Pembatasan sosial berskala besar yang selama ini dilakukan tidak efektif untuk membendung laju penularan. Pemerintah pusat harus mengambil pilihan strategi yang lain, yang jauh lebih efektif daripada sekadar PSBB.
Oleh
SULFIKAR AMIR
·5 menit baca
Pada hakikatnya, wabah penyakit adalah peristiwa sosial, peristiwa ketika suatu patogen atau pembawa penyakit bergerak dan menyebar hanya jika ada sekumpulan manusia yang aktif berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini kita sebut sebagai relasi sosial yang merupakan fondasi setiap masyarakat.
Memang pada awalnya pandemi Covid-19 dipicu oleh satu peristiwa alam, yakni kemunculan virus SARS-CoV-2. Entah bagaimana, melalui kontak antarspesies (interspecies contact), virus korona ini loncat dari sel hewan ke sel manusia. Selanjutnya, virus korona dengan mudah menunggangi relasi sosial yang ada di masyarakat untuk melakukan proses reproduksi secara masif. Dan, berkat globalisasi, virus korona dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh dunia dan meluluhlantakkan ekonomi global.
Virus SARS-CoV-2 memang unik karena memiliki mahkota dengan struktur protein yang memungkinkan virus korona ini menempel dengan mudah di sel manusia pada bagian saluran pernapasan atas. Hal yang lebih menarik, virus korona ini menyebar mengikuti suatu pola sosial tertentu. Pada masa awal pandemi, beberapa hasil penelitian menemukan bukti bahwa sebagian besar kasus infeksi ditularkan oleh sejumlah kecil penderita Covid-19.
Orang-orang ini disebut sebagai superspreader, yakni individu yang terpapar virus korona yang mampu menulari orang lain dalam jumlah yang besar. Artinya, superspreader ini memiliki peran sosial yang sangat krusial dalam menaikkan kurva jumlah kasus.
Fenomena superspreader ini jadi salah satu ciri khas Covid-19 yang tak ditemui dalam peristiwa wabah penyakit sebelumnya.
Fenomena superspreader ini jadi salah satu ciri khas Covid-19 yang tak ditemui dalam peristiwa wabah penyakit sebelumnya. Belum ada data yang menunjukkan berapa jumlah kasus penularan secara rata-rata yang diakibatkan oleh superspreader.
Namun, data dari beberapa penelitian mutakhir menunjukkan, penularan Covid-19 mengikuti apa yang disebut sebagai Prinsip Pareto, suatu istilah yang diambil dari nama sosiolog sekaligus ekonom Italia terkenal, Vilfredo Pareto. Berdasarkan Prinsip Pareto, para peneliti mengambil kesimpulan bahwa 80 persen jumlah kasus infeksi Covid-19 berasal dari 20 persen orang yang membawa virus.
Ini berarti bahwa mayoritas orang yang terpapar hanya menulari orang lain dalam jumlah yang sangat sedikit, sementara kelompok minoritas superspreader memiliki kontribusi yang sangat dominan dalam total kasus penularan. Bisa dikatakan bahwa superspreader ini adalah kelompok ”elite” yang memiliki daya penularan jauh di atas rata-rata. Teori superspreader ini telah terkonfirmasi oleh data empiris dari Hong Kong dan Shenzhen, China.
Pengetahuan mengenai fenomena superspreader ini menjadi sangat penting bagi upaya mitigasi Covid-19 di berbagai belahan dunia. Salah satu implikasinya adalah pelarangan berkumpulnya orang dalam jumlah yang besar di suatu tempat karena aktivitas seperti ini memiliki risiko transmisi yang sangat tinggi ketika salah satu peserta adalah superspreader. Terlebih ketika aktivitas sosial ini terjadi di ruang yang tertutup dan padat.
Setahun setelah pandemi, banyak hal yang berubah. Kita tahu bahwa virus korona telah melakukan mutasi berkali-kali yang menghasilkan varian-varian baru. Perubahan ini terjadi tak hanya dalam struktur molekuler virus, tetapi juga pola penularan di masyarakat, khususnya di Indonesia.
