sampiran dan dua beris berikutnya berupa isi. Pada setiap sampiran selalu ada kata tahu dan tempe. Dengan kata lain, tempe menjadi primadona. ”Uwis suwe Mas ra mangan tempe/ Tempe kripik opo mendoane/ Sampun lami mas nopo mpun supe/ Yen do becik mas niku sing sae.” Artinya: Sudah lama Mas tak makan tempe. Tempe kripik atau mendoan. Sudah lama mas, apakah lupa. Kalau pada baik, itulah seharusnya”.
Refrein juga menempatkan tempe sebagai ide utama: ”Pilih tahu Mas opo pilih tempe/ Yen dirasakno podo enake/ Pilih aku mas opo pilih kae/ Ditimbang-timbang podo abote...”. Terjemahannya, ”Pilih tahu Mas atau pilih tempe. Kalau dirasakan sama enaknya. Pilih aku Mas atau pilih dia. Ditimbang-timbang sama beratnya...”.
Itulah tempe, yang dalam lagu dicatat sebagai makanan rakyat, sehat, lezat, murah. Kini, tempe menjadi masalah karena kedelai sedang tidak murah. Apakah perlu dibuat lagu ”revisi” tentang tempe?