Babak baru penyebaran
Fenomena superspreader pada awalnya menjadi rujukan pemerintah untuk melakukan upaya pengurangan laju penularan di masyarakat. Namun, melihat jumlah kasus dan skala penularan yang sangat masif sebulan terakhir, saya khawatir bahwa penularan Covid-19 di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sudah memasuki suatu babak baru di mana fenomena superspreader secara perlahan dan pasti sudah diganti oleh fenomena microspreader.
Dalam perspektif sosiologis, microspreader adalah orang-orang biasa. Mereka bukan ”elite” dalam arti tidak memiliki kemampuan untuk menulari orang lain dalam jumlah besar seperti superspreader. Mereka menulari orang lain dalam jumlah yang relatif lebih sedikit, mungkin dua atau tiga orang.
Masalahnya, jumlah microspreader ini sangat banyak dan ada di mana-mana. Mereka adalah orang-orang di sekitar kita, yang akrab dengan kita. Mereka bisa teman kuliah, teman kerja, dan anggota keluarga. Keponakan, paman, saudara, dan sebagainya. Bayangkan jika ada empat keluarga besar yang memiliki hubungan kekerabatan, maka akan ada satu atau dua microspreader di antara mereka yang menjadi pembawa virus korona secara diam-diam dalam keluarga besar ini.
Fenomena microspreader ini sangat sulit dilacak, apalagi dihentikan karena dia masuk ke dalam ikatan sosial yang sangat dalam, yakni hubungan kekerabatan antarindividu dalam masyarakat. Dalam dimensi ini, penyebaran virus berkelindan dengan satu bentuk budaya yang membentuk perilaku masyarakat Indonesia sehari-hari, yakni budaya sungkan.
Dan, di sinilah letak persoalannya karena kesungkanan dapat berimplikasi pada kerentanan.
Ini adalah kecenderungan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, yang cenderung menghindari ”konfrontasi” sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain. Dan, di sinilah letak persoalannya karena kesungkanan dapat berimplikasi pada kerentanan.
Bayangkan jika seorang anggota keluarga atau teman dekat datang bertamu, tuan rumah akan sungkan meminta sang tamu untuk tetap menggunakan masker dan menjaga jarak. Permintaan itu bisa dianggap tidak sopan karena seakan tidak percaya dengan sang tamu. Budaya sungkan ini menjadikan ruang-ruang privat sebagai contact zone yang memiliki risiko tinggi terhadap penularan Covid-19. Dalam budaya sungkan ini, para microspreader bebas menulari orang lain.
Dalam skala yang lebih luas, fenomena microspreader muncul secara masif dan sangat sulit dibendung. Dia terus tumbuh dan bergerak dengan cepat karena tidak dapat diidentifikasi oleh sistem surveilans pandemi konvensional. Dalam situasi seperti ini, masyarakat Indonesia seperti selembar kain yang jatuh ke dalam genangan air.
Dengan seketika, molekul-molekul air merembet dan membuat seluruh kain basah. Molekul-molekul itu adalah microspreader pembawa virus korona. Mereka merembet ke setiap bagian fabrik sosial yang terhubung dengan erat satu sama lain.
Apa penyebab fenomena microspreader ini muncul? Jawabannya simpel. Selama berbulan-bulan Indonesia sudah gagal menerapkan surveilans pandemi yang efektif. Jumlah pengetesan yang sangat minim dan pelacakan kasus yang setengah hati bertanggung jawab penuh atas munculnya microspreader di mana-mana.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk itu? Kita tahu bahwa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang selama ini dilakukan tidak efektif untuk membendung laju penularan. Karena itu, pemerintah pusat harus mengambil pilihan strategi yang lain, yang jauh lebih efektif daripada sekadar PSBB. Jika tidak, Indonesia akan melihat ledakan angka kematian yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Sulfikar Amir, Associate Professor dan Pakar Sosiologi Bencana di Nanyang Technological University.